Bel pulang sekolah baru berbunyi sekitar lima menit yang lalu, dan aku sesegera mungkin meninggalkan kelasku. Meninggalkan kedua sobatku yang terdiam penuh tanya ketika melihatku terbirit-birit keluar dari kelas. Mereka sempat meneriakiku bertanya ada apa, namun aku tak menjawab dan lekas meninggalkan sekolah.
Sikapku barusan mencerminkan sekali kalau aku sedang ketakutan. Bukan ketakutan pada makhluk penjaga sekolah karena aku sering dihantui—memang, tidak pernah—tetapi aku takut pada geng Python yang bisa saja menyerangku tanpa ampun lagi.
Aku sudah tidak berani bermacam-macam dengan anak-anak Medusa itu. Benar saja jika kalian berdecih dan menghujatku sebagai seorang cemen atau loser, karena faktanya yang kalian tahu bahwa aku sedang ketakutan dengan sesamaku sendiri.
Aku telah mencapai gerbang utama. Tetapi, aku kesulitan untuk keluar, karena beberapa pengendara motor dan mobil lebih mendominasi jalan keluar dari Sky High School itu. Aku berusaha menyerobot, hingga mereka terhalang aku, dan berkali-kali mengumpatiku yang seenakku sendiri.
I don't care with you, all! My life is more important than you!
Aku berhasil keluar dari kerumunan, dan langsung saja berlari menuju arahku pulang.
Sebenarnya, aku tidak perlu terlalu ketakutan dengan geng terkuat di sekolah itu, karena mereka juga belum tentu pulang. Mereka biasanya masih berkumpul di warung belakang sekolah, atau di rooftop, ya apalagi kalau bukan untuk merokok.
Baru sekitar 300 meter dari sekolah, aku bertemu gang itu. Gang kecil, sempit, bau, dan tempat bersarang kucing, anjing liar, dan binatang menjijikkan lainnya. Tempat dimana aku dihabisi hingga babak belur begini.
Melihat tempat gelap itu, aku jadi trauma sendiri. Padahal biasanya aku tidak setakut ini dengan tempat-tempat seperti ini.
Di lain memori, aku jadi ingat lagi dengan gadis cantik bak bidadari yang tinggal di komplek rumah yang letaknya saling membelakangi dengan rumah yang ada di kanan jalan ini. Kemarin, aku bisa bertemu dengan rumah macam kastil menyeramkan itu karena aku berlari ke arah jalan melewati rumah itu.
Aku tahu alternatif lain selain gang gelap itu, namun jika ditempuh dari jalan yang kulewati sekarang, mungkin agak jauh. Aku harus memutar arah, kembali ke depan sekolah dan lurus terus lalu berbelok ke kiri. Jauh dan membingungkan. Dari sekolah jaraknya masih 3 kilometer hingga mencapai rumah gadis itu.
Oh, baiklah, aku tidak mau kembali ke sekolah dan bertemu dengan geng sialan itu. Aku juga tidak mau bernostalgia dengan hari kelamku kemarin di gang gelap itu. Namun, aku mau bertemu dengan bidadari itu lagi. Sekadar, berterimakasih lagi dan berkenalan, kemarin dia belum sempat menjawab pertanyaanku tentang namanya.
Ah, kenapa aku jadi dilema macam begini?
Lebih baik aku pulang saja, daripada sibuk menimbang keputusan yang bisa-bisa bikin aku bertemu lagi dengan geng Python jika aku masih berdiri bak mannequin disini.
Suku kata dalam nama lengkapku berjumlah enam, aku harus berpacu pada itu untuk mengambil keputusan untuk kali ini.
Aku mengangkat tanganku dan mulai menghitung dalam hati.
Pulang, nggak, pulang, nggak, pulang,
nggak!
Okay. Aku mendapatkan kesimpulan bahwa setelah ini aku tidak pulang, dan aku akan pergi menemui gadis itu.
Haha.
Maybe, the universe want to look I meet with that angel. Oh, it's the fucking predestination. But, I agree.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Destiny (On Hold) 🙏
Novela JuvenilSelama ini, Abigail Eros terkenal sebagai laki-laki yang tengil dan sok pahlawan. Memiliki sobat-sobat yang sama-sama tengil dan menurut padanya, satu di antaranya adalah Rimba, si gadis tomboi yang selalu menjadi kesayangan Eros. Ah, tidak. Bukan h...