Part 25: Under the Stars

1.8K 282 34
                                    

Mas Dewa membawaku menuju home theatre mini yang ada di dalam ruang kerjanya. Aku bahkan baru tahu kalau masih ada ruangan di dalam ruangan beberapa menit yang lalu.

Sejak pria itu membiarkanku bernapas dengan normal tadi, aku sudah berusaha melayangkan protes padanya akan semua hadiah yang diberikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak pria itu membiarkanku bernapas dengan normal tadi, aku sudah berusaha melayangkan protes padanya akan semua hadiah yang diberikannya. Tapi pria itu seakan tuli mendengar protes dariku.

"Ya udah, sih, protes mulu.  Lagian aku yang beli barangnya aja santai, Ca. Kamu tinggal terima aja susah banget, ya?" tanya Mas Dewa.

Aku menghela napas. "Ca, Ca, Ca apaan? Cakwe?" tanyaku balik. Pria ini suka seenaknya menukar namaku. Lagipula, dari mana korelasi Alisha dan Ca? Aneh!

"Suka-suka aku dong. Aku suka manggil kamu pakai sebutan itu, ya terima aja. Jangan banyak protes pokoknya."

Lama-lama aku bisa hipertensi jika melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan pria ini. "Iya, iya. Sak karepmu, Mas. Tapi aku tetap nggak bisa terima hadiah dari kamu. Aku ke kamar dulu," kataku sebelum beranjak dari sofa.

Ketika baru maju selangkah, Mas Dewa sudah menarik pergelanganku. Mau nggak mau, ulahnya itu membuatku menoleh dan menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya.

"Siapa yang izinin kamu pergi?" tanyanya.

"Memangnya kalau mau pergi harus izin dulu sama Mas?" tanyaku bingung.

"Mulai detik ini, iya kamu harus izin dulu kemana pun kamu mau pergi. Nggak peduli kamu mau keluar dari rumah cuma selangkah aja juga harus izin dulu. Ngerti?"

Baiklah, karena ini rumahnya, maka aku juga harus menuruti keinginan absurd pemiliknya. Aku mengiyakan tanpa berpikir lama, toh permintaannya itu nggak ada salahnya 'kan? Hanya kedengaran sedikit... bukan sifat Mas Dewa.

"Dan untuk masalah kadonya, kalau kamu nggak mau terima, buang aja ke tong sampah. Lagian kalau kamu balikin ke aku, memangnya mau aku kasih ke siapa? Kasih Laquinna, gitu?" lanjutnya.

"Uang kamu udah nggak ada serinya, ya, Mas? Bisa-bisanya kamu segampang itu suruh aku buang barang-barang semahal itu. Situ masih waras 'kan, Mas? Atau barang kali lagi mabuk?" sarkasku gemas dengan mulutnya yang asal ceplos itu.

"Tinggal kamu terima aja kalau begitu. Masalah selesai. Gampang 'kan?" Aku mendengus kemudian berlalu dari hadapannya. Sebelum aku menutup pintu home theatre itu, suara tawa Mas Dewa sudah lebih dulu tertangkap oleh telingaku. Bisa-bisanya pria itu meledekku.

*

Entah sudah berapa lama aku terlelap di dalam kamarku karena Laquinna belum bangun saat aku mengecek di kamarnya beberapa jam yang lalu, maka itulah waktuku beristirahat sejenak. Tanganku menyambar ponsel yang berada di nakas dengan mata yang masih setengah terpejam.

Astaga, sudah jam tujuh malam ternyata. Tubuhku sontak bangkit dari pembaringan.

"Mau kemana?" tanya Mas Dewa yang sudah bersandar pada kusen pintu kamarku.

Bad AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang