Microscolove - 13

2.2K 119 116
                                    

Pagi-pagi sekali, saat keadaan kantin masih begitu sepi. Dan hanya terdapat beberapa orang. Dirgan bersama ketiga temannya sudah berdiam diri di kantin. Bukan untuk mejeng menggoda adik kelas atau sebagainya. Melainkan untuk menraktir teman-teman sarapan karena memenangkan perlombaan. Sudah menjadi kebiasaan wajib bagi Dirgan menraktir teman-temannya makan bila memenangkan suatu perlombaan. Karena kata Nino, ‘Anggap aja lo traktir kita semua itu sedekah.’

“Bu mau risol dong lima biji aja,” ujar Nino pada ibu kantin yang menjual risoles dan aneka gorengan yang lain.

“Biji-biji, lima buah kek jangan biji. Apaan biji jadi ambigu gue pagi-pagi,” komentar Kafka di sebelahnya. Cowok itu tengah memasukan beberapa bakwan ke dalam plastik.

“Suka-suka gue lah. Mau biji kek mau bakal biji kek mau buah mau daun, tangkai atau akar. Kenapa lo yang sewot?” tanya Nino pada Kafka.

“Bu ntar semua ini yang bayar Dirgan ya. Kalau saya punya utang dua ribu bekas kemarin juga dia yang bayarin ya Bu,” ujar Nino pada ibu kantin ketika ia menerima risolnya.

Kafka menatap Nino. Kebetulan ia juga punya utang lima ribu rupiah pada ibu kantin. Kalau Nino bisa mengatas namakan Dirgan atas utangnya, kenapa Kafka tidak?

“Iya Bu saya juga. Utang yang kemarin sepuluh ribu ibu minta aja sama Dirgan. Makasih ya Bu love you.” Kafka ikut-ikutan lalu segera kembali pada tempat duduknya. Di ikuti dengan Nino di belakangnya.

“Buset banyak amat tuh risol buat bagi-bagi sama gue?” tanya Arga kegeeran.

“Enak aja bagi-bagi. Buat gue makan sendiri lah. Lo kalau mau ambil aja sono mumpung ada yang traktir,” balas Nino dengan mulut yang penuh makanan.

“Gue udah ngabisin dua bungkus nasi goreng sama minumnya. Masa minta lagi. Itu minta traktir apa morot?” tanya Arga.

Kafka yang sudah membuka mulutnya lebar-lebar untuk menyuapkan bakwan, jadi urung. “Anjing gue tersindir.”

Nino juga menatap risolesnya dengan perasaan berdarah kemudian menatap Dirgan. “Risol gue buat lo aja dah. Ikhlas gue. Ayo ambil jangan malu-malu.”

“Bakwan gue juga. Kalau lo mau ambil aja. Tapi ini kayaknya udah kecampur sama air liur gue. Masih aman lo gak bakalan kena virus zombie gara-gara makan bakwan campuran air liur,” ujar Kafka menyodorkan plastik berisi bakwannya pada Dirgan.

“Ngapain ditawarin sama gue? Gue udah sarapan di rumah. Kenyang,” ujar Dirgan pada ketiga temannya.

“Elah sarapan doang gak cukup buat perut kuli kayak gue. Masih butuh tambahan makanan atau goreng-gorengan. Mie juga ya boleh lah,” ujar Nino seraya mengusap perutnya yang terbalut seragam.

“Dirgan mana dikasih makan mie sama nyokapnya. Apalagi gorengan,” ujar Arga membuat Nino menoleh kaget.

“Yakali gak dikasih. Jangan ngarang lo. Buktinya gue pernah liat Dirgan makan mie,” jawab Nino tidak percaya.

“Iya emang pernah makan tapi gak sesering lo. Paling banyak sebulan dua kali. Tante Fanya yang bilang langsung sama gue waktu itu. Masih gak percaya? Tanya temen lo,” jelas Arga kemudian mengarahkan dagunya pada Kafka.

“Beneran Ka?” Nino dengan segala keingintahuannya. “Kok gue meragukan ya?”

“Udah lama kali. Waktu lo pergi sama Alisya. Gue sama Arga ke rumah Dirgan kan ye. Terus ditawarin makanan nah gue sama Arga minta dibikinin mie. Biar gak ngerepotin maksudnya. Jadi minta yang praktis aja yang sekiranya gampang dibuat. Tapi ditolak keras sama Tante Fanya. Tau-tau dibikinin makanan enak yang gizinya tinggi. Mantep ‘kan?” ujar Kafka menjelaskan.

Microscolove Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang