DELAPAN

20 1 0
                                    


"Jangan lupa oleh-oleh,"pesan Rowan.

Aku menengadahkan tangan. "Uangnya?"

Rowan menepuk keras tanganku tanpa ampun. "Sama kakak ga boleh perhitungan,"balas Rowan, sambil mendorong tanganku menjauhi jendela mobil..

Aku menjulurkan lidahku kesal. Rowan hanya menutup jendela mobil dan beranjak dari drop off mall.

Jujur saja, aku paling malas ke mall di hari Minggu. Terlalu banyak pengunjung membuatku kepalaku pusing kalau berjalan sendirian. Aku hanya ikut ke Mall ketika menemani belanja bulanan, ke toko buku, nge-gym, atau dipaksa oleh orang terdekatku. Ini adalah opsi yang keempat. Kalau bukan karena persuasi Bie, aku lebih memilih di kafe langganan tidak jauh dari kompleks rumahku.

Biasanya aku terdistraksi ketika mengobrol, namun karena sekarang aku sedang sendirian, aku memasang earphone , mengalihkan konsentrasiku ke lirik lagu Sleeping At Last, 'Turning Page', dan menuju ke restoran yang diinfokan Bie.

Ternyata belum ada satupun yang sampai. Aku pun meminta tempat untuk 4 orang di sudut ruangan berbatasan dengan jendela. Aku memilih duduk membelakangi kerumunan orang. Setelah memberikan pesananku kepada pelayan, aku mengeluarkan buku sketsa dan kotak pensil. Karena perkataan Clark di warung tenda, aku mulai kembali ke cinta pertamaku, mencoba membuat sketsa lagi di tiap akhir minggu.

Akibat sudah lama tidak menggambar wajah dan terlalu sering menggambar garis geometris dengan mouse, menggambar garis organik untuk membentuk fitur wajah manusia terasa kaku bagi tanganku. Di satu sisi, aku dibuat frustrasi. Di sisi yang lain, aku merasa bahagia, menginterpretasikan bagaimana aku melihat suatu obyek ke secari kertas, sekali menghargai keunikan tiap wajah yang menjadi 'korban' latihanku. Kali ini sosok yang sedang kugambar adalah Lauren Riddlof, salah satu aktris broadway yang kebetulan juga tuna rungu. Wajahnya unik karena dia campuran Meksiko-Amerika dan Afrika-Amerika. Kulit sawo matang, hidung mancung dan bulat, senyuman indah, alis tebal, dan yang paling kusukai adalah tatapan matanya. Lauren memiliki tatapan yang saking tulusnya, aku bisa merasakan kebijaksanaan sosok ini. You just can't hate her.

"Yay, Dedet datang!" seru Bie. Bie yang hari ini memakai wig rambut ikal sepunggung berwarna pink memelukku dengan erat dari belakang, sambil mengayunkan badanku ke kanan dan ke kiri seakan aku ini Jake, peliharaannya. "I freakin' miss you!"

"Oke, Bie, lo bisa ngelepasin gue sekarang."Aku menepuk lengan Bie. "Gue bukan Jake."

Bie terkekeh. "Jelas lah, lo bukan Jake. Jake langsung ngegonggong kalo liat orang asing. Kalo lo, langsung ngebayangin he could be the one."

"Ha.. ha. Udah lama ga ketemu, makin garing aja lo ya," kataku sarkastik. "Kim bersaudara mana?"

Aku bergeser ke samping dekat jendela agar Bie bisa duduk di sampingku.

"Bentar lagi sih harusnya. Barusan Calvin WA, mereka baru dapet tempat parkir. So, give me an update!"

" Masih lembur kerja tiap hari. Terus, perut dan punggung gue makin basah karena udah jarang banget bisa olahraga. Kayaknya gue naik 3 kilo deh,"kataku sambil mengarsir bayangan sesuai foto Lauren di ponselku.

Bie melihatku seakan tidak percaya. " Lo ngegambar lagi?"

"Salah satu latihan gue untuk jadi orang yang lebih baik aja. Udah lama juga enggak gambar gini. Tangan gue kaku."

"Oke, tutup buku lo sekarang karena sambil nunggu yang lain dateng, gue mau ceritain apa yang terjadi Jumat kemarin."

"You kissed a guy?"

ClichéWhere stories live. Discover now