2

3.2K 123 1
                                    

Ada yang bilang kalau hal terlarang itu terasa manis dan menyenangkan. Isti tentu saja setuju dengan pernyataan itu karena saat ini sedang menikmati manisnya hal terlarang dalam wujud cowok cakep bernama Wito.

Seperti biasanya, dia berjalan lambat-lambat di seberang jalan yang dilalui oleh Wito. Tertawa tertahanketika cowok itu menyugar rambut yang plontos karena hal itu sama sekali tidak mempengaruhi penampilannya.

Ikut memasukkan kedua tangan ke saku baju ketika Wito memasukkan tangan ke saku celana.

Tak ada yang menyadari kebiasaannya menguntit karena jarang ada yang melalui jalan kecil dari tempat kosnya sampai rumah sakit. Wito sendiri juga tidak menyadari kalau ada yang mengikuti dan memperhatikan tiap tingkah lakunya karena perhatian hanya terfokus pada jalan.

Isti selalu datang beberapa saat setelah Wito karena sengaja memberi jarak agar tidak ada yang curiga.

Pagi ini ada empat orang yang berdinas pagi. Wito yang memang selalu dinas pagi karena posisinya sebagai kepala. Isti, Vela, dan Ana.

Mereka berempat ditambah dengan Feny sudah duduk mengelilingi meja kotak yang ada di tengah ruangan. Setelah doa pagi, mereka menuju posisi masing-masing sementara Feny beranjak pulang.

Isti juga sudah siap di depan pintu masuk sambil mengecek perlengkapan perang yang terdiri dari spuit, torniquet, aneka tabung, plester, dan juga alkohol swab.

Wito berjalan melewati Isti untuk menuju kantornya. Isti balik badan hingga menghadap ke Wito.

"Bos, kapan aku pindah posisi? Bulan ini kebanyakan ada di posisi sampling lho. Bulan kemarin juga." Isti sudah mulai melancarkan serangan protes.

Wito tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer. "Tahun depan."

"Yang benar saja, Bos? Becandanya nggak lucu. Masa iya, aku tugas setahun di sini. Nanti kalau pasien ramai terus gimana?"

"Iya, tuh. Kalau Isti di depan selalu ramai pasiennya." Vela ikut nimbrung karena kebetulan belum ada pekerjaan dibagiannya.

"Makanya kalau kerja nggak usah pasang spanduk pemberitahuan kalau kamu dinas. Pasien kan jadi berbondong-bondong datang." Ana mendekat.

"Memangnya aku artis? Pakai pasang spanduk terus pada datang," ujar Isti.

Vela dan Ana terkikik di depan Isti. Wito nggak ikut tersenyum.

"Besok sudah ganti posisi," ujarnya.

"Jangan hoax lah, Bos. Jadwalku masih ada di posisi sampling kok." Dahi Isti berkerut ketika mengingat jadwal kerja.

"Besok berubah kok."

"Jadi di mana, Bos?" tanya Isti penasaran. Sesungguhnya dia sudah merasa jenuh karena tiga bulan di posisi yang sama.

"Kejutan, lihat jadwal saja besok pagi." Wito memandang ke arah belakang Isti.

"Mbak, ada pasien." Perkataan Wito membuat Isti langsung menoleh.

Cewek itu langsung membuka pintu dan menyapa pasien. "Selamat pagi, Bu. Silakan duduk," ujarnya sambil menunjukkan sofa sewarna kayu yang empuk untuk duduk pasien.

Dia menerima formulir pemeriksaan dari pasien. Belum juga sempat membuka mulut untuk mencocokkan identitas, eh sudah ada orang lain yang menyerahkan formulir.

"Mbak, saya juga mau periksa lab."

"Saya juga."

"Ibu saya juga mau periksa."

"Oh, iya. Silakan menunggu di depan nanti dipanggil sesuai antrian." Isti tersenyum ramah sambil menunjukkan ruang tunggu pada orang-orang itu. Ternyata di luar sudah ada orang-orang yang menyerahkan formulir yang sama padanya.

Isti masuk ke dalam ruang laboratorium. Mata Ana terbelalak melihat banyaknya kertas yang ada di tangan Isti.

Vela mengepalkan kedua tangan lalu mengangkat keduanya hingga setinggi kepala. "Semangat! Semangat!"

Vela langsung berlari ke belakang sebelum mendengar bantahan dari Isti.

Bahu Isti terangkat lalu turun perlahan-lahan setelah melihat kelakuan temannya itu.

Ana mengambil formulir dari tangan Isti. "Aku bantuin transaksi saja ya. Ini dari atas kan?"

Baru juga Isti balik badan sudah terlihat ada formulir di dekat jendela. Dia memberi semangat untuk diri sendiri. Mengambil tumpukan kertas itu lalu menyerahkan pada Ana untuk diproses.

Sudah empat jam berlalu dan pekerjaan Isti sudah selesai. Dia lalu masuk ke dalam ruangan Wito dan mendaratkan pantat di sofa dekat singgasana bos.

"Mbak, ada pasien," panggil Wito karena melihat orang berdiri di depan pintu.

"Bos, istirahat dulu ya. Capek banget nih," pinta Isti.

Wito melirik cewek itu yang sedang mengurut kaki. "Ya, sudah. Minum saja dulu."

Wito bangkit dan keluar untuk menyambut pasien. Isti juga bangkit untuk minum lalu menuju meja administrasi untuk membantu Wito memproses formulir.

"Selamat pagi, Bu. Kok sudah lama nggak periksa?" ujar Wito dengan keramahan tingkat tinggi.

"Saya baru pertama kali periksa di sini."

Jawaban pasien itu membuat Isti tergelak, tapi dia masih melanjutkan pekerjaan.

"Wah, ternyata kita tetangga ya. Rumahnya Ibu di Wonosobo, dekat dengan rumah saya." Wito kembali melanjutkan basa-basi.

"O, iya? Rumahnya Mase di mana?" Antusias yang besar terdengar dari suara Ibu itu.

"Ambarawa."

"Dekat dari mana? Wonosobo Ambarawa itu jauh pakai banget lho, Mas," protes Ibu itu dengan nada yang pedas karena merasa dibohongi.

"Dekat, Bu. Kalau dilihat dari peta."

Ana dan Isti dengan kompak memutar mata mendengar basa-basi si bos yang sangat basi.

Wito masuk ke dalam untuk mengambil perlengkapan.

"Bos, basa-basinya jayus banget," ujar Isti. Wito hanya tersenyum menanggapi protes itu.

Terdengar dering telepon, Isti mengangkatnya sebelum terlalu lama berdering.

"Selamat pagi, laborat dengan Isti. Ada yang bisa dibantu?"

"Mas Wito ada?"

"Baru ambil darah."

"Tolong sampaikan kalau Cinta telepon, suruh buka wa-nya," pinta Cinta dengan judes.

"Jangan sampai nggak disampaikan," ancam Cinta ketika Isti tidak juga menjawab.

Isti memutar bola mata, begini nih kalau junior pacaran dengan senior. Ngelunjak jadinya. Isti menimang telepon yang sudah ditutup, enaknya disampaikan atau tidak.

Bos Aneh dan Nyebelin! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang