Pemicu depresi part 2
Aku terlahir dan dibesarkan dalam keluarga yang keras. Sejak kecil aku sudah terbiasa dipukuli oleh orang tuaku sendiri. Aku cukup lama menjadi anak tunggal, hampir 6 tahun. Walaupun aku anak satu-satunya, orang tuaku tetap saja memukuliku tanpa henti.
Seperti yang pernah ku ceritakan sebelumnya, ayahku pernah patah tulang dan harus beristirahat untuk jangka waktu yang lama. Ketika sudah pulih, ayahku pergi keluar kota untuk mencari pekerjaan. Kejadian pahitku bermula dari sini. Aku tinggal hanya berdua dengan ibu di kampung halaman ayah. Disini ibu sehari-harinya bertani dan beternak. Aku cukup sering ditinggal dirumah sendirian.
Suatu ketika, ibu sedang mencuci piring, aku membantu ibu untuk memindahkan hasil cuciana piring ke rak piring. Aku pun memecahkan gelas tanpa sengaja. Ibuku lantas marah-marah dan memukuliku tanpa iba. Aku hanya bisa menangis dan meminta maaf pada ibu. Hal ini yang kuingat pertama kali ibu memukuliku.
Setelah sekian lama, aku dan ibu menyusul ayah di luar kota tempatnya bekerja. Akhirnya keluarga kecilku berkumpul kembali. Kami tinggal di rumah kecil, daerah rumah liar tanpa sertifikat. Disana aku tumbuh hingga dewasa.
Suatu ketika, aku membuat kesalahan. Ntah kesalahan apa, aku pun lupa. Tapi yang kuingat waktu itu, aku menangis sejadi-jadinya karna dipukuli ibu. Waktu itu aku sudah terbiasa dipukuli. Yang membuatku kali ini benar-benar takut adalah ketika ibu mau memasukkanku ke dalam sumur yang berada persis di depan rumah. Entah itu bertujuan untuk mengancam atau sungguhan. Pada saat itu, ayah tidak dirumah karna sedang bekerja. Yang kuingat waktu itu ibu sangat murka, ia memukuliku sejadi-jadinya tanpa ampun. Tidak cukup sampai disitu, ibuku yg sangat murka menarikku ke sumur di depan rumah. Aku ingat sekali posisiku sudah menggantung, hanya tangan ibu yg memegang tangan kananku, jika ia melepaskanku maka tamat sudah riwayatku saat itu. Aku pun meminta ampun agar ibu tidak menjatuhkanku, aku meminta maaf kepada ibu mungkin kenakalanku membuatnya sangat marah. Akhirnya aku dibawa kembali masuk ke dalam rumah dan ibu mengurungku di dalam kamar sampai ayah yg membukakan pintu hingga ia pulang kerja.
Kekerasan fisik berupa pukulan menggunakan ikat pinggang untuk mencambukku, gagang sapu yg patah untuk memukulku, dijambak dan lain-lain adalah hal biasa yang kuterima. Namun ada beberapa kejadian yg membekas yg masih melekat di ingatanku.
Kejadian lain yg masih kuingat jelas yaitu ibu memukulku dan mengurungku di kamar. Saat itu aku benar-benar ingin buang air besar. Aku memohon kepada ibu untuk dikeluarkan karna ingin buang air, namun ibu tidak menurutiku. Akhirnya aku BAB di celana, dan karna lelah menangis aku tertidur di lantai kamar sambil BAB di celana. Ketika pintu dibukakan ibuku menjadi lebih murka ketika melihat lantai kamar yang ada kotoran dan bau. Aku pun dimandikan dan dipukuli lagi di kamar mandi. Aku diguyur sebanyak-banyaknya hingga aku menggigil.
Kejadian lain yang masih kuingat, aku pernah dibekap dengan bantal hingga sulit untuk bernapas, leherku pernah dililit dengan ikat pinggang dan aku di cekik. Masih banyak kekerasan fisik lainnya yang aku alami.
Begitu banyaknya kekerasan fisik yang ku alami, aku pernah sangat membenci ibuku. Sebenarnya bukan ayahku tidak pernah memukulku, namun pukulan dengan ikat pinggang yang dilakukan oleh ayah tidak begitu berarti untukku. Kekerasan yg kualami dari ibuku sangatlah menyakitkan. Ada beberapa momen aku merasa ayahku menyelamatkan aku dari ibu, sering ayah menghentikan ibu ketika memukulku jika sudah sangat berlebihan. Tapi ya setelah itu, ibu juga marah kepada ayah.Aku sering melihat pertengkaran antara ibu dan ayah, tidak jarang penyebabnya adalah aku, sering juga karna hal lain. Yang terparah, aku melihat ibuku memukul ayahku dengan kayu balok di sebelah kiri, hal itu membuat pendengaran ayahku terganggu sampai sekarang. Sakit sekali hatiku mengingat itu. Ayahku selalu mengalah, ia tidak pernah memukul ibu, jika dalam kondisi seperti itu ayah akan menangis berusaha meminta maaf dan menenangkan ibu.
Aku juga pernah melihat percobaan bunuh diri yang dilakukan ibu di depanku dan ayah setelah pertengkaran antara mereka berdua. Saat itu aku sudah mulai mengerti. Jika mereka bertengkar dan ibu sudah tidak bisa mengendalikan diri, ayah akan meminta pertolonganku. Untuk pertama kalinya aku berani berbicara didepan mereka. Jika mereka begini lebih baik aku yang pergi saja dari rumah, aku lebih baik mati daripada selalu melihat kejadian seperti ini. Daripada ibu bunuh diri lebih baik aku saja yg dibunuh. Sontak kami bertiga yang ada diruangan itu menangis, aku marah dan putus asa. Aku bahkan menginginkan untuk mereka bercerai saja namun ternyata ayah kuat menghadapi ibuku yang seperti itu. Entah aku harus bersyukur atau tidak.
Adik-adikku apakah mereka mengalami hal yang sama denganku? Ia sesekali mereka dipukul dengan gagang sapu atau ikat pinggang tapi tidak pernah ada yang separah aku. Aku bahkan iri dengan adik-adikku, aku merasa orang tuaku lebih menyayangi mereka. Dalam kehidupan sehari-hari saja aku merasa kebutuhan mereka lebih diutamakan, aku hanya bisa mengalah dan terus mengalah. Karna jarak umurku yang berjarak hampir 6 tahun dengan adikku yang kedua dan berjarak 9 tahun dengan adikku yang ketiga, aku selalu dituntut untuk jadi kakak yang selalu mengalah demi adik. Jika mereka pergi jalan-jalan selalu aku yang ditinggal dirumah, aku sudah terlalu biasa mandiri. Btw, aku tidak pernah punya foto keluarga lengkap. Selalu aku yang tidak ikut. Rasanya aku cemburu, tapi aku bisa apa. Aku hanya menerima dan menerima.
Kecemburuanku terhadap adik-adikku membuat aku menjadi seorang kakak yang kasar. Aku pernah memukuli adikku dengan hanger sampai biru-biru di depan orang tuaku. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu aku sudah mulai dewasa, aku sudah mulai memegang kendali atas diriku. Aku merasa salah karena pernah memukuli adikku, untungnya hal itu sudah tidak terjadi semenjak aku hidup terpisah dari mereka.
Kelas satu SMA aku sempat tinggal diluar kota dan tinggal jauh dari keluargaku. Hal itu membuat aku belajar hal baru, namun aku kembali tinggal di rumah keluargaku saat aku kelas dua SMA. Aku sudah tidak kasar kepada adik-adikku, aku sedikit bersyukur.
Aku sudah tidak membenci ibuku, aku bahkan tidak dendam dengannya. Namun luka batinku tidak bisa aku lupakan sama sekali. Hal-hal itu membuat aku tidak bisa intim dengan orang tuaku karna aku takut walaupun aku sudah tidak dipukuli seperti dulu. Saat ini aku sudah lumayan berumur, bakan teman-temanku sudah banyak yang berkeluarga. Untuk saat ini aku tinggal di luar kota terpisah dari keluargaku, setahun atau dua tahun sekali aku pulang untuk melepaskan rindu, tapi berpikiran untuk kembali kerumah lagi rasanya aku tidak kuat.
Aku sangat sayang kepada kedua orang tuaku dan adik-adikku. Tujuan hidupku adalah membahagiakan mereka. Aku bahkan tidak tahu apakah aku akan segera menikah atau tidak, karna aku belum bisa memberikan apa-apa ke mereka. Disamping itu juga aku sedikit takut untuk berumah tangga, aku takut hal dimasa lalu terjadi kepadaku atau mungkin anakku. Aku tidak mau terjadi pengulangan siklus. Aku hanya akan menikah disaat aku sudah benar-benar siap, disaat aku sudah mencintai diriku apa adanya. Kalau aku belum bisa menerima diriku sendiri, bagaimana orang lain akan menerimaku?
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Depresi
Short StoryAku juga ingin bahagia, tapi aku rasa aku tidak akan pernah menerimanya.