Everytime 10 | Ternyata?

1.4K 205 12
                                    

Tidak ada yang dapat Arga lakukan sekarang, kecuali diam dan bersembunyi di dapur. Pilihan itu menurutnya adalah yang sangat tepat. Ia juga tidak siap bertemu dengan dua orang berpakaian ala-ala konglomerat di depan sana. Ia takut, jika hal yang dialaminya beberapa tahun silam, kembali terjadi.

Pemuda itu menuang air ke gelas, lalu meminumnya dalam beberapa tegukan. Matanya ia pejamkan, sementara napasnya berusaha ia atur agar tidak terlalu terdengar memburu. Mengabaikan detak jantung yang berdebar keras, Arga meluruhkan tubuhnya dan bersandar di dinding.

"Abang ...?"

Kepala Arga praktis dibuat menoleh, kala suara Ziya terdengar. Pemuda itu menyunggingkan senyum tipis, saat adiknya itu mendekat.

"Abang lagi apa?" tanya Ziya dengan mata yang mengerjap polos. "Kok duduk di sini?"

Pemuda itu mengusap pucuk kepala Ziya yang ikut berjongkok di sampingnya. "Nggak apa-apa, cuma lagi pengin aja," ujar Arga lengkap dengan senyum manisnya.

"Abang," panggil Ziya lagi, yang membuat Arga berdeham pelan sebagai jawaban. "Om sama tante tadi siapa?"

Arga diam sesaat. Ia tak tahu harus menjawab apa, terlebih lagi pertanyaan yang Ziya tanyakan menyangkut soal dua orang yang tiba-tiba saja datang, setelah sekian tahun tak pernah Arga tahu kabar beritanya. "Mereka ... um, temannya ayah, kali? Abang juga nggak tau," jawab pemuda itu kemudian.

Ziya merespons dengan kata 'oh' panjang. "Telus, Abang kenapa di sini?"

Karena Ziya terus-menerus bertanya dan Arga tak tahu harus menjawab apa, alhasil pemuda itu memutuskan berdiri dari duduknya yang langsung diikuti Ziya setelahnya. "Kita ke kamar aja yuk, Kak?" ajak Arga, membuat Ziya manggut-manggut mengiyakan. Gadis kecil itu meraih tangan sang abang dan menggenggamnya.

"Abang capek, ya?" tanya Ziya yang mendongak menatap sang abang, sebab perbedaan tinggi Arga yang jauh di atasnya.

Mau tak mau, Arga memilih mengiyakan apa yang Ziya pikirkan. Pemuda itu menyunggingkan senyum tipis, seraya menjawab, "Iya."

Keduanya memutuskan untuk menaiki tangga, menuju kamar. Akan tetapi, letak tangga di rumah ini, tak jauh dengan ruang tamu, hingga suara yang berasal dari sana mampu terdengar oleh telinga Arga. Langkah pemuda itu memelan, lantas bersuara, "Kakak duluan, tangganya sempit," alibi pemuda itu.

Ziya menurut dan membiarkan sang abang berjalan di belakangnya.

Sementara itu, perlahan-lahan Arga melangkah. Sayup-sayu obrolan dari ruang tamu terdengar. Bukan termasuk ke dalam obrolan yang menyenangkan agaknya, sebab ada nada angkuh di setiap kata-kata yang keluar dari bibir dua orang dengan pakaian serba mahal itu.

"Kami ke sini dengan niat baik. Ingin mengunjungi makam kedua orang tua kami. Apa itu salah?" Suara dari Nyonya Diaksa terdengar. Tanpa melihat pun, Arga sudah tau bagaimana warna suara ibu kandungnya itu.

"Silakan saja," jawab Danu dengan nada santai. "Tidak ada larangan, jika seorang anak ingin mengunjungi orang tuanya, bukan?"

Tuan Diaksa bersuara, "Ya, benar." Arga masih diam saja mendengarkan. Ia hanya ingin tahu, sebenarnya selain mengunjungi makan nenek dan kakek, apakah kedua orang tuanya itu memiliki maksud lain? Seperti ... mungkin menjemputnya untuk kembali tinggal bersama?

Ya, Arga tahu kalau apa yang ia pikirkan tentunya adalah sesuatu yang mustahil. Mengingatnya saja tidak, bagaimana bisa berpikiran untuk membawanya? Akan tetapi, Arga tiba-tiba teringat dengan foto dan surat peninggalan neneknya, yang sengaja ia tinggalkan di rumah mewah waktu itu. Apakah ibu dan ayahnya telah melihat surat itu, ya? Jika ya, ada sebuah kemungkinan besar jika kedua orang tuanya itu mengingatnya.

