Bagian 1

53 8 2
                                    

ROMANOF

Rabu pagi terasa sangat dingin di kota Amber, pohon-pohon bergoyang ringan di pinggiran pasar induk, mengalirkan secuil energi kedalam jiwa. Meskipun musim dingin masih beberapa minggu lagi, namun hawa seperti ini membuatku bergidik. Dingin menusuk tulang sampai-sampai aku spontan mendekap erat kedua tangan. Walaupun dingin mampus begini orang-orang terkesan tidak mempedulikannya. Mereka sibuk melakukan jual beli dipasar induk kota Amber. Kios-kios kayu diukir dan dihias semenarik mungkin terjajar rapi di kiri dan kanan jalan, menjual berbagai macam barang, mulai dari perhiasan sampai makanan pokok.

Dimana ada keramaian disitu ada penjaga, begitulah gambaran kota Amber. Para penjaga  berseragam coklat emas berlambangkan burung garuda khas kerajaan Edmun berada di setiap sudut pasar dengan dalih menjaga ketertiban. padahal jelas-jelas kerjaan mereka hanya makan dan bermain catur.

Aku lalu lalang di tengah pasar induk yang dipenuhi kerumunan manusia sambil memungut beberapa ikan yang terjatuh tidak jauh dari kios-kios penjual ikan, tak lupa pula dengan tangan licinku mengambil kepingan koin dari kantong orang-orang yang berdesakan. Para penjaga seperti biasa, fokus terhadap papan catur bodoh mereka, acuh tak acuh terhadap gadis  miskin seperti aku ini, begitu juga dengan para penjual, mereka tidak sadar bahwa ikan-ikan yang jatuh dari lapak mereka aku ambil.

Begitulah yang kulakukan setiap hari. Mencuri untuk hidup, Tidak ! bukan mencuri, tetapi membersihkan jalanan dari ikan-ikan yang tercecer. Lebih terdengar seperti membenarkan pekerjaan haramku.

Mau bagaimana lagi ?. Di kota ini sulit untuk mencari pekerjaan, apalagi keahlianku mungkin hanya berdusta, menyumpah, dan mencuri. Aku ingin berdagang namun mustahil mengingat aku tidak memiliki modal.
Aku harus menghidupi keluargaku, bagaimanapun caranya.

Ibuku seorang petani tetapi tidak memiliki lahan sendiri, alhasil ibuku bekerja dari pagi sampai sore mengurusi lahan orang lain yang berbeda-beda. Mulai dari jagung sampai gandum, ibuku bisa membuat hasil panen dua kali lebih banyak daripada petani lain. Dia sangat terampil dalam bertani, tak heran ibuku menggarap banyak lahan milik kaum Eden, meskipun demikian, gaji yang diterima ibu sangat sedikit. Ibu hanya diberi 10 crown dan setengah karung gandum setiap panen. Banyak saudagar Eden kaya di kota ini tetapi mereka pelitnya minta ampun, membuatku muak. Lebih memuakkan lagi adalah perbuatan kaum Eden kepada kami, para kaum Lander. Para Eden menganggap Lander adalah orang-orang yang terlahir sebagai budak abadi, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Aku tidak bisa lama-lama memikirkan hal itu, bisa-bisa aku muntah karena terngiang dengan kesombongan tolol kaum Eden.

Menyedihkan !, Itulah kata yang pantas menjelaskan kehidupanku. Terlahir sebagai kaum Lander yang miskin. Betapa hebatnya paket kehidupan yang kuterima. Tetapi aku masih bersyukur akan kehidupan yang pelik ini.
Anya, Dima, ibu. Merekalah yang mebuatku bersyukur dan dapat bertahan di dunia ini.

Anya Romanof adalah adikku, gadis jangkung empat belas tahun, matanya yang biru terang kontras dengan rambut hitam, postur Anya paling tinggi dari rata-rata keluarga Romanof, dia lihai bermain biola dengan merdu nan anggun, alunan nada dari biolanya seolah dapat menyihir orang-orang untuk terus-terusan mendengarkannya. Saking indahnya, setiap hari-hari besar Anya diundang untuk menghibur para Eden di balai kota. Satu lagi keluarga Romanof yang bekerja untuk kaum Eden. Aku tidak repot memikirkan hal itu lagi, toh juga mereka bekerja dengan halal untuk keluarga kami. Sejujurnya aku iri dengan Anya beserta segala bakatnya. Ibu selalu membangga-banggakan anak bungsunya, membuatku patah hati setiap kali ibu memuji-muji Anya didepan mukaku.

Dima Romanof, anak sulung ibuku yang satu ini seingatku memiliki mata berwarna coklat keruh, rambutnya sewarna dengan matanya, namun lebih cerah, badannya berotot dengan tinggi sejajar ibu. Kakakku pergi saat umurku lima belas tahun. Dima dibawa oleh angkatan perang kerajaan untuk berperang dibarisan depan menghadapi pasukan kerajaan Volos. Begitulah sistem kerajaan Edmun untuk menambah pasukan di garda depan, memaksa anak-anak muda kaum Lander berkorban demi peperangan berabad-abad yang tidak kunjung selesai. Peperangan sialan itu hanyalah omong kosong mereka. Setiap anak yang tidak memiliki pekerjaan berusia delapan belas tahun akan dijaring dan dikirim ke medan perang.

Berperang untuk kerajaan Edmun yang dikuasai kaum Eden. Yang benar saja...!
Aku lebih baik mati daripada menghadapi  kegilaan ini.

Terkadang anak-anak kaum Lander yang berperang akan pulang. Bisanya karena cacat yang tidak memungkinkan lagi untuk bertempur seperti tanga putus dan kaki patah, atau setelah masa bakti mereka selesai selama lima tahun.
Jika beruntung, mereka pulang dengan sehat walafiat atau menderita cacat, jika nasib mereka kurang beruntung maka kerajaan akan mengimkan sepucuk surat dengan cap kerajaan Edmun berisi sepatah dupatah kata sebagai ungkapan terimakasih atas nyawa anak mereka. Jasad kaum Lander yang gugur saat berperang akan dikebumikan dalam kuburan masal,
jadi jasad mereka tidak akan dipulangkan. Benar-benar tindakan yang biadab !.

Umurku delapan belas tahun dalam tiga bulan kedepan. Postur tubuhku adalah yang paling redah dari ibu dan saudara-saudaraku, kulitku kuning pucat dengan rambut lurus berwarna coklat pudar yang ujung-ujungnya menguning disebabkan sinar matahari. Warna mataku yang hitam mirip kehampaan, menggambarkan kesengsaraan. Tak ayal aku sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan keahlian yang minim dan penampilanku yang lusuh, tidak menarik sama sekali untuk gadis berusia tujuh belas tahun.
Jadi Bisa ditebak kematian seperti apa yang akan aku hadapi. Mati di medan tempur. Tertusuk pedang, kepala penggal, hangus terbakar, panah di leher, serta dijadikan tawanan dan dibiarkan membusuk dalam penjara Volos.
Betul-betul mengerikan.

Sebuah keluarga tidak lengkap rasanya kalu tidak ada sosok ayah. Sayangnya aku sama sekali tidak mengetahui dimana keberadaan  ayah, setiap kali aku menanyakan ayah, ibu selalu bilang lebih baik kita melupakan pria itu. Ungkapan itu diutarakan tanpa emosi marah ataupun sedih, seolah kepergiannya bukanlah prihal penting yang perlu digubris. Persetan dengan itu, aku memiliki hal yang lebih penting untuk dipikirkan, salah satunya adalah bagaimana agar terbebas dari penjaringan perang.

Begitulah sedikit banyaknya gambaran tentang keluargaku yang hidup ditengah masyarakat majemuk, disekat oleh kesenjangan sosial antara Kaum Eden dan Lander. Mudah saja membedakan antara dua kaum ini. Entah dari segi penampilan maupun tabiat. Mereka bagaikan langit dan bumi tidak sama dan tidak akan pernah sama.

Aku benci, benci, benci dengan kaum Eden yang sialan itu.

_____________________________
Fortuna Romanof   POV    

The Wooden SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang