1

18 1 0
                                    


Aku melipat lembaran kertas ditanganku menjadi persegi empat kecil dan memasukannya kembali ke dalam amplop hitam mengkilap bertuliskan Artyvon High dengan tinta emas dibaliknya. Di sisi lainnya, terukir namaku. Tepat diatas segel pembuka. Huruf demi hurufnya begitu indah. Mengkilap. Bersulam timbul ketika jemariku menyusuri permukaannya. Alisku terangkat setengah, menggigit bibir bawah lalu menyimpulkan isi pikiranku.

Aku tak akan masuk ke sana.

Laci teratas bufet coklat maron tempat lampu tidurku bertengger kutarik, aku memandangi amplop hitam elegan itu sekali lagi sebelum membiarkannya bertemu sapa dengan penghuni laci lainnya.

"Kau harus pertimbangkan usulku!" Lelaki bersuara berat berteriak dari luar kamarku.

"Tidak!" Suara serak wanita yang amat kukenal terdengar begitu menyayat.

"Aku tid-"

Hentikan!

Aku refleks menutup kedua telingaku dengan bantal. Mencoba menghalau suara itu masuk ke selaput gendang. Namun suara itu terus saja merambat dan merambat. Menyusup melalui sela bantal dan merayap masuk telingaku.

Aaggrh!

Hentikan!

Hentikan!

Hentikan!

Aku benar-benar ingin berteriak, tapi suaraku tercekat, seolah ketakutan dengan suara-suara diluar yang berseteru. Kurapatkan lagi bantalku sementara bibirku berkomat-kamit memohon agar Tuhan kali ini membiarkan aku untuk tak bisa mendengar. Aku sangat yakin suara berat sang lelaki sempat meninggi sebelum akhirnya mulai menyamar, mengecil, dan hilang. Keheningan yang menusuk mulai tercipta, hanya ada suara jarum jam yang mengacaukan otak dan pendengaranku. Kulonggarkan dekapan bantal yang nyaris membuatku tak mampu bernafas lalu menoleh ke pintu. Ibuku telah ada disana. Ia tersenyum sayu dengan wajah cantiknya yang semakin lama semakin dihiasi garis kerutan. Mendekat.

"Aku tak dengar apa-apa." Tuturku pelan sementara mataku kocar-kacir mencari tujuan. Aku tak ingin beradu pandang dengannya.

"Tak usah dengarkan ayahmu." Suara itu menyayat.

Tak usah dengarkan? Mana mungkin bisa jika setiap hari ia selalu berteriak dan melontarkan kata-kata yang sama!

Aku menunduk, mencoba menghalau suara berat laki-laki itu agar tak terniang dalam kepala. Namun suara itu berputar ulang dan terus berputar ulang. Aku bahkan bisa ingat dengan jelas dimana tanda bacanya jika kalimat itu dituliskan.

"Jangan hiraukan dia, Ave." Pemilik suara serak itu duduk perlahan di tepian ranjang seolah takut jika ranjangnya akan roboh jika ia tak hati-hati.

"Aku akan baik-baik saja." Aku memandangi jari-jarinya yang putih. Menghitung jumlah jemarinya. Lagi dan lagi.

Ia perlahan mendekat –dengan sangat hati-hati–, memasang senyum sedihnya lalu mengelus punggungku, "Ya, aku tahu itu. Kau gadis kuat Avril." Kali ini suaranya benar-benar parau. Genangan embun mulai muncul dari ujung matanya yang sayu. Ibuku mulai menangis. Aku benci itu.

Aku menunduk lagi dan mencoba melawan kekakuanku padanya. Aku ingin balas memeluknya sambil berkata bahwa aku menyayanginya dan tak ingin melihatnya menangis –lagi–. Tapi... tapi bagaimana caranya? Bagaimana caranya mencairkan kebekuan yang telah menciptakan berbongkah-bongkah beton es setahun belakangan ini?

"Jangan... menangis." Hanya itu yang bisa terlontar dari mulutku. Badanku merunduk saat punggung tangannya yang mengkerut menyeka airmata. Mencoba membohongiku dengan senyum buatan yang ia pikir bisa selalu sukses mengelabuiku.

Aku menghela nafas panjang. Sangat panjang. Mataku kembali kocar-kacir mencari tumpuan hingga akhirnya berhenti pada laci bufet coklatku. Sebuah gagasan –yang entah baik atau buruk­– tak sengaja tersusun begitu saja, bagaimana jika aku masuk ke Artyvon High? Mungkin tak akan ada lagi pertengkaran di rumah ini. Setidaknya sumber masalah terbesarnya sudah pergi. Benarkan?

Helaan nafas tertahan dan terkunci di paru-paruku untuk beberapa saat sebelum akhirnya kulepaskan kembali. Kau jangan gila Ave, kau baru saja terdengar seperti penjilat air ludahmu sendiri! Belum sampai setengah jam yang lalu kau memutuskan tak akan pernah masuk ke sana, dan sekarang kau bertingkah seolah-olah kau tak pernah berpikir begitu? Bodoh.

"Aku menyayangimu Ave." Begitu getir sampai terasa menusuk ulu hatiku.

Aku juga menyayangimu.

Sungguh.

Tapi aku tak merespon.

Tangannya mengelus punggungku sekali lagi sebelum ia berdiri dan berjalan terhuyung ke pintu kamarku.

Krek.

Pintu itu tertutup.

ChameleonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang