...Selasa, 17 Desember 20XX...
Aroma aspal yang terbasahi air hujan menghampiri penciuman, meskipun di ruangan ini terpasang pendingin ruangan, hawa itu terbawa oleh pengunjung yang masuk ke kedai ini. Ruangan ini yang tadinya ramai karena dijadikan tempat berteduh dari hujan lebat oleh para pejalan kaki, kini meja mejanya terlihat jarang ditempati. Satu persatu, mereka meninggalkan kedai ini sehingga disini menyisakan beberapa meja saja yang terisi.
"Atas nama 'Ali'?" Salah satu pelayan berkata sambil tangannya memegang satu cup minuman hangat.
Aku mengambil dompetku, yang pertama terlihat adalah foto kami bertiga yang saling merangkul dan tak lupa ekspresi wajah kami yang ceria. Tentu, dia hanya tersenyum simpul. Ah, dulu ya? Rasanya sudah lama sekali.
Sadar tak boleh lengah, kartu pengganti uang tunai itu aku serahkan pada kasir, setelah selesai aku mengambil pesananku dan segera kembali ke tempatku di dekat jendela. Bahaya kalau aku berdiri terus dikasir sambil senyum-senyum sendiri."Lama ya?"
Perempuan itu tidak menjawab, masih fokus dengan buku novelnya. Raib, kebiasaannya dari dulu yang tidak pernah hilang, pura-pura tidak peduli. Satu hal ini yang membuatku lupa kalau kita sudah mulai beranjak dewasa. Tapi, semenjak lulus SMA banyak hal yang terjadi. Sikapnya yang mulai terbuka, fisiknya yang aku rasa dia bukannya bertambah tinggi tapi pendek, dan banyak lagi tak bisa aku sebutkan. Entah bagaimana dan kapan terjadinya, tapi aku yakin kalau kami sudah menjalani hubungan melebihi sahabat.
Aku duduk disebrangnya, sebuah meja yang diatasnya hanya ada sepiring kudapan dan ponsel Raib memisahkan kami. Mood nya sedang buruk kah? Yang pasti, kalau sudah seperti ini kau harus membiarkannya saja. Aku yakin dia akan berbicara sebentar lagi.
Segelas kopi hangat yang tadi kupesan aku hisap pelan-pelan. Hawa dingin yang menusuk ini teredakan oleh minuman ini. Rasa pahit manis menghampiri indra perasaku. Kurasa mulutku mengeluarkan uap sementara tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Ra.." Ucapku pelan. Aku tahu tak banyak laki-laki yang mau mendengarkan cerita merepotkan seorang perempuan. Tapi aku harus akan mencobanya, "Mau cerita?"
Buku novelnya masih setia bertengger di tangannya, cukup tinggi hingga benda itu menutupi wajah manisnya. Dengan terpaksa aku menurunkan buku itu. "Atau mau pulang saja? Hujannya sudah reda, meskipun masih gerimis sedikit." Tawarku lalu melihat keluar jendela yang terkena tetesan air sisa hujan lebat tadi. Diluar, lampu jalan mulai menyala terang, langit mendung menyamarkan waktu sore ini.
Raib menyerah, dia menutup bukunya dan meletakannya diatas meja. Lantas, ia memberiku tatapan yang mencoba memberitahuku sesuatu. Wajahnya tidak terlihat ingin marah, tapi mata itu, ada yang lain di matanya.
Untunglah, itu hanya sekejap, setelah itu dia mengalihkan pandangannya ke arah minumanku. "Kamu pesan kopi lagi?" Aku mengagguk menjawab pertanyaannya. "Kamu mau?"
Gadis itu menggelengkan kepala, tapi ia tetap mengambil minumanku lalu menyesapnya. Aku menghembuskan nafas lega, entah untuk apa tapi aku merasa lega.
Tinggal setengah? Aku menatap tak percaya Raib.
"Al, kamu itu jangan terlalu banyak minum kopi. Aku tahu kamu jarang makan, pola makanmu tak teratur. Bagaimana kalau kamu punya penyakit lambung? Kamu tahukan kalau kopi itu mengandung kafein yang berbahaya untuk lambung yang terluka? Kalau-"
Ok. Satu lagi hal yang tak berubah dari Raib, cerewet.
Aku mengibaskan tanganku"Ya.. ya..., sudah, Ra. Aku tahu itu, kamu pikir aku anak-anak?"