Kamu tahu, kan? Pertengkaran merupakan hal yang biasa dalam sebuah hubungan. Malam ini, karena aku sedang tidak sibuk, biar aku ceritakan waktu aku dan Bona bertengkar besar untuk pertama kalinya. Waktu itu, kami sedang sibuk-sibuknya dengan urusan masing-masing. Aku sedang sibuk-sibuknya menyusun skripsi dan hampir tiap malam aku hanya tidur 3 jam. Bona sedang sibuk-sibuknya dengan masa-masa awalnya sebagai dokter muda.
Kami terpisah karena kesibukan masing-masing, prioritas kami berubah, rasa rindu selalu tertepis rasa lelah karena kesibukan. Waktu itu, kami masih sama-sama egois, dan aku hanya ingin dimengerti sebagai pihak yang paling lelah, sampai tidak sadar kalau Bona juga lelah.
∞
Proses penyusunan skripsi terasa semakin berat bagiku, karena Bona tidak mendadak menjadi sulit dihubungi. Bahkan sudah seminggu lebih sehari kami tidak bertemu, tidak juga ada telepon atau video call darinya selama 8 hari itu. Yang ada hanyalah pesan selamat pagi yang dikirimnya 4 hari yang lalu.
Kemarin, ku datangi apartemennya, namun kosong. Kata petugas waktu itu, dia belum pulang kemarin malam. Akhirnya aku putuskan untuk datang ke rumah sakit tempatnya praktek. Namun sepertinya aku datang disaat yang salah, aku datang bersamaan dengan mobil-mobil ambulance yang membawa banyak anak-anak sekolah yang terluka. Beberapa dari mereka tidak sadarkan diri dengan darah mengalir melalui pelipis dan bahu. Rupanya, mereka adalah korban kecelakaan bus sekolah.
Kebetulan saat itu aku berdiri tidak jauh dari pintu masuk tempat ambulance, tepat saat dia menjadi dokter pertama yang berlari keluar untuk mengecek keadaan pasien-pasien yang baru datang itu. Dia mengetahui keberadaanku saat itu, dia terkejut saat mata kami bertemu tatap. Namun fokusnya langsung teralihkan saat seorang perawat memanggil namanya. Setelah beberapa doktek lain keluar dan membantunya mengecek keadaan pasien, dia berlari masuk sambil mendorong ranjang pasien bersama 2 orang perawat.
Karena aku tahu Bona mengetahui keberadaanku, aku memutuskan untuk menunggunya di cafe rumah sakit. Berharap dia akan menelepon dan menyusulku ke cafe. Namun setelah 2 jam lebih menunggu, tidak ada panggilan masuk sama sekali. Bahkan pesan masuk pun tidak ada. Aku yang mulai kecewa berusaha menegarkan hati. Ku tinggalkan cafe dan memutuskan untuk pulang. Sebelum itu, aku mampir dulu ke bagian unit gawat darurat. Namun dia tidak terlihat ada disana, dan saat itu aku benar-benar kecewa.
∞
3 hari berlalu sejak kunjunganku ke rumah sakit, Bona masih belum memberikanku kabar. Namun sewaktu aku pulang ke apartemen, ternyata dia sudah menungguku di depan pintu. Aku berpura-pura tidak melihatnya kemudian langsung membuka pintu apartemenku dan melangkah masuk. Tangannya dengan sigap menahan pintu itu sebelum aku menutupkan. Namun kembali aku pura-pura tidak menganggap keberadaannya. Aku tetap melangkah masuk dan ku biarkan dia menutup pintu.
Emosiku sudah berada dipuncaknya saat itu. Ada rasa marah, kesal dan rindu yang ingin sekali ku lampiaskan kepadanya. Dia menahan tanganku saat aku hendak menaruh sepatuku di rak. Matanya menatapku tajam. Raut wajahnya terlihat lelah.
"Bisa gak, kamu gak begini? Kamu tau aku udah berdiri 30 menit lebih di depan nungguin kamu pulang." Cengkraman tangannya semakin keras, aku merintih pelan karena sakit.
"Kamu bisa gak ngabarin aku? Aku nungguin kamu dua jam lebih kemarin di rumah sakit", balasku dengan penuh emosi.
"Aku gak pernah minta kamu ke rumah sakit. Kamu ngapain juga ke sana?"
"Aku tahu itu childish, tapi aku kangen kamu." Aku memberanikan diri menatap matanya. "Aku ke apartemen kamu, kata satpam kamu belum pulang dari kemarin. Aku telepon, kamu gak angkat. Aku sms, kamu gak bales. Kamu berhenti ngabarin aku dan kamu gada di apartemen kamu. Jadi aku harus gimana, hah?"
Cengkraman tangannya menarikku semakin mendekat. "Kamu ngerti gak sih, aku sesusah apa di rumah sakit. Aku kurang tidur, kejadian ada pasien beruntun kayak kemarin bukan pertama kalinya terjadi selama aku kerja di sana."
"Yang lagi susah gak cuma kamu, aku lagi nyusun skripsi. Tuh kamu liat itu," aku menunjuk tumpukan buku dan kertas yang berserakan di meja, "aku juga stress lagi nyusun skripsi. Aku tidur tiap hari gak sampe 4 jam. Dan kamu gak ada buat ngesupport aku."
Aku menarik tanganku dari cengkramannya. "Aku tahu kamu lagi sibuk, tapi sesusah itu buat kamu ngabarin aku?"
Bona mengusap wajahnya kasar. "Kenapa kamu jadi manja? Bisa gak kamu ngertiin keadaan aku?"
Manja, Bona mengataiku manja. Emosiku saat itu sudah benar-benar ada di puncak.
"Aku gak manja", suaraku mulai menaik. "Aku udah coba ngertiin kamu, tapi kamu kelewatan. Aku gak minta kamu di sini buat nemenin aku begadang nyusun skripsi. Aku cuma minta kamu ngabarin aku, sesusah itu, hah?"
Air mataku mulai menetes. Aku menangis. Aku tatap matanya untuk menunjukan seberapa terlukanya hatiku. Rahangnya mengeras dan matanya masih menatapku. Tatapannya sulit diartikan, lelah, terluka dan bersalah.
Dia menarik napasnya kasar. Kemudian, aku menepis tangannya yang mencoba menarikku dalam pelukannya.
"Pulang", ucapku dingin masih dengan air mata yang mengalir.
Bona tidak bergeming, masih berdiri ditempatnya.
"Aku bilang pulang. Percuma kamu ada disini kalau kita cuma berantem kayak gini."
Aku buang pandanganku saat dia melangkah keluar dari pintu. Tepat saat pintu tertutup, aku menangis semakin keras.
∞
KAMU SEDANG MEMBACA
NESTAPA
Short Storykala rindu datang menyesakkan dada, namun ragamu jauh dari genggamanku. 2019, angels-writing