Keputusan

65 8 11
                                    


Aran--itu nama panggilanku-- diambil empat huruf terakhir dari namaku. Nama lengkapku Lee Baran, tapi entah kenapa orang-orang lebih suka memanggilku Aran di banding Lee. Aku keturunan India-Indonesia, sudah tinggal di sini sejak aku dilahirkan. Aku juga tidak tahu kenapa ayah dan ibu menamaiku Lee Baran. Padahal sediktipun aku tidak ada keturunan Tionghoa. Suka saja kali mereka sama nama itu. Kota ku ini adalah kota kecil dengan pantainya yang indah, banyak orang yang memuja-muji kota ini karena keindahannya, berdatangan hanya sekedar menikmati pemandangan alam yang menakjubkan, berfoto, atau berbulan madu. Aku begitu mengenali tempat-tempat di kota ini, jika kalian bertanya lorong-lorong tanyakan saja padaku, aku akan antar kalian kemana pun. Aku juga tidak butuh apa pun dari kalian, asal kalian mengerti saja. Aku ini sangat pengingat, itu kelebihanku sekaligus menjadi kelemahanku.

Aku sudah tidak bisa melupakan sudut demi sudut kota ini, saking terlalu lama aku tinggal di sini. Hatiku selalu bertanya, apaka ada dunia lain di luar sana? Aku tidak tahu kecuali kota ini, tanah kelahiranku. Aku ingin merasakan sensasi hidup baru. Aku hanya tahu dua tiga tempat menurut cerita ayahku. Itupun hanya imajinasiku. Aku ingin sekali mengunjungi seluruh penjuru bumi ini. Hingga suatu hari dia datang menghentikan langkahku. Kejadian di caffe itu, waktu itu aku habis berpikir keras tentang hidupku. Mau kemana aku pergi setelah kedua orang tuaku meninggal? Aku bingung di sini sudah tidak ada lagi kerabat, di tempat-tempat yang ayah ceritakan itu, apakah mereka akan mengenaliku? Apakah ayah pernah cerita tentangku kepada saudaranya? Aku tidak pernah bertanya soal itu.

Setelah lama aku memikirkannya, aku memutuskan untuk pergi dari sini. Aku memutuskan untuk mulai meniti perjalananku yang dulu aku inginkan, mengelilingi dunia, menginjak setiap tanah yang ada di belahan dunia ini. Mengetahui setiap sudut bumi ini. Seperti halnya aku mengetahui setiap sudut kota ini. Tapi rencanaku gagal. Dia yang menggagalkannya. Seperti yang kalian tahu, langkahku terhenti di depan pintu caffe itu waktu pertama melihatnya. Dan senyumannya itu menghentikanku selamanya. Tidak, bukan selamanya mungkin hanya sampai sekarang ini. Dia datang ke kota ini untuk mencari ilmu baru, menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Kalau aku baru selesai tahun kemarin dari perguruan tinggi ku.

Pertemuan di caffe itu membuat aku memikirkan dia, dan melupakan rencana awalku untuk berkeliling dunia. Setelah pertemuan yang kedua, dimana waktu itu kami bertabrakan di depan pintu caffe aku segera pergi dari sana, tapi tidak langsung kerumah. Aku pergi ke pantai paporitku, itu bukan pantai yang paling indah dan paporit banyak orang. Tapi aku menyukai suasana tenang di sana. Sangat sepi karena jarang yang berkunjung. Sampai tengah malam aku memandangi luasnnya lautan. Begitu tenang. Angin laut berhembus kencang, tapi aku tidak merasakan dinginnya. Yang aku rasakan hanyalah bisikan dalam dada, aku menyukai gadis itu. Di tengah-tengah laut sinar lampu dari perahu para nelayan terlihat remang. Di atas langit Bintang-gemintang terlihat berformasi. Tapi tidak ada bulan di atas langit. Sepertinya tidak lengkap keceriaan langit itu jika tidak ada bulan. Seperti hatiku saat ini, terasa tidak lengkap jika gadis itu tidak mengetahui perasaanku, jika gadis itu tidak ada di sampingku. Sampai tengah malam aku merenung, memikirkan kembali keputusan awalku. Akhirnya aku tidak jadi untuk pergi dari sini. Disini aku punya tujuan baru, mendapatkannya lalu setelah itu aku harap dia mau bertualang denganku. Rencana yang sangat bagus bukan?

Setelah aku pergi dari caffe, aku tidak tahu lagi apa yang dia lakukan. Setelah dari pantai aku tidak pulang ke reumahku. Aku ketempat seseorang, dia adalah sahabat dekat ayah waktu ayah masih hidup. Aku sangat mengenalnya. Bahkan jika aku butuh sesuatu aku tidak segan untuk meminta bantuannya. Dia baik sekali. Tempat paman Ram selalu buka setiap waktu. Penuh pengunjung, berdua atau rombongan. Itu tempat yang paling baik untuk acara-acara istimewa atau acara apalah. Di sana tersedia berbagai fasilitas yang tersedia. Dimulai dari penyediaan layanan pijat, tempat makan, penginapan, dan sebagainya. Tidak terlalu mewah tapi cukup baik.

Di caffe aku hanya pesan kopi saja, jadi perutku sangat lapar. Aku duduk di salah satu bangku. Seseorang mendatangiku, aku kenal dia. Dia adalah anak gadis paman Ram. Wajahnya cantik bermata biru, rambutnya diikat kebelakang. Mengenakan celmek yang diikatkan kepunggungnya. "Hei Aran," katanya sambil tersenyum. "Sejak kapan kamu di sini?"

"Di mana paman Ram?" Aku balas tersenyum, tapi tidak membalas pada pertanyaanya. Aku menanyakan paman Ram. Wajahnya terlihat kecut. Manyun pertanyaannya aku abaikan. Aku tersenyum lagi.

"Maaf, aku lupa. Tadi kamu menanyakan apa?" Melihat wajahnya semakin kesal aku merasa kasihan. Tapi dia sudah seperti adik perempuanku. Aku seringkali menjahilinya.

Dia memukulku dengan nampan yang dia bawa untuk melayani pengunjung. "Heh dasar si pelupa bohongan. Buat apa kamu menanyakan bapak tua itu?"

Inilah kenapa aku suka menjahilinya. Aku suka melihat dia ketika marah. Lucu sekali wajahnya.

"Dari...." sebelum kalimatku selesai, sebelum aku bicara memberitahu kapan kedatanganku dia segera pergi lagi dengan wajah kesalnya. Ya sudahlah kataku dalam hati.

Tidak lama kemudian setelah Ymir pergi, datang dari balik pintu seorang lelaki tua. Tidak tua-tua amat, cuman rambutnya sudah hampir separuh memutih. Dia masih sekitar lima puluh tahunan kurang, tapi karena pekerjaannya yang keras membuat wajahnya lebih cepat tua. Itulah paman Ram. Dia melangkah menuju kursiku. Dia berdiri sebentar memastikan lalu duduk bersamaku.

"Ada si pelupa bohongan ternyata." Paman Ram menepuk-nepuk bahuku, tertawa. "Ada apa si tukang jahil menemui lelaki tua ini?" tanpa basa-basi dia langsung menanyakan inti kedatanganku kemari. Paman Ram ini kurang seru kalau diajak bercanda dan mungkin sifatnya itu turun pada putri satu-satunya.

"Mana Ymir? Aku lapar" aku memegangi perutku, menyeringai, langsung loncat pembahasan, menanyakan Ymir tapi salah satu jawabanku juga terselip di sana.

"Bukannya dia sudah kesini?" Paman Ram mengerutkan keningnya sambil tersenyum, "aku tahu... Pasti kamu jahil padanya." tangannya menunjukku, lalu tertawa dengan kelakuanku.

"Tadi dia pergi lagi." Aku mengangkatkan bahu.

"Itu salah kamu, sering ngerjain orang." Paman Ram tetap saja tidak menerima argumen yang aku bilang. "Aku mau nanya sekali lagi, tumben kamu datang kesini. Bukannya kamu tidak akan datang lagi kesini? Sudah bosan?"

"Aduh paman... Itukan hanya becanda. Sekeras apapun aku melupakan tempat ini, tetap saja teringat. Aku kangen ikan bakar khas tempat ini." tiba-tiba aku mencium aroma lezat, perutku mulai berontak keras. Ternyata ikan bakarnya datang.

"Hey Ymir, ternyata di balik kecuekan kamu, kamu perhatian juga" Aku ketawa nelihat Ymir yang masih kesal karena ulahku tadi.

"Heh dasar!" dia langsung putar balik ke dapur, masih banyak urusan yang harus dia lakukan.

Seperti yang ku bilang tadi, tengah malam pun tempat ini masih ramai pengunjung.

Lihatlah kondisi Ymir, sampai sekarang dia masih sibuk mengurusi orang lain, kasihan sekali nasibnya itu.

Kedatanganku kesini benar-benar karena aku merindukan masakan tempat ini, juga sudah lama aku tidak bertemu dengan paman Ram dan Ymir. Sekalian aku tadi dari tempat faforitku, aku lelah terus memikirkan gadis itu. Sepertinya tidak sanggup jika aku harus berjalan pulang kerumah. Dulu aku sering menginap di sini. Katika ayah sekali dua kali dalam sebulan pergi ke laut untuk menangkap ikan. Aku sering dititipkan di rumah paman Ram, menginap di sana. Menunggu ayah kembali dari laut. Ayahku bukan nelayan atau pelaut, dia adalah guru filsafat di salah satu perguruan tinggi kota. Tapi sekali dua kali dia suka pergi kelaut untuk menangkap ikan, menghilangkan kepenatan setelah seharian bekerja mengajar. Tapi aku tidak membenci siapapun, karena di dunia ini tidak bisa begitu saja menyalahkan setiap kejadian. Tidak bisa begitu saja mengadili siapa yang salah dan benar. Apa lagi menyalahkan takdir atau tuhan. Semuanya ada tugas masing-masing dari tuhan. Ada sebab akibat. Itu kata-kata yang paling aku ingat dari ayah. Kalau tidak terlihat di dunia pasti di akhirat ada balasannya, pasti akan ditunjukan siapa yang benar siapa yang salah. Setelah beberapa saat berbincang dengan paman Ram, aku tidur di tempat paman Ram. Di sana malam itu aku istirahat. Di tempat sahabat ayahku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biar KukatakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang