Tubuhku menegang kaku ketika diletakkan di atas tempat tidur itu. Mas Dewa kini sudah berbaring di sampingku dengan santainya padahal tubuhku sudah seperti patung yang nggak bisa digerakkan.
Niatku ingin meletakkan pembatas di antara kami, tapi apa daya di kamar yang serba kekurangan ini nggak ada satu pun guling yang bisa terdeteksi oleh mataku.
"Alisha..." panggil Mas Dewa dengan lengan sebelah kirinya yang sedang menyangka kepalanya.
"Hmn?" gumamku kemudian menukar posisi untuk memunggunginya. Aku nggak mau mati akibat dari sesak napas yang disebabkan oleh pria yang sedang berbaring di sebelahku ini.
Lagipula, setan apa yang merasukinya sampai-sampai mau berbagai tempat tidur denganku? Bahkan kupikir, aku pasti sudah berakhir terlelap di sofa dengan hanya berbalut selimut tipis.
Ternyata pria itu masih memiliki hati nurani. Tentu aja, kalau nggak, mana mau pria sepertinya menikahimu yang jauh dari kata layak ini, bisik batinku.
"Apa cita-citamu?" tanyanya. Mengenai cita-cita? Kalau boleh dibilang, cita-citaku beberapa tahun silam adalah keluar dari rumah terkutuk yang menjadi mimpi burukku.
Namun karena sekarang aku sudah jauh dari tempat itu, pastinya aku memiliki cita-cita lain yang lebih menarik.
"Jadi patissier, enjoy life, open a bakery and cake shop, being rich with my own effort, and live happily. Banyak banget ya, Mas?" tanyaku dengan masih mempertahankan posisi sebelumnya, yaitu memunggunginya.
"Dreams make men stronger. Nggak ada salahnya bermimpi dan punya cita-cita. Semua orang berhak untuk itu dan berbahagia dengan hidupnya," jawab suamiku itu. Aku nggak tau apa yang sedang ia lakukan di belakang punggungku, tetapi yang bisa kurasakan adalah pria itu nggak seburuk yang kupikirkan tentangnya selama ini.
Dulu, kupikir semua orang yang bertato itu buruk. Entah hidupnya, sifatnya ataupun tutur katanya. Apalagi melihat tato di tubuh Mas Dewa yang nggak bisa dibilang sedikit, ditambah lagi dengan kalimat-kalimat dingin darinya semakin membuatku menyetujui pandanganku sendiri.
Siapa sangka ternyata di balik pria yang kusangka buruk ini, ada seorang Sadewa yang bisa membuatku tercengang dengan kata-katanya.
"Nggak mau menceritakan tentang keluargamu sedikit?" tanya Mas Dewa yang sudah mengubah posisinya saat ini menjadi menghadapku.
Dengan pria itu menatap langit-langit saja sudah membuat jantungku berdetak gila-gilaan, apalagi sekarang matanya itu hanya berfokus padaku.
Aku berdehem kecil untuk menetralkan tenggorokanku yang terasa tercekat sebelum mulai bercerita.
"Aku nggak tau mau mulai dari mana, Mas," cicitku. Hanya saja di kepalaku kini sudah berputar kejadian-kejadian suram yang pernah kualami, seperti kaset rusak.
"Kukira Mama lebih sayang sama Kak Amel karena kesehatan dia lebih lemah. Aku berusaha maklum, Mas. Tapi sejak dua tahun yang lalu, kondisi Kak Amel makin parah dan butuh donor ginjal. Ternyata ginjalku nggak cocok sama dia.
Mulai dari sana, perlakuan Mama semakin menjadi-jadi. Yang awalnya udah nggak adil, malah jadi lebih parah. Aku seperti nggak ada bedanya sama pembantu, Mas," jelasku dengan gumaman.
"Kenapa bukan orang tua kamu yang mendonorkan?" tanya Mas Dewa. "Mereka punya penyakit diabetes dan tekanan darah tinggi. Jadi, nggak ada lagi harapan selain aku," jawabku.
Setelah itu, Mas Dewa nggak lagi bertanya. Saat menolehkan wajahku ke samping, mataku menemukan pria itu sudah terlelap dengan napasnya yang teratur.
*
Sebuah tangan mengelus pipiku dengan lembut, membuatku terbuai karena rasanya seringan bulu. Aku semakin menyelusup untuk mencari kehangatan lebih dari benda yang sedang kupeluk saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Ayah
Roman d'amour[PREQUEL OF 23 VS 38] Bisa dibaca terpisah. Setelah pengusiran oleh kedua orang tuaku, aku, Alisha Putri Danishwara, harus hidup mandiri. Pekerjaan yang menyimpang dari impianku pada akhirnya kuterima, yaitu menjadi pengasuh anak atau babysitter da...