KLAPANUNGGAL - 1817" Whil! Mari, cepatlah! " Teriak bocah itu, selagi menyibak sesemakan Mulberi. Si gadis pribumi kepayahan mengikutinya.
" Tunggu, Jan! Kau terlalu cepat! " gadis itu terengah, seraya melompati sungai kecil yang baru dilompati Jansen.
" Nonsens! Kita harus cepat melihat bintang berekor itu! "
" Baik, Tuan Jan . " Sahutnya, masih mencoba mengambil napas.
Jansen mendelik kepadanya, rambut pirangnya berkilauan di bawah sinar bulan. " Ah! Berapa kali kubilang, jangan memanggilku dengan nama itu! Semua manusia sama! "
" Baik.. '" Whilhelmina ragu. " Jan. "
Mendengarnya, Jansen tersenyum lebar - menunjukkan dua buah gigi depannya yang ompong, hasil
" petualangan" dua minggu lalu.Whilhelmina menghela napas, selagi mereka berdua menyusuri tepi sungai untuk mencapai hilir. Tuan mudanya, Jansen Augustin Von Rikker, adalah anak sulung dari keluarga Rikker, keluarga paling berpengaruh di Klapanunggal. Dia dibesarkan dengan berbagai pembelajaran untuk membentuknya sebagai Gentleman yang bisa mewarisi bisnis keluarga.
Walau begitu, Jansen lebih suka
" berpetualang " melintasi alam Klapanunggal dibanding terkurung di dalam rumah keluarganya. Dan karena umur mereka yang berdekatan, Jansen selalu mengajak Whilhelmina. Yang, sebagai keluarga pelayan para Rikker selama dua generasi, tak bisa menolak.Mereka tiba di hilir - yang, menurut Jansen, adalah tempat sempurna untuk melihat bintang berekor. Dan benar saja, dua menit kemudian, sebuah bentuk bercahaya melayang melintasi langit.
Jansen berbalik menghadapnya, senyum ompongnya tersungging sekali lagi.
" Nah, sekarang, buatlah permohonan! Semua permohonan di bawah binta berekor akan terkabul! "
Kedua anak itu diam , khidmat. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, mereka berlutut. Dan berharap.
KLAPANUNGGAL - 1823
" Kurasa, ayah akan segera pergi. " Gumam Jansen, menarik-narik jarinya dengan gelisah. Belakangan ini, dia sering melakukan hal itu. Whilhemina menatapnya prihatin.
" Jangan pesimis... tuan hanya merasa tidak enak badan. "
Dari dulu, Whilhelmina bukanlah pembohong yang baik. Jansen menatapnya sedih.
" Whilhelmina, aku bisa melihatnya di mata orang tua itu. Waktunya tak lama lagi. "
Mereka berdua terdiam sejenak.
" ... Jadi, apa yang akan kaulakukan ?" Tanya Whilhelmina, menatap wajah Jansen. Netra coklat gadis itu tetap netral.
" Aku? " Dia tertawa getir.
Tawanya kosong dan sedih - bukan sebuah tawa yang seharusnya dimiliki pemuda berusia 16 tahun.
"Meneruskan bisnis keluarga, tentu," Lanjutnya. " Memangnya ada pilihan?"
Whilhelmina kembali menatap tuan mudanya. Dia bergumam pelan,
" Kita bisa.. pergi, kautahu. Tanpa ada yang tahu. Pergi ke pelabuhan, dan melanglang buana. "
Jansen terdiam mendengarnya . Mulutnya membuka -
Suara tangis ibunya memotong percakapan itu. Bersamaan dengan seruan panik paman dan adiknya, memerintahkan jongos* untuk membantu mereka.
Jansen berdiri, walaupun agak terbungkuk. Menyadari beban yang ditinggalkan kehidupan untuknya.
" Jan - "
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashlight Sequence
Short StoryBerbagai cerita, terkumpul dari pojok benak, hati, dan lemari. Entah kapan tertulis. Yang jelas, mereka meminta dibagi, dibaca, dan dimengerti.