"Rasanya sudah cukup hasil hari ini, sebaiknya segera membeli pisang pesanan ibu dan pulang." Aku membatin sambil menggegam kantong berisi ikan segar dan beberapa keping koin. Sebelum pulang dari pasar, aku membeli dua sikat pisang dengan koin yang kucuri tadi.
Kakiku melangkah meninggalkan pasar untuk kembali ke rumah, dengan mengambil rute yang jarang dilalui kebanyakan orang, menyusuri pinggiran sungai utama yang menghubungkan kota Amber dan ibu kota kerajaan. Banyak sekali kapal-kapal besar mondar mandir mengangkut barang komoditas kerajaan. Aku terkagum akan besarnya kapal itu, dengan pandangan terpaku kearah sungai, kurasakan kaki kananku tidak berpijak ditanah lagi, dunia serasa berputar. Tidak bisa dihindari lagi, aku terjatuh kedalam kubangan lumpur dengan posisi kepala menancap kedasar. Seluruh tubuhku berlumur lumpur, seperti pisang yang dicelup kedalam tepung lumpur siap digoreng.
"Dasar, kapal-kapal sialan" sumpah serapah tak tertahankan lagi. Aku meraba-raba kedalam lumpur mencari pisang dan ikan yang tercecer. Butuh sedikit waktu di dalam lumpur pekat ini untuk menemukan ikan dan pisang kesayanganku.
Dari kejauhan aku mendengar tawa yang tak kunjung berhenti, suara itu makin mendekat. "Sepertinya kau sangat menikmati mandi pagimu gadis lumpur" suara familiar yang cempreng dengan nada hinaan menjengkelkan.
"Moris, jika kau masih ingin berumur panjang, enyahlah atau bantu aku naik" sambil melambai-lambaikan tangan kaearahnya. Rupanya dia terpancing untuk menyambar tanganku. Dengan kencang, kutarik lengan bajunya sampai Moris jatuh. "Sebaiknya kau juga harus mandi, tikus sawah" gumamku sambil terkekeh. Sepertinya Moris tidak terlalu senang kuceburkan kedalam lumpur.
"Tega sekali ya kau, nona Romanof" suaranya lirih, pandangannya tertunduk.
"Wow ada apa ini" aku terkejut dengan dengan sikap Moris yang tiba-tiba murung.
"Tidak apa Fortun" Menyebut nama panggilanku dengan lirih sambil menyunggingkan senyum yang terpaksa.
"Sebaiknya kau jujur dengan gadis lumpur ini, bodoh !" Menyenggol pundaknya dengan keras, hampir-hampir Moris terjatuh. Dia menegakkan pandangan tepat kearahku, beberapa detik memandangiku dan akhirnya tawanya pecah. "Apanya yang lucu ?" Potongku dengan cemberut.
Lantas tawanya semakin menjadi-jadi. "Kau lebih mirip seperti korban kebakaran hutan daripada gadis lumpur" menahan tawanya dengan payah.
"Sudahlah, Bantu aku mencari ikan dan pisang-pisangku" bentakku, sambil meraba-raba lumpur.
"Baik nona" balasnya, nada bicaranya seperti bangsawan.
Setelah beberapa lama mengumpulkan barangku yang tercecer kami membersihkan diri dari di tepi sungai.
"Moris, omong-ngomong, kenapa kau kelihatan murung ?" Tanyaku mengisi kekosongan.
"Oh, yang tadi ya-" senyumnya pudar. "Bukanlah masalah besar" dustanya.
Walaupun sudah berteman lama, rupanya keahlian berbohongku tidak menular ke bocah yang satu ini. "Jangan membohongi tukang bohong"
"Habisnya, kalau aku ceritakan nanti kau ikutan sedih" menggosok-gosok lengan bajunya yang penuh lumpur. "Yasudahlah kalau kau memaksa. Hari ini adalah hari ulang tahun ayahku, aku sengaja mengenakan pakaian beliau, aku berencana mengunjungi makamnya pagi ini, dan aku tidak sengaja melihatmu mandi-mandi dikubangan, jadi sekalian saja aku sapa".
"Aku tidak..." Akal sehat menahanku untuk berjengit. "Oh, begituya, maafkan aku. Aduh, jadi kotor semua pakaianmu, maaf, maaf, maaf"
"Mungkin sebagai gantinya kau harus menemaniku ke pemakaman" mengangkat alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wooden Sword
FantasyAku tidak akan berlutut kepada mereka. Sesakit apapun siksaan mereka, akan kubakar kelaliman mereka dengan api revolusi. Kami akan bangkit bagaikan fajar yang menyongsong. Darah akan tumpah. Kuatlah sekuat baja Mengamuklah sehebat api Angkat pedang...