7. Dirty Talked

1.3K 50 0
                                    

"Dek, kamu ngusapnya terlalu lembut. Itu mah nggak bakal bersih. Yang ada malah bikin 'punya' orang berdiri tegak."

Gue tersentak karena seruan Tante Jeje, salah seorang cleaning service yang bukan perawat tapi selalu menempatkan dirinya seperti perawat. Entahlah! Gue bingung sendiri kenapa bisa begitu. Padahal beliau ini nggak punya latar belakang pendidikan di keperawatan.

Beliau baru saja mengomentari akan kelembutan gue dalam menyeka tubuh pasien di bagian alat vital. Ya salam! Harus banget gue ceritain, nih? Bagian alat vital, pemirsa. Mana ini pasien laki-laki, yang nyatanya telah didiagnosa mengalami stroke hemoragik.

"Ih, Tante. Aku kan emang selalu begini. Aku orangnya nggak tegaan. Masa pasiennya udah lemah gini, kita perlakukan dengan kasar? Itu malah lebih salah lagi." Sahut gue nggak mau kalah.

"Ya ampun, Mai. Saya nggak nyalahin kamu. Tapi maksud saya apa yang kamu lakukan tadi itu kurang tepat. Kalau ngusap badannya selembut itu, mana mau bersih, anak muda." Balas beliau dengan wajah jengkel tapi tetap berusaha tersenyum.

Gue baru tersadar, kalau perdebatan kami bisa didengar orang lain di sekitar.

Gue hanya bisa cengengesan, untuk menutupi rasa malu. Huh!

"Nih, perhatikan saya." Ujar Tante Jeje, sambil menyeka tubuh pasien dengan begitu lembut tapi penuh penekanan. Gue aja bingung mau mendiskripsikannya gimana. Susah.

"Udah ngerti kan?" Tanya Tante Jeje. Gue mengangguk. Iyain aja lah, biar cepat kelar.

"Asli, gokil juga kamu, Mai." Seru Zikri, salah satu teman satu kelompok gue. Saat gue menyusul duduk di nurse station.

"Gokil apanya, Zik?" Tanya gue pura-pura nggak ngerti.

"Ya ampun, rese amat ini orang." Sahutnya, lalu menjitak kening gue.

"Eh, yang boleh ngejitak jidat gue cuma Mas Raran, ya. Lo nggak boleh." Protes gue keras. Enak aja, main jitak-jitak.

"Elah! Gayanya. Iya deh, ngerti aku yang udah nikah. But, btw gimana rasanya malam pertama, Mai? Secara kamu pasti udah lihat kan gimana kalau mister 'P' punya suami kamu lagi berdiri?" Tanya Zikri vulgar.

"Ih, Zikri mesum. Males gue ngobrol sama lo." Tolak gue kasar, sambil menepuk pundaknya keras.

"Ya ampun Mai. Perasaan yang begituan mah udah biasa kali, jadi perbincangan hangat para anak keperawatan. Malahan aku dengar teman-teman cowok di kelas kamu waktu di akademik, lebih mesum dari kelas lain seangkatan kita."

"Kata siapa?" Elak gue, demi menjaga nama baik teman-teman cowok satu kelas waktu di akademik dulu. Tapi kayaknya nggak berhasil. Sebab itu udah jadi rahasia umum. Anak cowok di kelas gue dulu emang parah banget. Bahkan ada satu anak cewek yang jadi  'piala bergilir' anak-anak cowok. Astaghfirullah! Gue kok malah ghibah, yak.

Ah, sudahlah.

"Jadi, gimana Mai?" Tuntut Zikri masih jahil. Lebih tepatnya kepo.

"Jadi apanya?" Gue memilih menghindar dari percakapan unfaedah di nurse station bersama Zikri. Lalu bergegas ke ruangan pasien untuk mengisi lembar observasi tentang tanda-tanda vitalnya berdasarkan hasil tampilan di layar monitor.

Tanpa gue sangka, itu cowok malah ngekorin gue dengan dalih ikut mengobservasi pasien di bed sebelah.

"Jawab dong, Mai. Aku kepo akut ini." Desak Zikri, sambil menghitung balance cairan pasien di bed sebelah.

"Kerja, Zik. Jangan ngerumpi. Kayak cewek aja lo." Sahut gue sambil menghitung jumlah urin di urine bag sebelum membuangnya, dan menyusul Zikri dalam menghitung balance cairan tubuh pasien yang gue observasi.

Nge-Ne(R)s  [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang