Sejak hari itu datang, Danu benar-benar merasakan perubahan yang begitu signifikan dari putranya---Arga. Pemuda itu menjadi jauh lebih pendiam daripada biasanya. Hanya berbicara ketika ditanya, dan setelahnya akan kembali diam seperti biasa.
Bahkan Ziya yang biasanya selalu menjadikan Arga sebagai teman main dan bercerita pun tidak tahu lagi bagaimana caranya mengembalikan sang abang, menjadi sosok Arga seperti semula. Dia tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, sebab yang gadis kecil itu tahu, Abangnya sedang dalam mood jelek. Itu saja.
Sementara Sintia dan Danu yang paham betul alasan Arga menjadi pendiam, menjadi merasa begitu bersalah. Seharusnya, mereka tidak menerima kehadiran Tuan dan Nyonya Diaksa waktu itu dan langsung mengusirnya saja kalau perlu. Namun, nasi sudah berubah menjadi bubur. Semua yang telah terjadi, tidak bisa diputar kembali kecuali diperbaiki setelahnya, bukan? Maka dari itulah, baik Danu maupun Sintia kini tengah memikirkan cara agar Arga kembali seperti sedia kala. Toh ada mereka yang akan membimbing dan menemani pemuda itu sampai kapan pun dan berjanji tidak akan pernah meninggalkannya.
"Bunda ...." Ziya datang sembari merengek. Gadis kecil itu, lantas mendusal manja di antara perut buncit sang bunda, dengan kedua tangan yang memeluk pinggang bundanya itu.
"Kenapa, Kak?" tanya Sintia. Ibu muda itu mengusap pucuk kepala putrinya dengan sayang, sambil bertanya alasan Ziya yang merengek seperti sekarang. "Ngantuk?"
Ziya menggeleng. Gadis kecil itu masih membenamkan wajahnya di perut sang bunda. Mengabaikan adiknya yang berada di rahim bundanya itu, bergerak-gerak entah karena kegirangan atau terganggu akan kehadiran kakaknya. "Abang tuh ...," adunya. Wajahnya cemberut maksimal, walaupun tak dapat terlihat oleh sang bunda, karena gadis itu masih mendusal padanya.
"Kenapa abangnya?" tanya Sintia kemudian. Walaupun ia mengetahui perubahan sikap Arga, tetapi tetap saja ia harus bertanya apa kiranya yang dilakukan oleh putranya itu kepada Ziya, sehingga gadis kecil itu merengek sambil mendusal manja seperti sekarang.
"Nggak mau ngomong sama Ziya ...," ujarnya lagi. "Abang malah sama Ziya ...."
Dahi ibu hamil itu mengernyit samar, "Marah kenapa?" tanyanya lagi.
Ziya menggeleng, "Nggak tahu. Abang nggak mau ngomong sama Ziya. Abang malah 'kan, Nda?"
Sintia menghela napas panjang, kemudian meminta putrinya itu untuk duduk di sampingnya. Beruntung, gadis kecil itu langsung menurut. Sambil mengusap pucuk kepala Ziya yang memeluknya dengan erat, Sintia berujar lembut, "Abang nggak marah, Sayang. Abang cuma lagi nggak baik mood-nya. Jadi, Kakak bantu Ayah sama Bunda buat bikin mood Abang baik lagi, ya?"
"Susah, Nda." Ziya merengek lagi. "Tadi Ziya ajak ngomong, tapi Abang diem aja. Nggak mau jawab, telus Abang juga nggak mau lihat Ziya, Nda. Abang malah."
"Ya sudah, Kakak bobok siang dulu, gih. Nanti, Bunda sama Ayah coba ngomong ke Abang, ya? Biar nanti sore, Abang udah bisa main sama Kakak lagi. Gimana?"
"Janji ya, Nda?" Ziya mendongak sembari menatap sang bunda dengan tatapan penuh harap.
"Iya," jawab Sintia, lengkap dengan senyum manisnya. Semoga saja, ujarnya dalam benak. Sejatinya, ia pun kurang yakin jika dirinya dapat mengembalikan Arga kembali seperti semula, tanpa keinginan dari pemuda itu sendiri.
Kalau dipikir-pikir, ia juga tak tega rasanya melihat Arga yang menjadi seolah-olah menutup diri dari dunia luar. Ia bahkan jarang sekali keluar untuk membantu sang ayah bekerja seperti biasanya, atau datang ke dapur, lalu merecoki pegawai bundanya yang tengah membuat kue dan menawarkan diri untuk membantu. Tidak menjadi masalah memang bagi Danu maupun Sintia, jika Arga enggan membantu. Akan tetapi, rasanya berbeda saja. Arga seolah-olah telah kehilangan dirinya sendiri dan itu mengkhawatirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Everytime
Ficção Adolescente"Karena setiap waktu, adalah berharga" _____________________________________ #BoysStoryAddict1 All Right Reserved ©2019 Windastoryseries Finish: 07/01/22