Namun, pertanyaan dari Nyonya Diaksa selanjutnya, praktis membuat kaki-kaki Arga seketika melemas. Rasanya ingin jatuh berguling saja dari undakan tangga ke enam belas hingga patah seluruh tulang di tubuhnya.

Pemuda itu terpaku di tempatnya. Kedua tangan ia gunakan untuk mencengkeram pegangan tangga kuat-kuat, seiring dengan napasnya yang semakin terdengar memburu.

"Selain itu, kami juga ingin tahu. Di mana makan anak kami? Apakah dia dikubur dekat dengan makam kakek dan neneknya?"

Detik itu pula, rasanya Arga tak lagi memiliki harapan. Dia sendirian. Benar-benar sendirian.

*****

Arga benar-benar tak tahu lagi, harus melakukan apa selain mengunci dirinya di kamar, lalu menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut. Air mata yang sudah ia tahan-tahan selama ini akhirnya mengalir deras begitu saja. Sakit rasanya, saat memiliki sebuah harapan, tetapi tiba-tiba dijatuhkan begitu saja oleh yang namanya kenyataan.

Pemuda itu berusaha mengatur napasnya agar tidak sesenggukan. Akan tetapi, hidungnya mendadak tersumbat karena kebanyakan menangis. Ya, Arga memang seorang lelaki. Kurang pantas rasanya jika ia menangis. Akan tetapi, Arga juga hanyalah manusia biasa. Dia juga bisa menangis dan merasakan sakit. Maka dari itu, hari ini, untuk yang kesekian kali dalam hidupnya Arga menangis.

Ketukan pintu dari luar terdengar, disertai dengan suara Danu kemudian. "Bang," panggil lelaki itu.

Arga diam. Bukan bermaksud mendiamkan paman yang telah dianggapnya sebagai 'ayah' itu, tetapi ia sedang berusaha mengatur napas dan suaranya agar tidak terdengar aneh.

"Bang, Abang baik-baik aja, Nak?" Suara Danu terdengar lagi. "Buka pintunya, ayah pengin bicara sama Abang."

Pemuda itu menghela napas dalam-dalam, kemudian menjawab panggilan Danu dengan suara serak, "Nanti aja, Yah. Abang pusing, pengin tidur."

Katakan jika ia sedang tidak sopan sekarang, tetapi bagaimana lagi? Rasanya, ia sudah tak lagi punya wajah di hadapan Danu. Orang tua kandungnya saja sudah menganggap jika dirinya sudah mati, lalu mengapa dia masih berharap memiliki kehidupan yang baik karena menumpang tinggal dengan Danu?

"Ya sudah," ujar Danu kemudian. "Abang istirahat ya, jangan main game."

Sejatinya, Danu tahu jika Arga sedang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, sebagai orang tua, ia harus mengerti jika Arga pastinya butuh waktu untuk sendirian. Terlebih lagi saat kedatangan Tuan dan Nyonya Diaksa yang serba tiba-tiba, tentunya membuat Arga kaget bercampur takut.

Lagi pula, Danu rasanya masih menyimpan sakit hati mendalam kepada dua orang kaya raya itu. Apalagi saat dengan mudahnya mereka menyebut jika anak mereka sudah meninggal belasan tahun lalu karena tertabrak mobil, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

Walaupun ia bukan ayah kandung Arga, tetapi Danu benar-benar menyayangi Arga seperti anak sendiri. Arga sudah cukup hidup susah dan dia berjanji untuk membuat hidup Arga menjadi jauh lebih baik. Lelaki itu menatap pintu kamar Arga sekali lagi, sebelum benar-benar beranjak. Ayah janji bakal buat kamu jadi orang sukses, Ga batinnya.

Sementara itu, sesaat setelah suara Danu tak lagi terdengar, air mata yang sudah Arga tahan-tahan agar tak kembali keluar, malah mengalir deras. Arga hanya ingin tahu, mengapa orang sebaik Ayah Danu harus memiliki beban seperti dirinya? Mengapa Ayah Danu tidak mengusirnya saja? Bukankah kehadirannya hanya menyusahkan?

Yah, Arga siap kalau misalnya diminta untuk pergi. Atau, Arga mau kok, mewujudkan keinginan Tuan dan Nyonya Diaksa, batin pemuda itu sambil melesit ingusnya dengan saputangan yang ia genggam. "Kalau Arga mati sekarang, apa yang dikatakan sama Tuan dan Nyonya bakal jadi kenyataan, 'kan?"

*****
16.12.20
#CrazyUpdate2020

✔Everytime Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang