Isti pulang ke kos-kosan dengan semangat. Menyegarkan diri dengan mandi air hangat lalu menikmati makan siang buatan Esy yang hari ini bertugas masak.
Cewek itu duduk bersantai sambil menonton televisi. Esy bergabung setelah menyelesaikan makan.
"Kamu nggak pulang? Libur dua hari kan?"
"Besok pagi-pagi saja. Hari ini aku capek gila. Rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera saja. Nggak kuat," keluh Isti.
Cewek itu lalu memutar tubuh ke kanan hingga menghadap Esy. "Jadi kepala ruang itu dapat tunjangan jabatan berapa sih? Tanggung jawabnya gila-gilaan."
Esy tertawa keras. "Itulah sebabnya kepala dapat uang tunjangan. Emang gila tanggung jawabnya."
"Tapi kamu nggak gila kan? Kamu kan kepala."
"Nggak lah, udah biasa." Esy kembali memusatkan perhatian pada acara televisi.
Terdengar dering notifikasi. Isti membuka sambil lalu karena enggan mengalihkan perhatian dari ftv yang tokoh utamanya adalah aktor favorit.
"Ah!" Isti menghentak-hentak. Seluruh tubuh bergetar.
"Kamu kenapa sih? Seperti anak kecil yang lagi marah saja!" tegur Esy yang terganggu dengan gerakan merajuk itu.
Cewek itu menggelembungkan mulut hingga seperti ikan buntal lalu menyerahkan gawai pada Esy.
Esy memandang Isti dan layar gawai bergantian. "Nggak ngerti deh. Kenapa satu kata 'mbak' bisa bikin kamu kelejotan seperti habis diserempet ikan belut listrik."
"Mbak itu adalah satu kata berjuta makna kepunyaan si bos. Kalau dia bilang mbak itu kita-kita harus paham apa artinya. Kali ini aku ngerasa kalau itu sesuatu yang nggak mengenakkan. Nah bunyi lagi tuh." Isti beringsut menjauh, telinga ditutup rapat dengan kedua tangan. Melihat gawai dari ekor mata seolah-olah itu adalah bom waktu yang nyaris meledak.
Esy menertawakan tingkah lebay temannya itu. Menunduk untuk membaca kelanjutan chat Wito.
"Mbak Isti, besok dinas P1 lagi. Aku masih dinas luar." Esy membacakan chat itu.
"Tidakkkkk!" Isti berteriak sekuat tenaga hingga membuat setiap kamar kos menjeblak terbuka dan kepala tersumbul dari balik pintu.
Esy meletakkan jari telunjuk secara diagonal di dahi, menunjukkan pada setiap kepala yang mengintip penasaran.
"Oooo..." ujar mereka secara bersamaan sebelum akhirnya menutup pintu, kembali ke alam masing-masing.
"Enak saja bilang aku gila." Isti menepuk paha Esy.
"Lha emang gila, gila gara-gara Wito." Esy memegang perut dan pipi bergantian, efek dari tertawa yang terlalu bersemangat.
"Ya, ampun. Bunyi lagi." Isti menunjuk gawai yang masih dipegang Esy.
"Terima kasih, itu katanya."
Isti memutar bola mata mendengar kata itu. "Belum juga bilang sanggup sudah bilang terima kasih. Memangnya nggak ada orang lain apa? Masa aku lagi yang jadi P1?"
"Kali dia tahu kalau kamu nggak pulang jadi disuruh masuk." Esy mengedip.
Isti kembali memutar bola mata lalu merebut gawai dan mulai mengetik sesuatu. "Nah, beres. Aku minta ganti libur hari minggu. Jadi dia harus masuk buat gantiin aku."
Isti menggosokkan kedua tangan. Wajahnya terlihat licik sampai Esy membuka mulut keheranan.
...
Keesokan hari Isti masuk ke Laboratorium dengan senyum cerah. Tak apa sakit-sakit dahulu sekarang, hari minggu dia bisa bersenang-senang.
Hari ini dia berdinas dengan Bintang dan Lily. Berhubung tenaga terbatas jadi bantu-bantu di sana sini.
Kali ini dia membawa sampel urine menuju ke ruang pemeriksaan yang terletak di paling belakang. Notifikasi WA berbunyi ketika sampel urine sudah ditaruh.
Isti membuka pesan itu. Ini dari Wito yang mengingatkan dia untuk mengerjakan kultur sensitivitas.
Cewek itu menutup gawai lalu mulai mengerjakan tugas itu. Setelah membereskan perlengkapan terdengar bunyi notifikasi lagi. Kali ini Wito mengingatkan untuk menghubungi PMI agar dapat stok darah.
Isti melangkah ke ruang kantor dan menghubungi PMI sekalian menghubungi supir agar dapat mengambilkan stok darah.
"Mbak, sini deh. Ini kenapa ya." Bintang memanggil dari depan alat elektrolit.
Isti menghampiri dan memperhatikan penjelasan Bintang. Cewek itu berusaha melihat apa masalahnya tapi belum berhasil.
Terdengar suara nada dering panggil milik Isti. Dia mengangkat panggilan itu.
"Semuanya lancar kan, Mbak?" Suara Wito membuat cewek itu mendesah lega.
"Bos, ini alat elektrolitnya kok nggak bisa ya?" Isti mulai mengulang penjelasan Bintang tadi.
Wito mulai mengarahkan pada Isti agar dapat menyeting alat itu.
"Mbak, kok gini?" tanya Bintang karena langkah selanjutnya tidak sama dengan perkataan Wito.
"Itu karena kamu salah pencet, harusnya yang kanan bukan kiri," suara Wito membuat Bintang dan Isti ketakutan.
Mereka bahkan belum mengatakan apa yang jadi masalahnya tapi Bos sudah tahu.
Isti dan Bintang spontan menatap ke langit-langit ruangan, mencari CCTV yang mungkin dipasang tanpa sepengetahuan mereka.
Isti mengangkat bahu untuk menunjukkan kalau tidak ada CCTV di sana.
Setelah panggilan berakhir Bintang berbisik pada Isti. "Bos punya indera keenam apa, Mbak?"
"Mungkin juga." Isti kembali teringat pada WA Wito yang sesuai dengan waktu dan tempat kejadian.
Isti kembali mendongak, meneliti langit-langit kalau-kalau memang benar ada CCTV. Bolehkah dia melambaikan tangan ke kemera biar si Bos balik ke Laboratorium dan bekerja lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Aneh dan Nyebelin!
RomanceApa yang kamu rasakan kalau jadi anak buah dari bos yang tampan mempesona, ramah dan punya banyak fans? Bos yang selalu sabar serta tidak pernah marah? Seneng dong? Namun Isti malah bersikap judes karena kelakuan aneh dan nyebelin dari si bos. Sejuj...