TUJUH

16 1 0
                                    

"Det,"panggil Carol, seniorku, yang datang menghampiri mejaku sambil membawa kertas A3. "Ini gambar wall treatment bagian kamu yang sudah saya kasih note. Yang wall treatment belakang resepsionis dan  area sofa sudah oke, tolong di-PDFdan diplot ke kertas bagus. Untuk display yang di area multifunction hall tolong direvisi. Masih ada kode yang salah. Yang bagian ambalannya tolong dikasih indirect lighting biar ada aksennya. Terus detail list stainlessnya jangan nanggung, langsung dibuat 15 cm aja supaya nekuknya rapih."

Carol kemudian membuka gambar yang dimaksud. Wall display yang kugambar dihiasi dengan coretan merah dari pulpen Carol. Carol mulai menjelaskan note yang dia taruh di gambarku. Mulai dari jenis bahan, detail ukuran, dimensi yang ternyata lupa kurevisi setelah sempat berubah desain, hingga menambah tambahan detail yang baru saja terpikir supaya desainnya terlihat lebih bagus.

"Tolong pdf yang tadi dulu supaya saya bisa e-mail ke klien untuk di-approve, lalu revisi yang tadi, baru lanjut lagi ke detail yang ruang meeting dan collaboration area."

"Ok, Mbak,"jawabku.

"Kira-kira hari ini bisa selesai semuanya enggak yang WT? Kan kalau meeting room tipikal aja. Collaboration area hari ini saya kasih imagenya. Berarti bisa ya?"

Aku menimbang-nimbang. "Mudah-mudahan, Mbak." Meskipun tipikal—desainnya hampir sama, hanya berbeda dimensi dan wallpaper aksen yang digunakan—tetap saja aku agak overwhelmed mengingat ada lima ruang meeting di proyek ini. Belum lagi pekerjaanku tidak hanya men-draft gambar detail, tapi juga membantu Carol ketika dia juga dilimpahi banyak pekerjaan, seperti meminta harga dari supplier dan subkon, mengecek stok material, sampai mencari supplier baru untuk bahan yang sama sebagai pembanding harga. A life of a staff working in a small consultant, I guess.

Carol menepuk bahuku. Seperti membaca pikiranku dia berkata,"Pasti bisa.Begitu sudah selesai langsung taruh di meja saya, supaya pulang dari lapangan bisa langsung saya review, dan kamu juga bisa lanjut masuk ke detail furniture."

Aku hanya mengangguk saja. Sementara itu, Carol lanjut berjalan ke meja Arif, drafter yang satunya lagi dan mulai memberikan penjalasan untuk gambar yang harus diperbaiki.

Setelah membuat PDF dari detail yang sudah di-approve Carol. Aku mulai merevisi detai yang tadi dijelaskan oleh Carol. Seperti yang kuduga, sekali-sekali Carol memanggilku untuk membantunya mengecek sesuatu berkaitan dengan harga.

Bekerja di konsultan kecil seperti One Design memang bukan mimpi awalku. Sewaktu aku kuliah, aku tersadar interior design bukanlah passion-ku. Namun aku tidak bisa pindah fakultas begitu saja karena ibu dan kakakku kerja banting tulang untuk membiayai kuliahku. Saat itu aku sangat yakin akan pindah jalur dan kembali menjalani passion-ku sebagai illustrator freelance begitu aku lulus sehingga keluargaku tidak perlu khawatir akan masa depanku. Dengan uang yang kudapat dari freelance,aku bisa menggunakannnya untuk kursus dan menaruhnya di aplikasi beasiswa S2 ke luar negeri.

Well, kehidupan menertawakan dan memberikan reality check. Untuk jadi ilustrator di majalah ternyata membutuhkan kemampuan mengambar secara digital dengan tablet dan perintilannya –sesuatu yang tidak aku kuasai, karena kemampuan gambar digitalku sebatas untuk menggambar ruangan, seperti AutoCAD, ArchiCAD, SketchUp, dan sedikit 3DsMax. Kantor yang sesuai dengan pendidikanku menawarkan gaji sangat kecil atau bahkan menolakku. Aplikasiku ke universitas-universitas di UK dan Jepang ditolak mentah-mentah. Setelah hampir sepuluh bulan menjadi pengangguran dan terus-terusan menerima email penolakan dari tempat yang aku inginkan, ketika One Design menerima aplikasiku, tentu saja aku harus mengambilnya.

Menjadi staff di konsultan sekaligus kontraktor yang staffnya hanya lima orang menjadi tantangan tersendiri. Aku harus bisa menguasai segala aspek. Belajar merancang, menggambar denah dan detail, berkoordinasi dengan subkon dan supplier, menjadi mandor, quantity surveyor, quality control, dan terkadang admin keuangan. Sangat banyak yang dituntut dariku hingga pekerjaan yang awalnya kupikir sebagai batu loncatan saja ternyata malah menjadi pekerjaan utamaku hingga sekarang.

ClichéWhere stories live. Discover now