Part 9: Runaway

4.1K 341 6
                                    

Ingatkan aku untuk mendatangi dukun yang ada di pedalam hutan untuk sekedar meminta sesajen yang ampuh untuk menyantet atasanku itu.

"Bapak mau dimandiin juga sama kayak Laquinna?" Aku memberi jeda sebentar. "Ayuk, sini. Saya mandiin," ejekku kemudian berlari ke atas menuju kamarku.

Sebelum pintu kukunci dari dalam, sebuah suara sudah menggelegar sampai ke kamarku yang ada di lantai 2. "ALISHA DANISHWARA!"

Aku terbahak sambil duduk di kursi yang ada di depan meja rias. Oh iya, kenapa aku bisa lupa menanyakan kenapa aku disuruh pulang tanpa menunggu Laquinna, ya?

Tawaku terhenti seketika melihat beberapa lembar foto yang berserakan di dalam laci meja rias yang lupa kututup rapat tadi pagi.

Dengan tangan bergetar, kukeluarkan lembaran foto-foto itu. Tatapanku berubah nanar melihat rupa kedua orang tuaku yang ada disana. Foto itu kuambil secara diam-diam dengan kameraku ketika mereka sedang duduk di teras depan rumah.

Jangan kalian pikir seluruh barang elektronik kepunyaanku itu dibeli oleh mereka. Hah! Jangan pernah berpikir seperti itu. Semua barang itu berasal dari uang yang kukumpulkan sekian tahun dengan menjadi joki menulis dari SMP sampai SMA dan office girl.

Aku rela menahan lapar demi menabung uang-uang itu. 12 tahun bersekolah, nggak pernah ada uang jajan yang mereka berikan padaku.

Bahkan seluruh pekerjaan rumah tangga, aku yang mengerjakannya. Rumah seluas itu nggak ada satupun asisten rumah tangga. Setelah ART terakhir mengundurkan diri sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu menjadi tugasku.

Setiap pagi aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyuci baju kemudian menjemurnya. Dan sehabis pulang sekolah sekitar jam 12, aku harus menjadi office girl shift siang sampai jam 5.

Setelah kembali ke rumah, seluruh pekerjaan rumah seperti mengepel, mengelap perabot dan menyuci piring adalah makananku kala itu.

Bahkan setiap piring makan yang digunakan kakakku–Amelia, selalu aku yang meletakkannya di bak cuci piring.

Pernah aku protes sekali dan berakhir dengan pukulan di betisku dengan gagang sapu.

Tapi akhirnya penderitaanku berakhir setahun terakhir ketika Mbak Yamin mulai bekerja.

*

"Loh... loh, Pak! Ini saya mau dibawa kemana?" tanyaku panik ketika tanganku ditarik oleh Pak Dewa. Enak aja main seret-seret.

"Tinggal ikut aja susah banget, ya?" tanyanya tajam. Huh, dasar! Tetap Manusia Es. Tangannya mendorongku ke dalam mobil yang akan disupiri Pak Amrin.

"Saya juga perlu tau mau dibawa kemana, Pak. Jangan-jangan Bapak mau bawa saya ke tempat human trafficking, ya?" tanyaku cepat. Astaga! Aku nggak mau dijual kemudian dijadikan budak atau yang lebih parahnya lagi, pelacur.

"Suara kamu! Telinga saya bukan toa masjid!" balasnya kesal.

Aku hanya cengengesan menatapnya. "Habisnya Bapak bikin saya terkejut. Main seret-seret seenak jidat," protesku.

Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kotaku. "Oh, Bapak mau ngajak saya jalan? Nge-date gitu?" tanyaku dengan muka setebal tembok Cina.

"Silakan berkhayal terus!" dengusnya sebelum keluar dari mobil yang diikuti olehku.

Aku berjalan mengekorinya yang menuju sebuah salon yang sedang sangat hype akhira-akhir ini.

Setelah berbicara dengan wanita yang ada di balik meja kasir, Pak Dewa keluar dari salon dan membiarkanku ditarik oleh seorang wanita setengah pria untuk duduk di kursi yang ada di depan kaca.

Bad AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang