2

13 2 0
                                    


Aku membiarkan rambut coklat gelapku teruntai pagi ini. Mataku menatap ke cermin, polos, tak ada aksesoris apapun ditubuh dan rambutku. Sementara baju seragam khas Pyertlon tertata rapi ditubuhku. Aku memindahkan tatapanku ke pintu lalu berjalan lambat ke arahnya.

Ayah sedang menyantap roti selainya saat aku begitu saja melewatinya. Aku belum melihat ibu pagi ini, kurasa ia masih berdiam di kamarnya, merenungkan sekali lagi mengenai apa yang terjadi saat ini.

"Segera luluslah dari Pyertlon. Masuk ke sekolah yang jauh dan berasrama lalu pergi dari rumah ini." Suara berat itu mengiringi langkahku saat aku berusaha melewati ayah. Rok merah berlipat terkibas menyesuaikan derap langkahku.

"Masuk ke sekolah yang jauh dan berasrama lalu pergi dari rumah ini."

Suara itu seakan mengikuti langkahku menuju Pyertlon.

Aku mengibaskan kepala, mencoba meninggalkan kalimat itu dibelakang.

"Avril?"

Aku nyaris berhenti tepat sebelum melewati pagar Pyertlon saat merasa mendengar suara Devon baru saja menyebut namaku. Merasa berdebar meski aku yakin jika aku sedang berhalusinasi –seperti biasa–. Devon tak tahu namaku, bahkan ia tak mengenalku, dan aku tak punya cukup teman untuk memanggilku pagi-pagi begini. Jadi aku mengabaikannya.

"Avril?" Suara itu kembali datang.

Abaikan.

Halusinasi.

"Bisakah kau berhenti?" Suara itu kali ini terdengar begitu dekat. Akhirnya aku berhenti lalu menoleh.

Devon!

Apakah tingkat halusinasiku semakin berat?

Apa tadi pagi aku lupa meminum obatku?

Apa aku sekarang melihat pemilik suara itu berdiri di depanku?

"Kau sakit?" Devon mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku. Aku berkedip cepat lalu meyakinkan diriku jika ini bukan bagian dari halusinasi.

"Devon?"

"Oh, kau sudah mengenalku?" Suara Devon terasa sama cerah dengan senyumnya. Tentu. Tentu aku mengenalmu sejak tes masuk Pyertlon. Laki-laki idola di sini.

"A-aku.. Aku.. Aku melihat nama diseragammu!" Gelagapan.

Devon melirik nama di dada kanan seragamnya, "Oh ya, kau benar!" Ia mengangkat namanya lalu terkekeh.

Aku tersenyum lalu menyelipkan rambut coklat gelapku ke daun telinga. "Jadi.. Ada apa?"

Devon berhenti terkekeh lalu menggantinya dengan senyum cerah. Ia mengeluarkan amplop hitam mengkilap dari sakunya, "Kau dapat ini juga kan?"

Artyvon High.

"Ehmm, ya! Kurasa begitu. Darimana kau tahu?" Aku mengangguk pelan lalu menatap ujung sepatu.

"Kurasa kau tidak tahu bahwa aku yang menitipkan surat itu pada teman sekelasmu."

Aku mengerjapkan mata, menelan ludah. Grogi. "Benarkah? Maaf, aku tidak tahu." Menelan ludah lagi. "Lalu, ada apa?"

Devon tersenyum lagi, "Di sini, hanya kita berdua yang dikirimi surat."

Aku membasahi bibirku yang kering. Menunggunya melanjutkan. Namun ia hanya diam. Menatapku. Menungguku merespon.

"Lalu?" Respon terburukku.

Devon mengangkat alisnya. Masih tersenyum, namun nampak bingung. "Kita berdua akan bersekolah di sana."

Aku membalas tatapannya. Menerka-nerka apa maksud perkataannya sementara ia masih tersenyum sambil menepuk-nepukkan amplop hitam ditangannya. Lagi-lagi menungguku merespon.

"Aku belum yakin akan masuk ke sana." Ujarku akhirnya.

Senyumannya selesai.

"Apa?" Ia menggaruk pelipis kirinya dengan telunjuk. "Kau yakin?"

Aku bingung harus mengangguk atau menggeleng.

"Artyvon High, Ave!" Devon mendengus. "Mereka tak membuka pendaftaran masuk dan tes masuk, mereka hanya mengirimi surat ini pada orang-orang terpilih. Kita beruntung. Aku dan kau!" Devon menudingku lalu menggaruk rambutnya. Frustasi.

Aku menahan nafas saat ia mengatakan "aku dan kau" lalu menunduk, menatap kancing seragamnya, "Aku tak mengenal sekolah itu. Aku bingung kenapa bisa mendapat surat itu."

Dengusan kasar terdengar dari depanku.

"Ave, sekolah itu paling diimpikan siswa-siswa lain. Kita beruntung. Setidaknya kita tak usah berpikir banyak tentang pendaftaran sekolah dan tes masuk lagi!" Devon menggesek sepatunya ke aspal. "Jangan menyia-nyiakan kesempatan ini."

Masuk ke sekolah yang jauh dan berasrama lalu pergi dari rumah ini. Suara Ayah terniang lagi.

"Apa disana punya asrama?" Pertanyaan aneh terlontar begitu saja.

Ekspresi Devon berubah. "Tentu." Ia sumringah.

***

Aku membolak-balik buku Biologi saat mulai merasa kalimat ayah kembali mengganggu. Ayah terang-terangan menyuruhku keluar dari rumah. Aku akan segera lulus. Artyvon High mengirimiku surat. Tempatnya –sepertinya– jauh dan punya asrama. Setelah kupikir, aku tak punya alasan untuk menolaknya.

Kurasa ibu akan menahanku dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya, sementara ayah tetap akan bersikap sama, dingin. Atau lega. Aku memilin rambut coklat gelapku sambil membaca rentetan penjelasan tentang Ganggang. Semua penjelasannya tak mampu kuresap bersamaan dengan pikiran yang berkelebat dalam otak. Aku membasahi bibirku lagi lalu menyipit sesaat memandangi amplop hitam mengkilap melalui celah laci yang setengah terbuka. Kau memang menjilat ludahmu sendiri Ave.

Aku akan merahasiakan ini dari ayah dan ibu sampai aku benar-benar dinyatakan lulus dari Pyertlon. Aku akan menutup telinga lebih rapat lagi dan menunggu saat itu tiba. Saat ketika aku mengatakan pada ayah bahwa aku akan pergi. Saat ketika aku melihat senyum ayah melepas kepergianku.

Bagaimana dengan ibu? Aku tak mungkin sanggup mengatakannya. Ia adalah ibu terbaik di dunia. Ia adalah ibu tersabar di dunia. Semoga nanti aku akan tahan melihat tangisnya.

Akhirnya aku menyerah dengan buku Biologi, berdiri dari kursi dan berguling tergulung dalam selimutku seperti keong yang memasukan kepalanya dalam cangkang. Mataku tiba-tiba menuju lemari kecil tanpa pintu yang berdiri tegak disamping bufet coklat maronku. Sebuah foto berbingkai tersenyum padaku. Aku segera berpaling dan meredam perasaan aneh yang berkumpul didadaku. Mencoba menghalau video masa lalu itu terputar kembali malam ini. Mataku tertutup rapat. Sangat rapat. Hingga rasanya tak bisa terbuka lagi. Cara terbaik mengusir perasaan aneh itu.

Ketika mataku terpejam, aku memilih membayangkan sekolah baruku nantinya. Aku bertanya-tanya bagaimana kehidupanku disana mengingat kehidupanku disini tak terlalu baik –setahun belakangan–. Lalu aku membayangkan Devon, yang akan menjadi satu-satunya orang yang kukenal di sekolah baru kelak.

Devon Kinnear. Aku sudah hafal namanya sejak pertama kali mengikuti tes masuk. Lelaki tinggi yang tampan, bermata amber yang mempesona, berkulit putih dengan wajah tanpa noda, berbakat memainkan beberapa alat musik dan memiliki senyum menawan dengan lesung di pipi kirinya. Benar-benar ciri khas laki-laki populer di sekolah, dan mungkin akan tetap menjadi laki-laki populer nantinya. Bibirku merekah. Tersenyum. 

ChameleonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang