A Story by
Santi Lumban GaolVote sebelum dibaca
*Happy Reading*
*****
Sunyi adalah ruang perenungan terindah yang dimiliki oleh manusia. Sementara sepi adalah teman terbaik dalam melakukan perenungan. Sunyi dan sepi, mereka telah dengan setia mengikuti malam-malam insomnia mahluk bernama manusia yang berdiri di bawah sinar bulan di sudut kaca itu.
Keadaan yang membuat manusia seharusnya sangat menghargai nikmat Tuhan yang bernama tidur. Membentuk mereka menjadi pengamat terhadap diri sendiri. Berteman dan mengenal diri sendiri.
Pujian dan hujatan silih berganti hadir dalam ruang-ruang sunyi itu. Walau tetap sepi membisikkan ejekan kehinaan akan kealpaan diri di hari-hari yang lalu maupun dalam malam itu sendiri.
Senandung malam mencekam mereka, wajah nan kelam hitam legam dalam kesunyian, bersama rembulan mendendangkan syair hitam yang terbalut kelam, senandung malam, menyepikan kesunyian, menyanjung awan hitam. Tak lagi ada bahasa, yang tersisa hanya diam dan penyesalan yang masih tersulut di relung paling dalam.
Malam hanya persimpangan untuk hati mereka yang kelelahan. Hati terpaku memohon pada sang alam. Meminta enyahkan semua pahit kesunyian di dalam sana. Memohon dengan ketertundukan jika masih bisa mengulang kembali waktu silam.
Seorang dari yang lain berdiri menantang sepi, membungkam ketakutan dan kembali berlari. Haruskah dia berteriak? Haruskah dia berlutut?
Tidak, dia akan berlari sampai bertemu dengan sang mentari.
Sedangkan orang terakhir di antara mereka duduk manis di depan sebuah cermin besar dan menatap wajah cantiknya. Ruang penuh silauan cahaya itu tak lantas membuatnya berbangga diri dengan ukiran tangan Tuhan pada wajah sempurnanya.
Mengutuk, mengumpat dan juga mencaci. Dia benci pada diri sendiri dan juga benci kepada semua orang.
Kenapa untuk hidupnya saja dia harus repot-repot mengikuti aturan main dunia? Dia harus patuh hukum yang diciptakan manusia. Dia harus berinteraksi dengan banyak insan yang tidak ingin dikenalnya, dia dikendalikan sosial yang lantas merenggut kebebasannya melakukan apa saja.
Kesunyian itu sesungguhnya sudah membuatnya muak. Muak untuk selalu diam dan menunggu, kemudian yang sedang berdiri di depan kaca, menatap kaca pembatas luar dan juga ruangan itu akan memutuskan segala hal yang menyangkut dengan masa depan keduanya.
Sesekali rasa pada dirinya ingin bicara, mengeluarkan protes pada setiap nasip sial yang diterimanya. Namun keadaan selalu berhasil membungkam mulut lancang itu, karena kenyataan sesungguhnya menguak bahwa pelaku utama mengapa hidupnya demikian adalah dirinya sendiri dan juga seseorang yang berdiri agak jauh darinya.