~1

9 2 0
                                    

Libur akhir tahun, waktu yang ditunggu-tunggu semua orang. Semua orang berbondong-bondong menuju tempat wisata, taman bermain, supermarket, dan tempat lain untuk rekreasi. Jalanan begitu sesak. Ratusan kendaraan yang berlalu lalang membuat udara semakin panas dan penuh polusi. Ditambah lagi dengan efek rumah kaca yang dihasilkan oleh gedung-gedung di kota ini. Tidak ada solusi yang terlintas di pikiran semua orang selain menyalakan AC, yang sebenarnya hanya memperburuk keadaan.

Hanya segelintir orang saja yang tertarik berjalan kaki di trotoar. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang tidak bisa mengendarai kendaraan, lansia, dan anak-anak yang belum memiliki surat izin mengemudi. Diantara semuanya, tidak ada yang sendirian sepertiku. Aku tidak peduli. Aku sangat menikmati kesendirian yang membuatku tenang dan merasa bebas.

Perpustakaan kota sangat sepi ketika aku tiba di sana. Semua orang sibuk berlibur dan mempersiapkan perayaan tahun baru. Aku yakin tidak ada yang tertarik membaca buku di perpustakaan, termasuk petugas perpustakaan yang terkantuk-kantuk sambil mengerjakan sesuatu dengan komputernya. Itu tidak masalah bagiku, karena justru ketenangan seperti inilah yang kubutuhkan.

Aku menuju rak khusus buku kuno yang terletak di lantai tiga. Mataku langsung tertuju pada buku tebal yang sangat berdebu. Sampul tebalnya berwarna cokelat. Kertasnya yang tebal dan kecokelatan menandakan bahwa buku itu sangat tua dan antik. Rasa penasaranku pada isinya membuatku lupa bahwa seharusnya buku antik seperti ini tidak mugkin ada di perpustakaan ini.

Alvagea. Judul buku ini ditulis menggunakan tinta timbul warna merah. Di bawahnya terdapat lukisan yang mirip seperti sebuah simbol. Aku membuka lembar demi lembar buku itu. Melihat-lihat isinya sebelum membaca. Buku itu sepenuhnya ditulis manual menggunakan huruf latin, dan huruf asing yang tidak kukenal. Aku terus membolak-balik buku itu sampai seorang pemuda aneh yang tebatuk-batuk, tetapi batuknya tidak terdengar seperti batuk sungguhan mengganggu konsentrasiku.

Aku memperhatikan pemuda itu melalui ekor mataku. Penampilannya sangat aneh. Ia mengenakan kaos abu-abu, celana kodok berwarna abu-abu, sepatu abu-abu, kaos kaki abu-abu bahkan rambutnya pun disemir abu-abu dan dibelah dua persis di bagian tengahnya. Kacamata dengan lensa bundar kecil menggantung di hidungnya. Kukira kutu buku dengan penampilan seaneh itu hanya ada dalam film.

Pemuda itu mengambil salah satu buku lalu duduk tepat di sampingku. Aku berhenti memperhatikannya dan kembali fokus pada buku dihadapanku.

"Nona Aidy Silvanni," pemuda itu lagi-lagi menggangguku.

"Dari mana kau tahu namaku?"

"Ini bukan lagi tempat yang cocok untukmu. Sudah waktunya kau pulang."

"Jangan berisik!"

"Seharusnya kau tidak di sini."

"Dan seharusnya kau tahu peraturan yang harus kau patuhi di perpustakaan," aku segera beranjak dari tempat itu dan berniat meminjam buku antik yang belum sempat kubaca. Pemuda itu benar-benar merusak ketenanganku.

Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Pemuda aneh itu mengikutiku, seolah belum puas menjahiliku. Aku mempercepat langkahku. Jika aku mau, aku bisa saja naik angkutan umum. Tapi itu berarti pemuda itu juga bisa, dan ia akan lebih mudah mengikutiku. Rupanya diikuti oleh satu orang saja belum cukup. Seorang pria berjubah hitam berdiri di pinggir trotoar, sekitar lima ratus meter di depanku. Sesekali ia melirikku, seakan memang akulah yang sedang ia tungggu.

Aku mengambil jalan lain menuju rumahku dan berlari secepat mungkin. Berharap dengan cara ini aku bisa menghindar dari mereka. Tapi aku salah. Pria berjubah hitam berlari lebih cepat dariku. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Aku berusaha melepaskannya tapi tenaga orang itu lebih kuat.

"Kenapa kau takut? Ini aku, Aidy,"

"Kak Lingga," aku menghela napas lega. Ternyata kakakku. Dia berhasil membuat pria berjubah hitam urung mengejarku.

"Berapa kali aku harus mengatakan ini padamu. Kau harus bergaul dengan orang lain. Carilah teman. Jangan pergi sendirian, kalau ada apa-apa.... "

"Kenapa kakak ada di sini?" tanyaku menyela.

"Ibu menyuruhku membeli beberapa barang," Kak Lingga menunjukkan tas belanja yang dibawanya. "Ayo pulang,"

Berjalan bersama kakakku membuatku sedikit lebih tenang. Walaupun aku merasakan sedikit ketidakadilan. Laki-laki bisa pergi kemana saja tanpa khawatir akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan ibuku bilang bahwa perempuan sebisa mungkin tidak pergi sendirian. Bukannya aku tidak mau pergi dengan orang lain, tetapi aku tidak bisa. Aku tak punya teman, bahkan aku tak mengenal orang lain kecuali Ibu dan Kakakku. Tapi bukan berarti tidak ada yang mengenaliku.

Aku yakin semua orang di kampungku mengenaliku. Sebagai gadis kutu buku aneh yang antisosial. Mereka memandangku negatif. Sesekali aku melihat beberapa di antara mereka saling berbisik ketika aku lewat. Beberapa menatapku dengan tatapan benci. Sisanya hanya menatap heran, dan tidak sedikit pula yang tidak peduli. Aku sudah nyaman dengan kesendirianku. Waktuku tidak akan kubuang percuma untuk memikirkan pendapat orang lain.

Orang-orang di kampungku memang begitu. Mungkin orang di kampung lain juga sama. Aku tinggal di kampung yang tidak terlalu jauh dari
pusat kota. Kampung ini banyak dihuni oleh orang yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Kecuali keluargaku, mungkin. Rumahku sangat mudah ditemukan. Satu-satunya rumah kayu di kampung ini. Rumah paling kecil, tapi halamannya paling luas. Ibu menggunakan halaman rumah kami untuk berkebun, karena memang itulah hobi kami bertiga. Aku, Kak Lingga, dan Ibu.

Insting seorang ibu memang sangat kuat. Ibu telah menunggu kami di depan rumah, menyambut kami. Seakan kepulangan kami begitu spesial. Senyumnya mengembang, memancarkan kecantikan yang perlahan-lahan tertutup oleh usianya. Celemek usang menggantung di lehernya, menandakan bahwa ibu baru saja selesai memasak. "Kebetulan sekali. Ibu baru saja selesai memasak makanan kesukaan kalian. Ayo makan siang, sebelum makanannya dingin," ajaknya.

"Ibu tidak perlu khawatir. Masakan Ibu tidak akan tersisa," sahut Kak Lingga yang langsung meluncur ke dapur lalu menyiapkan makanan untuk kami bertiga.

"Ibu, apa ada yang spesial di hari ini?" tanyaku.

"Tidak ada."

"Lalu untuk apa Ibu memasak masakan kesukaan kami?" Kak Lingga memasang ekspresi heran.

"Kalian tidak pergi jalan-jalan seperti yang lain. Ibu ingin kalian juga merasakan kebahagiaan seperti yang orang lain rasakan. Mungkin dengan ini kalian akan bahagia."

"Aku sudah bahagia, Bu. Tadi aku sudah pergi ke tempat favoritku, perpustakaan kota," aku berusaha tersenyum selebar mungkin.

"Dan tempat favoritku sangat dekat dari sini. Halaman rumah kita," sahut Kak Lingga. Aku tahu ia tengah berbohong. Kak Lingga tidak pernah punya waktu untuk itu. Ia harus bekerja karena ialah tulang punggung kami.

Aku pergi ke kamar setelah selesai makan dan membereskan peralatan makan. Kamarku terletak di loteng. Hanya ini tempat yang tersisa untukku di rumah ini. Dua kamar lain telah dipakai Ibu dan Kak Lingga. Aku sempat menolak ketika Ibu menawarkanku untuk tidur dengannya. Yang kubutuhkan adalah ruang untuk sendiri.

Aku mengambil buku yang kupinjam tadi lalu membacanya di meja belajarku. Dongeng. Itulah yang kutemukan di buku ini. Tapi gaya bahasanya mengatakan bahwa itu adalah sejarah. Aku tidak bisa memahami buku itu dengan baik karena aku tidak mengerti maksud simbol-simbol di dalamnya. Meski begitu aku berusaha untuk tidak berhenti membaca.

Entah mengapa aku tiba-tiba teringat perkataan pemuda yang kutemui di perpustakaan. Seperti sebuah peringatan. Aku ingin mengabaikannya. Tapi aku justru menuruti perkataannya, untuk segera pulang. Lalu aku dihadang oleh pria berjubah hitam. Sebenarnya siapa pemuda aneh itu? Dan apa yang ingin ia sampaikan padaku?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlvageaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang