Chapter 15: Momen yang baik.

2.3K 296 21
                                    

Ali, Prilly, dan Mecca sudah rapi dan siap meluncur ke tempat yang akan mereka tuju. Panas Mecca syukurnya sudah turun, cuma masih terlihat lesu saja karena badannya masih lemas. Tadinya Prilly ingin pulang sebentar dan berencana bertemu di tempat tujuan saja karena Prilly lupa bawa baju ganti, beruntungnya Ali bilang masih ada beberapa baju Prilly yang tertinggal dan tersimpan rapi di koper.

Sekarang mereka bergegas masuk ke dalam mobil, milik Ali. Mecca di pangku di depan duduk bersama Prilly, karena ia sakit dan sedang manja-manjanya.

Ali dan Prilly terlihat seperti sepasang orangtua yang serasi, mungkin orang-orang yang melihat mereka tidak tahu kalau keduanya hanya dua orang yang sudah berstatus 'mantan'. Saat terjebak macet, sesekali Ali melirik ke arah Prilly yang sedang mengelus punggung Mecca, memainkan rambutnya sambil sesekali mengecup kening gadis mungil itu.

"Pril, padahal Mecca yang sakit ya. Tapi kok malah kamu yang kurus banget." tutur Ali mengatakan apa yang ia lihat.

"Saya diet." kata Prilly, berbohong.

"Tapi terlalu kurus juga nggak bagus." ujar Ali.

Prilly tersenyum, lalu ia mendorong lengan Ali pelan sambil berkata. "Coba deh ngaca, kayak nggak kurus aja!" cibir Prilly seraya terkekeh.

"Jangan dorong, sayang, lampunya udah Ijo tuh." kata Ali.

"Hah?" Prilly ingin sekali Ali mengulangnya sekali lagi

"Jangan dorong-dorong."

"Bukan, abis itu.."

"Apa sih. Udah ah saya mau fokus nyetir, takut kejadian waktu sama Aisa keulang."

"Jadi waktu sama Aisa kamu lagi romantis-romantisan.. makanya, Pak, kalo nyetir itu jangan genit." goda Prilly.

"Dih, siapa yang genit." sahut Ali tak terima seraya tertawa kecil. "Saya ngantuk waktu itu."

"Kenapa nggak tidur dulu?"

"Males, nggak ada yang kelonin." ucapan Ali berhasil membuat Prilly menaikkan satu alisnya dan membuat perempuan itu tersenyum geli.

"Kan ada Aisa, bisa minta tolong kelonin." Prilly terus menggodanya.

"Bukan mahram, saya maunya sama kamu." ucap Ali membuat Prilly bergidik ngeri dan berusaha menahan tawanya

"Saya juga udah bukan--"

"Tapi pernah jadi mahram." selak Ali.

"Ya kan tapi sekarang enggak."

"Nanti juga saya ajak rujuk!" tegas Ali.

Prilly rasa, kalau saja hati terbuat dari biji popcorn pasti perasaan sudah meletup-letup. Apa Prilly berhak bahagia meskipun Ali bukanlah lagi miliknya? Prilly ingin berteriak bahwa ia bahagia bukan kepalang. Jantungnya berdegup kencang dan senyum tak mau behenti hidup di bibirnya.

Tapi setelah mengingat bahwa ia hanya akan membuat semuanya rumit, Prilly menutup besar kemungkinannya untuk merajut hubungan seperti dulu bersama laki-laki yang sekarang duduk di sampingnya. Prilly lupa bahwa bagaimana bisa ia membahagiakan Ali dan Mecca? Hidupnya saja penuh luka, dan sebentar lagi akan berduka atas dirinya.

"Oh iya, Li, saya lupa. Saya sama Pasya berencana untuk tunangan, tapi mungkin di undur karena dia salah paham waktu itu."

"Tunangan?" tanya Ali terkejut, ia sempat menoleh ketika bertanya lalu kembali fokus pada jalanan.

"Iya."

***

"Tuh liat, uminya masih bobo." Prilly menggendong Mecca agar ia bisa melihat Aisa yang masih koma melalui kaca transparan di pintu. Gadis itu merengek minta masuk, tapi karena Mecca masih di bawah dua belas tahun ia tidak diperkenankan masuk takut terinfeksi virus. Apalagi Mecca dalam kondisi sedang sakit jadi gampang terkena penyakit. 

Suatu Hari NantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang