Luka itu akan hilang, walaupun tidak diobati. Kuncinya hanya sabar, lalu tersenyum. Itu saja.
________________________________
"Udah selesai semua?"
Suara paman Danu, membuat aku menoleh, lalu tersenyum dan mengangguk. "Sedikit lagi, Paman." jawabku.
Paman Danu balas tersenyum, sembari menepuk bahuku. "Hati-hati di sana." ujarnya. "Jakarta itu keras, kejahatan di mana-mana. Bukannya paman nakut-nakutin kamu, tapi kamu harus hati-hati, ya?"
Aku kembali mengangguk, "Iya Paman,"
"Paman gak bisa kasih kamu apa-apa," kata paman. Ia menarik tanganku, yang tengah sibuk memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam ranselku. "Ini, buat jajan."
Segumpal uang yang paman Danu berikan kepadaku, hanya kutatap saja. "Gak usah Paman," ujarku akhirnya. "Almarhumah Nenek, ninggalin aku uang, kok."
"Gapapa. Ambil aja, ya? Pulang lagi ke sini, kalau misal di sana, kamu gak ketemu sama orangtuamu."
"Iya, Paman."
"Bukannya Paman doain kamu gak ketemu sama orangtuamu, lho."
Aku terkekeh mendengar ucapan paman Danu.
"Rumah Paman selalu terbuka lebar untuk kamu,"
Aku tersenyum menanggapi. Memang berat rasanya, meninggalkan kampung di mana aku dilahirkan, dan dibesarkan. Walaupun tanpa kasih sayang orangtua, yang kata Almarhum nenek, sedang merantau ke Jakarta, sejak aku berusia 40 hari. Tapi aku beruntung, karena Nenek dan Kakek selalu menyayangiku. Walaupun kini, mereka sudah tiada.
Kakek, meninggal sejak dua tahun lalu. Sementara nenek, baru sekitar enam bulan terakhir, pergi menyusul kakek. Sedih memang, tapi aku sudah terlanjur berjanji kepada nenek, untuk tidak bersedih.
"Arga berangkat dulu ya, Paman?" aku menyalami punggung tangan paman.
Bibi Sintia datang dengan tergopoh menghampiriku, sembari menggendong Ziya yang masih berusia delapan bulan. "Arga! Inget, jangan nakal di sana ya? Jangan lupain Bibi sama dedek ya?! Inget! Kalo gak ketemu sama orangtua kamu, balik ke sini! Telpon Paman atau Bibi, biar di jemput ke sana, ya?"
"Iya, Bi," aku terkekeh dengan kata-kata bibi yang panjang, dan lebar itu. Aku menyalami punggung tangannya. "Makasih ya Bi, udah mau ngurus Arga semenjak Nenek gak ada,"
"Kamu mah! Jangan bikin Bibi sedih!"
"Jangan sedih dong, bi! Tuh, Ziya udah cemberut." Aku tertawa melihat ekspresi Ziya, yang cemberut menahan tangis. Ku cubit pelan pipi tembamnya, lalu menciuminya beberapa kali. "Ziya, cepet gede ya? Nanti, kalo Bang Arga pulang ke sini, Ziya harus udah gede, ya?"
Gadis kecil itu menggerutu pelan, dengan bahasa bayi yang tidak aku mengerti.
"Jangan tinggalin Ziya, katanya!" tiba-tiba, bibi menyeletuk, membuat aku tertawa lagi.
"Nanti, Abang pulang kok, ya?" Ku cium lagi, pipinya yang tembam itu.
"Yaudah, Arga berangkat dulu ya Paman, Bibi, Ziya. Jangan kangen, hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Everytime
Teen Fiction"Karena setiap waktu, adalah berharga" _____________________________________ #BoysStoryAddict1 All Right Reserved ©2019 Windastoryseries Finish: 07/01/22