Terpaksa

8.7K 487 1
                                    

Adinda sarapan di meja makan tanpa melihat Dimas sama sekali. Oya, mereka tinggal di rumah orang tua Dimas untuk sementara waktu. Itu juga atas keinginan Dimas karena papanya sudah meninggal sewaktu dia masih kuliah.

“Din, kamu nanti temani Mama belanja bulanan, ya?,” pinta Mirda, Mama mertua Adinda.

“Iya, Ma,” Adinda mengiyakan sambil terus menikmati sarapannya.

“Kalian nggak ada acara, kan? Nanti Mama mengganggu lagi?,” lirik mertuanya karena merasa aneh dengan tingkah anak dan menantunya pagi ini. Tidak seperti pasangan pengantin baru yang lagi kasmaran.

“Nggak kok, Ma. Mama tenang saja nanti Dimas antar,” sahut Dimas.

Dimas melihat Adinda yang dari tadi sarapan tanpa melihat ke arahnya sedikit pun. 'Hm, pasti masih marah gara-gara semalam, nih,' batin Dimas.

“Aku panaskan mobil dulu ya, Ma,” Dimas pamit keluar menuju ke garasi rumah.

“Din, kamu kenapa sayang? Apa Dimas terlalu memaksa ya semalam?,” tanya mertuanya pelan.

“Ah...Mama. Nggak, kok,” tepis Adinda tersenyum malu. 'Kelihatan banget ya wajahku sampai Mama menebak begitu?,'

Orang semalam dia dan Dimas tidak melakukan apa-apa kecuali...Adinda menggigit bibirnya mengingat kejadian semalam yang membuatnya terkejut. Untuk pertama kalinya dia merasakan hal itu.

“Syukurlah kalau begitu,” desah mertuanya. “Mama juga pernah mengingatkan Dimas agar bersikap lembut untuk urusan seperti itu. Jangan memaksa kalau istri belum siap,” ingat mertuanya sambil tersenyum.

Adinda pun hanya tersenyum malu, mertuanya tidak tahu kalau dia belum bisa menerima Dimas seutuhnya.

“Kalau sudah makan, kamu siap-siap ya, Din. Mama mau membereskan meja makan dulu,” ujar Mirda beranjak dari meja makan.

“Biar Dinda saja Ma yang membereskan,” ucap Adinda menghalau mertuanya agar tidak membereskan meja makan.

“Ya, udah kita sama-sama bereskan ini dulu baru ganti pakaian,”

Akhirnya Yasmin dan mertuanya sama-sama membereskan meja makan. Setelah itu berganti pakaian untuk pergi belanja.

***

“Huaaa!! Capek banget,” keluh Adinda duduk di samping Sinta, teman SMA-nya sekaligus teman mengajarnya.

“Emang sampe berapa ronde, Neng?,” goda Sinta tertawa kecil melihat Adinda sepertinya lelah sekali.

“Yee...pikiran kamu sama saja kayak Dimas. Mesum!,” ledek Adinda mengerucutkan bibirnya.

“Aku tuh capek, baru menemani mertua ku shoping tau nggak,” jelas Adinda. Sinta pun hanya ber-o ria.

“Enak, ya. Mertua dan menantu akur kayak kamu. Lha, kalau mertua ku nggak gaul amat. Nyuruh belanja di warung di depan rumah saja. Giliran aku ke mall, dibilangnya pemborosan,” gerutu Sinta membandingkan kehidupan rumah tangganya dengan Adinda.

“Emang kamu boros kan, Sin?,” tebak Adinda melihat Sinta.

“Ya, aku belanja kan karena ada gunanya, Din. Lagipula aku belanja juga pakai uang ku sendiri kok, bukan uang anaknya,” sungut Sinta tidak terima dituduh boros.

“Tapi kamu kan, nikah sama laki-laki yang kamu cintai, Sin. Nggak kayak aku. Kamu kan tahu, aku benci banget sama Dimas dari SMA,” ujar Adinda tidak suka.

Dia menikah dengan Dimas juga karena terpaksa. Terpaksa menuruti kemauan bapaknya. Orang tua Dimas adalah tetangga bapaknya, rumah mereka hanya beda RT saja.

Setiap pergi sekolah Adinda harus melewati rumah besar Dimas tapi Adinda tidak tahu kalau rumah itu adalah rumah musuhnya di sekolah. Orang tua Dimas sangat baik dengan tetangga di sekitarnya, walaupun orang kaya mereka ringan tangan. Sampai suatu waktu bapak Adinda meminjam uang yang cukup banyak untuk mengembangkan usaha rumah makannya kepada Pak Wijaya, papa Dimas.

Sampai papa Dimas meninggal pun hutang bapak Adinda belum juga lunas, malah semakin bertambah. Hal itu pun diketahui Dimas dan menjadi peluang baginya untuk menikahi Adinda.

“Dengan nikah sama Dimas hutang bapak mu kan jadi lunas, Din,” ingat Sinta.

“Itu sama saja bapak telah menjual aku, Sin,” Adinda terisak jika ingat bagaimana dia menolak untuk dinikahkan dengan Dimas.

“Ya nggak bisa dibilang begitu juga, Din. Dimas kan, tetap ngasih kamu mahar kan sewaktu nikah. Dimas juga cinta banget sama kamu, makanya dia mengambil kesempatan itu lewat bapak mu” jelas Sinta.

“Tetap saja aku nggak bisa terima. Aku tidak mencintainya,” ucap Adinda sambil menghapus air matanya.

“Beda benci dengan cinta itu tipis banget lho, Din. Oya, pengantin baru itu bukannya menghabiskan waktu berduaan. Nah kamu kok, malah nyamperin aku,” ujar Sinta heran.

“Udah nganter mama pulang, dia aja pergi entah ke mana. Jadi ngapain juga aku di rumah,” sahut Adinda cuek.

Sinta tidak tinggal di rumah mertuanya. Dia dan suaminya memutuskan untuk mengontrak rumah walaupun kecil. Sinta bukannya tidak mau campur dengan mertuanya tapi di rumah itu masih ada dua adik laki-laki suaminya. Tentu saja hal itu membuat Sinta menjadi tidak bebas nantinya. Makanya Adinda suka main ke rumah Sinta karena suaminya juga lagi kerja. Jadi dia berkeluh kesah dengan Sinta yang mau mendengarkan curhatannya.

Continue

Menjaga Hati (Dikontrak Mangatoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang