3

2.3K 100 1
                                    

Pagi ini Isti datang mepet gara-gara jam dinding yang baterainya habis. Dikira masih pagi ternyata sudah jam enam lebih.

Cewek itu sadar ketika disalip oleh salah satu perawat yang ngebut. Sesampainya di Rumah Sakit dia berlari-lari menuju tempat absen.

Beruntung waktu menunjukkan pukul 06.25 dan tidak ada masalah ketika scan jari. Biasanya susah absen karena jari keriput gara-gara kedinginan. Meski pun sudah menggenakan sarung tangan tapi hawa dingin masih bisa membuat tangan sedingin es.

Isti mendorong pintu belakang sambil berusaha bernapas dengan normal. Terlihat teman-teman sudah berkumpul di sekeliling meja kotak.

"Selamat pagi, Bu Pi," sapa Diana dengan senyum sejuta watt.

Isti mengerjab, berusaha mencerna salam itu. "Jangan bilang kalau!"

Dia tidak melanjutkan perkataan itu karena tangan sudah bergerak cepat menarik map bening tempat jadwal dipasang.

"Ah! Si Bos cuti ya? Ini kenapa aku yang jadi P1?"

Rupanya salam tadi memang ditujukan untuknya. Bos benar-benar menepati janji untuk mengganti posisinya hari ini. Namun itu tidak membuat Isti senang karena dia ditempatkan di posisi Bos.

Pi merupakan plesetan untuk P1. Jadi bila Bos cuti, beliau akan menujuk seseorang untuk menggantikan posisinya di P1. Hal itu berarti semua kewajiban Bos dilimpahkan pada pengganti.

Itu berarti Isti akan menjadi Bos dalam tanda kutip untuk shift pagi ini. Dia mendaratkan pantat di kursi plastik yang sudah disiapkan oleh Vela.

Isti memandang Vela, Ana, dan Diana lalu menghembuskan napas keras-keras lalu mengikuti gerakan melipat tangan seperti yang sudah dilakukan oleh yang lainnya.

"Mari kita berdoa." Isti memejam dan  menunduk untuk memimpin doa pagi itu.

Setelah kata Amin terucap dari bibir mungil Isti, Diana langsung melaporkan pekerjaan yang belum selesai pada mereka.

"Kontrol Protein masih belum masuk ya, Bu Pi," ujarnya ketika hendak keluar dari Laboratorium.

"Sudah ganti reagen?" tanya Isti berusaha memendam amarah karena merasa dijebak oleh si Bos.

"Belum." Jawaban dari Diana membuat Isti langsung menuju ke alat kimia setelah memakai perlengkapan pelindung diri.

Isti mengangkat botol tempat reagen protein lalu menyerahkan pada Ana. "Reagen tinggal sedikit, tolong diganti."

Ana mengangguk lalu membawa botol itu ke ruang persiapan sampel. Terdengar dering telepon tapi langsung berhenti karena sudah diangkat oleh Vela yang kebetulan hendak mengembalikan telepon itu ke tempatnya semula.

"Oke," jawab Vela singkat.

Tanpa mendengarkan percakapan juga sudah tahu apa maksudnya. Isti berjalan menuju lemari penyimpanan alat siap pakai dan mengambil salah satu box yang sewarna ceri.

"Di mana?" tanyanya kemudian setelah perlengkapan siap.

"IGD, ada satu pasien." Jawaban yang singkat tapi sangat dimengerti.

Isti mengayunkan kaki jenjangnya keluar dari Laboratorium untuk menuju ke IGD. Beginilah kalau harus menggantikan si Bos. Sibuk dari pagi.

Isti sudah menyelesaikan pr tinggalan dari yang dinas malam. Saatnya mengeluarkan hasil pemeriksaan pasien-pasien. Cewek itu sudah duduk manis di singgasana Bos, pikiran sepenuhnya tertuju pada angka-angka hasil Laboratorium yang harus diprint dan ditanda tangani.

Pintu depan terbuka dan menampakkan seraut wajah yang tersenyum samar.

"Bos, kenapa sih cuti hari ini?" tanya Isti mendahului Wito yang sudah membuka mulut.

"Siapa bilang cuti? Hari ini dinas luar. Ada pertemuan kepala Laboratorium seyayasan di Purwodadi." Wito bersandar di pintu, kedua tangan berada di saku celana.

Mata Isti menyipit. "Kok nggak bilang dari kemarin sih, Bos?"

"Memangnya kalau aku bilang dari kemarin mau apa?" tantangnya.

"Ya, kan aku bisa menyarankan Ana atau Vela yang menjadi P1."

"Enak saja. Aku nggak mau. Keputusan Bos kali ini sangat bijaksana dan tepat sekali." Vela memamerkan dua jempol di depan Wito yang langsung dibalas dengan senyum lebar yang berarti bangga karena sudah berbuat benar.

"Aku juga setuju kalau Isti yang jadi P1." Ana ikut angkat bicara.

Isti menutup muka dengan kedua tangan. Berhitung satu sampai sepuluh lalu membukanya. "Menurutku itu bukan keputusan yang menyenangkan."

"Ah, sudah lah. Mulai kerja lagi," pinta Wito pada mereka bertiga.

"Mbak, tahu kunci lokerku nggak? Hari ini harus bawa laptop padahal ada di loker. Tolong carikan," pinta Wito tanpa beranjak dari tempat.

"Emang aku istri Bos apa? Sampai tahu penyimpanan kunci loker." Isti kembali mengalihkan perhatian ke komputer.

"Mbak." Wito mendekat ke meja komputer.

Isti memejamkan mata, bahunya naik turun dengan lambat. Membuka mata lalu menarik laci yang terdapat di meja komputer. Mengeluarkan kardus kecil berisi kunci-kunci.

"Kunci depan, kunci gudang, kunci kamar mandi, kunci belakang, kunci lemari." Isti mulai memilah-milah.

"Nah, itu." Wito menunjuk kunci yang memiliki gantungan bertuliskan nama band kesukaannya.

Isti menyerahkan kunci itu. Wito menyambar lalu bergegas menuju loker.

Cewek itu mengangkat telepon yang berbunyi sehingga tidak mendengar jelas ucapan terima kasih dari Wito, atau memang tidak ada ucapan terima kasih. Isti tidak ambil pusing, yang terpenting adalah pekerjaan diselesaikan dengan baik.

"Bos, sudah ditunggu sama supir di depan lobi. Sekarang ya, Bos!" Isti menekankan tiap kata agar Wito menyadari betapa dia sudah ditunggu-tunggu oleh yang lain.

"Bos!" teriak Isti ketika tidak mendengar jawaban.

"Iya, iya. Ini sudah mau keluar. Kalau ditelepon lagi bilang saja sudah jalan." Wito melambai pada ketiga anak buah.

Sepeninggal Wito, Isti disibukkan oleh banyak pekerjaan. Seperti yang terjadi sekarang ini.

"Pak Wito sedang dinas luar," ujar Isti dengan keramahan maksimal ketika melihat sales ke lima masuk ke dalam ruangan kantor.

"Mau menawarkan alat nih, Mbak." Rupanya sales yang ini susah diusir. Keempat sales lain langsung undur diri dan mengatakan akan datang lain kali.

"Saya minta list produk saja. Besok saya serahkan ke Pak Wito."

Sales itu membuka tas dan mengeluarkan map kertas yang depannya ada gambar berbagai alat Laboratorium.

"Bantu omong sama Pak Bos biar beliau mau beli ya, Mbak," bujuk Sales itu.

"Keputusan ada di tangan Bos, bukan saya." Isti menerima map itu lalu memasukkan ke laci.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Akhirnya pamit juga, Isti bernapas lega.

"Bu Pi, poliklinik menanyakan hasil rujukan tapi hasilnya belum ada." Ana menyerahkan secarik kertas bertuliskan identitas pasien pada Isti.

Cewek itu membaca nomor rekam medis pasien dan mulai mencari hasil di komputer. Ternyata memang belun ada hasilnya. Dia lalu menghubungi Laboratorium rujukan untuk menanyakan hasil.

Ana bergidik ngeri melihat perubahan raut wajah Isti yang semakin lama semakin kelam.

Setelah mendengarkan penjelasan dari Laboratorium rujukan. Isti menghubungi dokter untuk memberi penjelasan alasan kenapa hasil belum keluar.

Semakin siang kepala Isti semakin pusing karena ada saja masalah yang harus dihadapi. Isti menyesal sudah minta ganti posisi.

"Bos, kapan masuk sih?" keluh Isti.

Bos Aneh dan Nyebelin! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang