"Si Bos beneran cuti?" Isti melirik jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 06.30.
"Ya beneran lah." Lely terkikik melihat wajah Isti yang auto cemberut.
Isti dengan pasrah melakukan ritual ganti shift. Nggak sekali dua kali kena jebakan batman ala si Bos jadi udah biasa banget.
"Kalian udah sarapan?" Isti heran melihat semangat Bintang dan juga Lely yang terlihat lincah saat mulai bekerja.
Mereka dengan kompak menjawab sudah sarapan sebelum berangkat. Isti mengambil satu lembar uang sepuluh ribuan karena harus cari sarapan sendiri.
"Mau beli kluban di depan, Mbak?" Bintang bertanya karena Isti tak juga beranjak keluar dari ruangan.
Isti menggeleng. "Mau makan di kantin saja lah, sekali-kali ganti suasana."
"Wah, beneran menghayati peran sebagai P1 nih. Biasanya juga Bos yang makan di kantin," goda Lely.
Isti menoleh, menyentuhkan jari telunjuk pada bibir yang membuat Lely menutup mulut.
Kantin Rumah Sakit terletak di bagian belakang, lumayan lah kalau mau olahraga jalan santai. Ia sengaja datang lebih awal karena pagi-pagi pasien masih sedikit jadi kedua temannya tidak akan repot bila ditinggal sarapan.
Meski pun jarang datang ke kantin tapi dia sering memesan makanan untuk diantar ke pantry jadi bisa dibilang dekat juga dengan orang kantin.
Isti dengan lincah menyendok nasi, sayur sop, dan juga tempe mendoan untuk menu sarapan.
"Ups, maaf," ujar Kevin yang sudah dengan sengaja menyenggol lengan Isti.
Dia merasa lebih bersemangat ketika melihat mata bulat cewek itu yang semakin membesar karena menahan amarah.
Isti hanya mengangguk lalu berlalu untuk mencari tempat duduk. Ini bukannya hal yang sulit mengingat dia satu-satunya yang berada di ruang makan.
Ruang makan ini tidak sepenuhnya tertutup karena ketiga sisinya hanya dibatasi oleh pagar setinggi pinggang.
Dia sengaja duduk di tengah-tengah karena bisa memandang pohon mangga dan juga rambutan yang sudah mulai berbuah. Rasanya semangat makan semakin menggebu.
"Hai," sapa Kevin yang langsung duduk di kursi depan Isti tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu.
"Dok, masih banyak tempat duduk lho. Kenapa malah duduk di situ." Isti menunjukkan tempat duduk sekeliling mereka yang masih kosong.
"Apa kamu selalu seperti ini kalau berhadapan dengan cowok? Judes? Jadi gemas." Tangan Kevin terulur untuk mencubit pipi Isti membuat cewek itu menepis tangan Kevin dengan keras.
Isti benar-benar tidak tahu ada apa dengan dokter baru yang ada di depannya saat ini. Namun jantungnya berdesir lembut.
"Dok, jangan macam-macam dengan saya. Ini namanya pelecehan, jangan berharap saya akan tinggal diam!" ancam Isti dengan suara pelan namun tegas.
Kevin tergelak, ini suasana yang dirindukan. Bertengkar dengan cewek galak yang selama ini selalu ada di pikiran.
"Listi, Listi. Kenapa aku sangat suka kalau kamu galak gini ya?"
"Listi? Kamu, kamu Epin?" Pandangan penuh tanya tergambar begitu jelas di wajah Isti.
Kevin memgangguk berkali-kali untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. Kebekuan diantara mereka mencair karena pembicaraan selanjutnya berkisar akan kisah masa kecil.
Isti dan Kevin bertetangga, mereka sudah bersama-sama sejak kecil. Persahabatan mereka renggang karena Kevin yang saat itu berumur tujuh tahun harus ikut pergi keluar kota bersama orang tuanya.
Suara dering telepon mengganggu pembicaraan mereka. Isti merogoh saku baju untuk mengeluarkan benda pipih berwarna hitam. Menggeser gambar telepon untuk menjawab panggilan.
"Halo, Bos," sapa Isti dengan sopan. Jaga image di depan Kevin.
"Kamu di mana? Kok sunyi?"
"Kantin, sarapan."
"Makan sama siapa?" Pertanyaan ini membuat kening Isti berkerut. Bosnya memang tipikal orang aneh dengan basa-basi garing tapi ini benar-benar aneh.
"Bos, ngapain telepon? Kalau cuma ngecek, lebih baik nanti chat saja." Isti menutup panggilan itu.
Di tempatnya berdiri sekarang ini, Wito memandang lurus ke arah cowok cewek yang asik bercanda dari pada makan.
Dia mendekati kantin dengan langkah lebar-lebar. Mengambil makan tanpa berbasa-basi terlebih dahulu dengan pelayan kantin.
Isti berjingkat ketika mendengar suara piring yang diletakkan ke atas meja dengan keras.
"Lho, katanya cuti?" Paras Isti yang kebingungan tak membuat suasana hati Wito membaik.
"Mbak Vela minta cuti karena ada keperluan mendadak."
Jawaban singkat dan datar seperti biasanya membuat kerut di dahi Isti memudar. Dia melanjutkan makan dengan kecepatan yang meningkat tajam.
Kevin juga melanjutkan makan tapi pandangan tertuju pada cowok yang duduk tepat di samping Isti. Dia merasakan hawa aneh, seperti persaingan yang dimunculkan dengan sangat jelas.
Isti menggeser kursi kayu ke belakang sebelum berdiri. Kevin dan Wito juga tergesa-gesa berdiri agar dapat mengejar Isti yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kantin.
Kevin dan Wito bertatapan untuk saling menilai. Isti menoleh dan mendapati keduanya berhadap-hadapan tanpa bicara.
"Kalian mau sampai kapan seperti itu?"
Suara Isti memutus adu pandang diantara keduanya. Kevin mengambil posisi di sebelah kanan Isti, sedangkan Wito di sebelah kiri. Mereka berpisah di koridor belakang apotek karena Kevin harus berbelok ke kanan menuju IGD.
Isti dan Wito melanjutkan perjalanan tanpa kata-kata hingga mereka masuk ke dalam ruang Laboratorium.
Isti hendak bertanya tentang Vela ketika dering telepon terdengar. Wito memandang lekat-lekat.
"Dari mana? Biar aku yang ke sana," perintah Wito.
Cewek itu menulikan telinga, balik badan untuk mengambil box perlengkapan setelah menutup panggilan.
Wito menyambar box yang sudah dipegang Isti. "Katakan saja harus ke mana?"
"Berhubung Bos nggak jadi cuti berarti posisiku menggantikan Vela," ujar Isti sambil berusaha mengambil box yang disembunyikan di balik punggung oleh Wito.
Cewek itu merasa seperti anak kecil yang berebut mainan karena nyatanya Wito tidak membiarkan dia menyentuh box.
"Ruang apa?" tanya Wito dengan tegas. "Aku yang menggantikan Vela. Kamu tetap di P1."
"IGD," jawab Isti dengan terpaksa. Dia benar-benar tidak menyukai perkataan Wito tentang P1, lebih lagi karena ada P1 yang sesungguhnya.
Isti menyempatkan bertanya tentang alasan Vela cuti mendadak melalui chat. Siapa tahu sahabatnya itu sedang kurang enak badan. Dia bisa menjenguk setelah pulang kerja.
Jawaban chat Vela membuat Isti tertegun. Ternyata Vela tidak ada alasan khusus untuk cuti, itu karena Wito yang memaksanya untuk cuti.
Isti menoleh, menatap pintu belakang yang sedikit terbuka setelah dilewati oleh Wito.
Hari ini si Bos semakin aneh. Isti sungguh tidak paham dengan maksud Wito menyuruh Vela cuti dan malah dia yang masuk menggantikan cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Aneh dan Nyebelin!
RomanceApa yang kamu rasakan kalau jadi anak buah dari bos yang tampan mempesona, ramah dan punya banyak fans? Bos yang selalu sabar serta tidak pernah marah? Seneng dong? Namun Isti malah bersikap judes karena kelakuan aneh dan nyebelin dari si bos. Sejuj...