Pukul 12:30, harusnya siang ini matahari sedang terik teriknya di atas. Namun, awan awan hitam yang menggulung di sana menutupinya. Angin kencang menghembus menammbah kesuraman suasana.
Menghela nafas panjang, aku kembali duduk sambil menopang dagu. Kapal bergoyang-goyang lebih keras dari sebelumnya, untung saja aku bukan orang yang suka mabuk perjalanan. Berbeda dengan Mama ku yang ada di tempat duduk di sana, Papa berusaha memijat kepala dan punggung mama yang wajahnya pucat.
"30 menit lagi." Ucap seseorang lalu duduk di depanku.
Rambut hitam yang sudah mencapai dahinnya tertiup angin, menunjukan dua matanya yang menawan. Ia tersenyum menyebalkan kearahku, membuat judul menawannya jadi gagal.
Melupakannya sejenak, aku kembali melihat kearah orangtuaku, "Apa masih jauh? Kita sudah berlayar dari pagi." Kataku khawatir Mama tak bisa menahannya lebih lama.
Ali terkekeh pelan, saat itu juga aku merasa seluruh tubuhku membeku ketika melihat wajahnya.
"Sebentar lagi, Ra. Kenapa kamu tidak membantu menyembuhkan Mama mu dengan kekuatanmu?"
Kalau bisa, aku pasti melakukannya dari awal. Tapi mengingat ayahku yang mengatakan, "Biar ayah saja, kamu main saja dengan Ali dan Seli.". Mungkin, ayah butuh waktu sendirian bersama ibu.
"Ayah mau jadi pahlawan ibu-"
Dia menatapku dalam, tepat ke arah mataku. Oh sial, dia benar benar tau caranya membuatku gugup. "A-ada apa dengan wajahku?". Kedua pipiku perlahan menghangat.
Ali memiringkan wajahnya kekanan, lalu kekiri sambil matanya tak pernah lepas dariku. Yaampun. "Ada yang berubah."
Dengan sekuat tenaga, aku mencoba untuk bersikap setenang mungkin. Huft, Raib, apa yang membuatmu gugup? Dari dulu memang kita sedekat ini.
"Ha-hah? Apa yang be-berubah? Aku merasa biasa saja kok." Aku memposisikan duduk ku senatural mungkin. Aku yakin, sekarang aku pasti kelihatan seperti boneka chucky yang duduk di lemarinya.
Ali terkekeh lagi, matanya tertutup sepersekian detik sebelum berkata "Jerawatmu bertambah satu di jidatmu."
Cukup dengan kalimat itu, aku melemparkan kotak minuman yang sudah habis. Telingaku terasa hangat, mungkin sampai kepipi? Entah, aku kesal sekali dengan makhluk di depanku.
"Eh, jangan buang sampah sembarangan. Kamu sekolah tinggi-tinggi belajar apa saja tidak tahu dimana tempat sampah seharusnya?"
"Terserah." Satu jawaban itu lalu aku mengalihkan pandangku lagi ke luar jendela.
"Ra, jangan dingin seperti itu dong."
Gelombang lautnya tidak sekeras sebelumnya, sekarang lebih tenang.
Masih enggan melihat ke Ali, aku memperhatikan burung camar yang berterbangan di atas. Angin berhembus lagi membuat udara yang kuhirup menjadi segar. Oh, sudah dekat ya?
Kudengar suara gerakan Ali yang bangun dan pergi dari tempatnya.
Hmp, aku tidak peduli kemana dia akan pergi.
Sudah dari tadi Seli pamit ke belakang, kenapa dia belum kembali juga ya? Tadi wajahnya memucat, aku yang hendak menemaninya ditolak dan berkata dia baik baik saja sendiri. Muka dan bibirnya yang pias tak terlihat baik baik saja untukku. Mungkin aku harus melihatnya.
Belum sempat aku berdiri, dia sudah datang lagi.
Bukan. Bukan Seli yang datang. Si biang kerok itu kembali sambil membawa tabung kecil. Ia duduk lagi, sekarang satu bangku denganku. Lengannya bertemu dengan bahuku, aroma khasnya tercium sedekat ini. Aduh..