Everytime 3 | Harapan Menuai Luka

2.8K 308 7
                                    

Hanya berusaha menjadi sabar. Bukan terlihat sabar.
.

.
|EVERYTIME|


"Kamu itu, cuma tukang kebun! Kok yo males banget, sih?!"

Arga diam, saat ia diomeli panjang kali lebar. Ini hanya gara-gara dia yang bangun agak siang, sebab merasa kurang enak badan. Maklum lah, baru pertama kali bepergian jauh menggunakan bus, membuatnya jadi mabuk perjalanan, sedikit. Tapi, namanya juga hidup menumpang. Alasan apapun, pasti selalu dianggap salah.

"Cepat selesaikan! Malam ini, bakal ada acara besar! Jangan buat kesalahan!"

Melakukan ini, melakukan itu, sebenarnya Arga ikhlas-ikhlas saja. Tapi, ini tidak sesuai keinginannya. Arga ke sini, untuk bertemu dengan ayah dan ibu. Walaupun sudah terpenuhi, hanya saja Arga belum puas. Sebab ayah dan ibu, tidak mengenali dirinya. Ingin rasanya Arga berkata jujur. Bicara serius dengan ayah dan ibu. Hanya saja, keduanya selalu tidak ada waktu. Melirik dirinya pun, tidak mau.

Di sini, Arga merasa bagaikan seonggok sampah. Tidak! Ia tidak boleh menyerah, lalu kalah seperti ini.

"Habis lap-in piring gelas, bersihin gudang sana! Barang-barang mau dipindah sementara ke gudang," suruh salah seorang pembantu di sini. Arga tidak hapal nama semua pembantu di sini, saking banyaknya.

Arga mau tak mau menurut. Ia tidak boleh malas. Selesai dengan mengelap piring dan gelas, ia kemudian melanjutkan tugasnya yang lain. Membersihkan gudang. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut, dan perutnya yang terasa kembung. Sepertinya, ia masuk angin sebab belum makan dari pagi. Alasannya adalah, karena pekerjaannya belum selesai, makanya ia belum diberi makan.

Arga dia saja. Toh, di kampung dulu, ia juga jarang makan. Dan masih bisa hidup hingga sekarang, bukan? Jadi tidak masalah untuk itu.

Sesampainya di gudang, Arga malah takjub sendiri. Gudangnya, lebih besar daripada rumah paman Danu di kampung. Apalagi, rumah mendiang neneknya, yang sudah dijual. Gudang ini, tiga kali lipat lebih besar! Terlihat bagus, walaupun penuh debu sana sini.

Berbekal sapu dan kemoceng, Arga memulai pekerjaannya. Sesekali bersin, karena debu. Mengusap keringat yang mengalir di dahinya, saking lelahnya.

Dua jam setelahnya, barulah ia selesai membersihkan gudang. Itu pun, karena sudah diteriaki oleh beberapa pembantu yang silih berganti, menyuruhnya agar bekerja lebih cepat.

Ia memilih menyandarkan tubuhnya di tembok. Benar-benar melelahkan. Napasnya ngos-ngosan. Arga haus, dan lapar sekali. Tak lama, salah seorang pembantu datang. "Kalau sudah, benahi halaman belakang!"

Arga mendongak, berniat memohon belas kasihan. "Tapi, saya lapar. Belum makan,"

Wanita itu berdecak. "Ya sudah, sana makan dulu! Habis itu, selesaikan pekerjaan yang lain!"

Akhirnya Arga menurut. Tak apa lah, pekerjaannya banyak. Sungguh, tidak apa-apa. Anggap saja, ini adalah salah satu baktinya kepada ayah dan ibu. Arga mau, mereka bangga kepadanya. Arga mau, mereka tidak pernah menyesal telah menghadirkannya ke dunia. Sederhana sekali, bukan?

EVERYTIME

Benar! Acaranya benar-benar mewah. Arga bahkan takjub sekali, melihat dekorasi rumah besar ini. Sangat indah, seperti yang pernah Arga lihat, di televisi.

✔Everytime Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang