Nama yang sempat terlupa

11 3 0
                                    

Gelap.

Sejauh matanya memandang,
Yuuki hanya bisa melihat kegelapan.

Dia mencoba meraba sekelilingnya. Tak ada apa apa. Dia cukup yakin dia tak berpijak apa pun.

Gadis itu mulai merasa kesal - Tidak. Dia merasa Takut.

Kemudian, seseorang muncul. Dia berdiri tepat di hadapan Yuuki.

Dan dia selalu sama seperti sebelumnya.

Tinggi, dengan rambut hitam pendek - seperti bayangan gelap yang berlatar kulitnya yang lebih gelap lagi . Dan kedua mata itu.

Biru, amat sangat biru. Bagaikan langit musim panas yang terpantul dari sebuah kolam.

Pemuda itu membuka mulutnya -

" Terus, " Sakurai menelan Tonkatsu*-nya, " Kamu bangun? "

" Hmm? Apa ?" Yuuki mencondongkan kepalanya lebih dekat.

" Kamu bangun? "

" Oh, " Yuuki menggeleng, seraya meneguk teh Oolong-nya.
" Belum. Terus, ada cahaya. Terang sekali. Lalu, BUM! Ada suara yang besaar sekali. Setelah itu, baru aku bangun. " Ucap gadis bermata coklat itu.

Sakurai menatap gadis di hadapannya sejenak. Lalu, dia berucap pelan,
" Yuuki-chan ... Mimpi yang sama selama dua bulan itu bukan pertanda yang baik."

Yuuki mengangkat bahu. " Sekarang, tanda apa pun kuterima, Sakurai-san. Aku harus bisa ingat, aku siapa... " suaranya mengecil sekarang.

Dokter muda itu menghela napas. Dia mengingat hari saat Yuuki muncul di desa ini.

Saat itu, Sakurai tengah mengisap sebatang Camel di beranda kliniknya , agak pahit dengan penempatannya di tempat kecil tak bernama ini. Dia baru saja mau masuk dan mengambil sepak rokok baru ketika Kentaro dan Masuko, kedua anak pemburu yang sering keluar masuk hutan, datang menggotong Yuuki.

Bajunya sobek sobek, ada luka di pelipisnya, dan lututnya berdarah.
Saat dia dirawat, Sakurai menyadari bahwa gadis ini mengalami amnesia - lebih tepatnya, amnesia disasosiatif.

Suatu jenis amnesia yang meyebabkan penderitanya melupakan bagian bagian penting dalam memorinya - nama, usia, dan lain lain. Saat dia dirawat, dia hanya merespons terhadap satu nama : Yuuki.

Selain dari itu, kosong. Walau Yuuki tidak berbahaya , kadangkala gadis itu melamun sampai lupa diri. Satu kali, dia keluar dari klinik hanya dengan selembar handuk melilit badannya karena lamunannya itu.

Wajar kan, Sakurai iba?

Maka, Sakurai merasa bertanggungjawab untuk mengawasinya, sebagai dokter. Sekarang, mereka tengah menikmati makan siang di lantai bawah klinik.

" Sakurai- san. "

Panggilan Yuuki menyentakkan Sakurai dari lamunannya. Dia mendapati gadis itu tengah menatapnya dengan intens.

" Ya ?"

" ... Bagaimana kalau aku ... tak bisa mengingat orang itu lagi?"

Hening mengisi udara antara mereka. Manik coklat Yuuki menatapnya dengan sedih.

" Rasanya... sakit, Sakurai-san. Aku mencoba, mencoba mengingatnya. Tapi.. sepuluh kali, seratus kali, aku masih tidak bisa mengingatnya. Masih tidak bisa mendengar suaranya.. "

Yuuki menghela napas panjang.

" Rasanya seperti donat ini. " Ucapnya, mengangkat penganan itu dari salah satu piring.

Sakurai mengerutkan kening.
" Maksudmu? "

" Seperti... perasaan kosong. Yang..nggak bisa ditutupi . Aku tahu kalau dulu ada sesuatu di dalam lubang ini, dulu. Tapi sekarang..." Yuuki kembali meletakkan donatnya ke piring. " Udah nggak bisa dibetulkan. "

Sekali lagi, hening.

Yuuki tengah berjalan pelan di jalan utama. Sudah dua hari semenjak percakapannya dengan Sakurai. Dan ya, dia masih memikirkan pemuda misterius itu.
Dia menghela napas panjang, dan mendongkak ke langit. Matahari sudah mulai terbenam, memunculkan semburat jingga di langit biru.

Biru. Warna mata orang itu.

Siapa dia?
Kenapa dia bisa melupakan pemuda itu?
Siapa pemuda itu?

Terlalu banyak. Terlalu banyak yang ada di dalam benaknya saat ini. Yuuki memutuskan untuk duduk di peron bis tua yang ada di perempatan jalan sana.

Sesuai dugaanya, saat dia sampai di sana, peron tua itu kosong.
Yah, hampir kosong. Ada dua orang di situ- dua pemuda.

Yuuki segera bersembunyi di balik dinding. Siapa mereka?

Satu tengah terlelap di batang besi berkarat yang ada di pinggir peron, satunya lagi duduk di lantai, mengecek selembar kertas besar -peta?

Mereka berdua menyandang ransel backpacking yang besar, lengkap dengan kantung tidur. Mereka kelihatan seperti belum tidur dua hari. Kelihatannnya... mereka butuh bantuan.
Bantu? Atau tidak? Hmm.
Bantu, deh.
Perlahan, dia keluar dari tempat persembunyiannya, dan berjalan mendekati mereka berdua.

Mungkin karena dia sangat fokus ke petanya - tapi pemuda yang tengah duduk itu sama sekali tak menyadari adanya Yuuki, bahkan sampai jaraknya dengan Yuuki sekitar semeter lebih. Dia memiringkan kepala. Lalu, Yuuki berucap ,
" Sumimasen - permisi.. . "

Perlahan, pemuda itu menoleh ke arahnya.

Pemuda itu.
Dia terlihat lelah. Amat sangat lelah. Rambut hitamnya sudah memanjang, dan ada kotoran di pipinya.

Matanya...
Biru. Bagaikan langit musim panas yang terpantul di kolam.

Jantung Yuuki berdegup keras.

Inikah dia?

Pemuda itu menatapnya , mulutnya terbuka. Dia membuka dan menutup mulutnya.. namun tak ada suara yang keluar.

Dan, satu kata kecil menyeruak dari relung benak Yuuki. Diam, menunggu untuk diucapkan.

Gadis itu menarik napas dalam,

Dia menyebutkan satu nama. Pelan, namun angin membawanya menuju telinga pemuda itu.

" Kala? "

Pemuda itu terdiam sejenak, lalu dia tersenyum.

" Hai, Yuuki - ehm. "

Dia berdiri, dan berjalan mendekati Yuuki. Matanya basah oleh air mata.

Yuuki cukup yakin dia juga menangis.

" Hai, Miyuki. "

Saat itu, matahari terbenam menjadi saksi. Atas pertemuan Kala dan Miyuki, dan atas air mata mereka berdua yang tertumpah bahagia .

Tonkatsu : irisan daging yang digoreng dengan tepung.

HOOY!
WRITER BLOCK, OVERCAMED.

Whew, sori. Maap ya, gue gak apdet apdet. Writer's block, my children. Sumpah, gue blanki. Gabisa nulis apa apa, hiks.

Anyway, ya, ini sekuel Ikanaide. Kalau masih belum ngerti yang ini, baca Ikanaide deh. Heuheuehe
Anyways, thanks for reading!
Peace,
Lazy.

Flashlight SequenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang