Pertama & Terakhir

113 10 6
                                    

Manusia enggak pernah adil.

Minoritas kayak aku bakal nerima banyak cacian dan dikutuk setiap hari kalau muncul di masyarakat. Apalagi yang masih percaya takhayul sesar, lebih baik mereka hidup di zaman batu, menyembah roh nenek moyang.

Aku menutup diri dari banyak orang, enggak mau berakhir mati muda karena bunuh diri. Manusia jadi makhluk paling kejam ke sesamanya, menyedihkan.

Zaman dahulu orang sepertiku pasti dibunuh karena dianggap sebagai penyihir sial pembawa kutukan. Mungkin sampai sekarang juga, tapi aku enggak pernah tahu dan enggak mau tahu.

Aku enggak pernah mau hidup kayak gini. Aku takut sama tubuhku sendiri.

Dibuang saat bayi, terus hidup di panti asuhan tiga tahun, sulit. Yang paling aku ingat saat aku ada di panti, semua orang menjauhiku, mereka semua mengolok. Aku enggak pernah punya teman dan enggak ada yang mau berteman denganku.

"Kamu cacat ya?"

"Aneh."

Dan yang paling mengerikan, "Enggak ada yang mau ngadopsi kamu, kamu aneh, mati aja."

Hinaan kayak gitu bakal selamanya ada di pikiranku, enggak akan hilang.

Kemudian, saat ulang tahunku yang ketiga, Ayah dan Bunda mengadopsiku. Alo kecil jadi senang karena enggak bakal ada lagi anak-anak yang bakal melirik sinis atau memanggil dengan sebutan si cacat.

Di rumah baru, Ayah dan Bunda sangat sayang padaku.

Suatu hari waktu umurku sudah cukup buat masuk Sekolah Dasar, Ayah mendaftarkan aku di sekolah dekat rumah. Hari pertama pulang sekolah, lututku berdarah.

Aku enggak mau masuk lagi, Bunda juga melarang. Akhirnya Ayah memanggil guru privat ke rumah buat mengajariku.

Karena enggak mau kejadian lagi, aku meminta ke Ayah agar ada sekat antara guru privatku dan aku, dan Ayah setuju.

Guru-guruku menandatangani kontrak agar tidak lancang menyingkap sekat.

Kemampuan penglihatanku enggak normal, jadi aku selalu memakai kacamata. Tapi, telingaku bisa mendengar dengan sangat jelas.

Tuhan memang baik.

"Alo, ayo ke Rumah Sakit," kata Bunda dari bawah.

Merepotkan, aku harus menutupi setiap jengkal kulitku supaya enggak kena matahari menyebalkan yang bisa membakar kulit.

Aku memakai all-grey. Topi, masker kain, baju panjang, celana kain, dan kaos kaki. Jangan lupa kacamata minusku juga.

Saat aku turun, Bunda sudah menunggu dengan senyum mengembang.

"Kamu enggak pakai itu?" tanya beliau ketika menatapku.

"Enggak, sudah digelung."

"Oh, ayo makan kalau gitu."

"Bunda masak apa?"Aku menuju dapur untuk minum.

"Sup wortel sama ayam," katanya. Makanan kesukaanku.

"Bunda enggak buru-buru, kan?" tanyaku, "Kalau buru-buru, Alo enggak usah ikut."

"Enggak, kamu makan dulu."

Aku enggak bakal bisa menghindar. Bunda bakal memaksa kalau aku enggak mau. "Biar kamu enggak mati bosan di kamar mulu," katanya dulu. Padahal mati bosan pun enggak apa-apa daripada kena matahari.

Ini sudah berkali-kali Bunda mengajakku ke Rumah Sakit, tapi aku belum bisa adaptasi sama bau obat-obatan yang menyengat.

Enam Jam KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang