2. Tamu

240 26 0
                                    

Imonse.

Itulah nama negri ini. Negeri yang dipenuhi oleh makhluk yang dianggap mitos oleh manusia. Negeri yang indah dengan alamnya yang indah. Negeri yang kuat dengan penduduknya yang hebat-hebat. Negeri tempat seorang gadis cantik tinggal bersama nenek dan kakeknya.

Arthemis Lucrecia, namanya.

Gadis yang cantik dan penduduk desa tidak menutupi fakta itu. Banyak para lelaki yang berlomba-lomba mempersuntingnya dan dia menolaknya dengan keras. Bukan tidak ada alasan menolaknya, dia terbilang masih sangat muda dan baru menginjak usia delapan belas tahun. Dia ingin menikmati masa mudanya dan tidak ingin terburu-buru. Terlebih dia tidak tertarik dengan laki-laki yang pernah ingin mempersuntingnya.

Artemis yang suka menghabiskan waktunya di sebuah danau tengah meliuk-liukkan tangannya. Air danau mengikuti pergerakan tangan Arthemis, dia membuat sebuah bola air yang lumayan besar lalu melemparkannya ke sebuah pohon hingga pohon itu tumbang.

Arthemis tersenyum. Cahaya biru gelap berpendar di tangannya dan dia arahkan ke lohon yang telah dia rusak tadi. Seketika pohon itu kembali berdiri kokoh tanpa cacat sedikitpun.

Elemen air dan perbaikan.

Elemen air adalah elemen yang sudah umum di dengar oleh masyarakat imonse. Tapi kekuatan perbaikan, kekuatan yang dapat memperbaiki hal yang sudah rusak hingga kembali kesedia kala. Itu adalah kekuatan khususnya, entah dapat dari mana tapi kekuatan itu muncul di usianya menginjak tujuh belas tahun.

Dia tidak tinggal bersama orang tuanya, tapi dia diasuh oleh kakek dan nenek amgkatnya. Dia tidak mengetahui oramg tuanya karena neneknya tidak pernah bercerita dan Arthemis juga tidak pernah menuntutnya.

Arthemis hanya mengikuti alur kehidupan yang sudah dituliskan. Dia percaya, suatu saat nanti pasti dapat mengetahuinya.

Arthemis termenung di tempatnya. Dia menyandarkan tubuhnya ke sebuah pohon dan memejamkan matanya. Dia mengingat mimpi itu, ibunya mendatanginya.

Arthemis mempercayai takdir. Karena walaupun neneknya tidak pernah menceritakan tentang ibunya tapi takdir mempertemukannya dengan ibunya di alam mimpi.

Mimpi yang sudah mengusik pikirannya. Dia ingin menolak, tapi mengingat tatapan yang berisi harapan besar di mata ibunya dia menjadi yakin untuk menerima penawaran nenek dan kakeknya.

Arthemis tersentak ketika melihat langit yang mulai menggelap. Dia berdiri dan bergegas pulang menemui neneknya.

Ketika tiba di depan pintu, terlihat sebuah mobil mahal berhenti di depan rumahnya. Arthemis mengernyit, siapa yang bertamu ke rumahnya?

Walaupun imonse adalah negeri yang berisi makhluk-makhluk mitos, tapi mobil adalah kendaraan umum mereka. Walaupun mereka memiliki kekuatan, tapi mereka tidak ingin membuang kekuatan mereka dan memilih menggunakan mobil supaya lebih santai.

Arthemis pun memasuki rumahnya dan berteriak memanggil neneknya. Ketika memasuki ruang tamu, terlihat dua orang pria dan satu wanita yang mengobrol dengan nenek dan kakeknya.

Kakeknya yang melihat kedatangan Arthemis tersenyum dan memintanya untu bergabung. Dan di sinilah Artemis duduk di antara nenek dan kakeknya.

"Maaf sebelumnya, ada apa ini?" tanya Arthemis sopan.

Pria yang berambut pirang tersenyum menanggapi pertanyaan Arthemis. Sebelum dia menjawab dia berdehem sebentar dan menatap mata Arthemis dalam.

"Kami datang untuk melihat persiapanmu untuk bersekolah di Immorgent Academy," ujar pria berambut pirang dengan senyum lembutnya.

Arthemis mengangguk dan menatap pria yang berambut hitam.

"Besok kau sudah harus berangkat dan akan langsung di jemput oleh beberapa senior di sana," ujar pria berambut hitam.

Suara deheman berasal dari wanita yang Artemis ketahui usianya sekitar tiga puluhan. Dia berambut coklat dengan kulit putih bersihnya.

"Ah ya, kurasa mereka lupa mengenalkan diri. Baiklah, aku akan mengenalkannya," ujar wanita tersebut tersenyum lembut, dan Arthemis hanya mengangguk.

"Perkenalkan pria yang berambut pirang itu bernama Nichole Maherzeck dan yang berambut hitam itu Devan Antonio Zaen. Dan saya, Amelda Lucrema." Wanita yang bernama Amelda itu ternyum dan memperkenalkan diri mereka.

Arthemis mengangguk dan mereka saling berjabat tangan. Mereka berbincang-bincang tentang sekolah yang akan dimasuki oleh Arthemis. Kemampuan-kemampuan murid di sana. Dari kalangan mana saja mereka berasal. Mendengarnya saja sudah membuat Artemis merasa kecil karena dia hanyalah gadis desa biasa dan kemampuannya tidak sehebat mereka.

Amelda yang melihat wajah murung Arthemis pun tersenyum. Dia tahu apa yang ada dipikiran Arthemis. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang berubah drastis.

"Arthemis. Kau tidak perlu merasa kecil, kau sama seperti mereka," ujar Amelda lembut.

"Tapi aku hanyalah gadis desa biasa, kemampuanku tak seperti mereka," ujar Arthemis sendu.

"Tidak, Arthemis. Kau itu berbeda," ujar Nichole tersenyum.

"Berbeda? Apa maksudmu?" tanya Arthemis bingung.

"Kau akan tahu jika sudah berada di sana," jawab Devan.

"Aku tidak merasa begitu," lirih Artemis.

Neneknya tersenyum dan mengelus pundak Arthemis. Tatapannya menenangkan, dia bertambah sedih mengingat harus berpisah jauh dari kakek dan neneknya.

"Kau tidak boleh sedih, sayang," ujar neneknya lembut.

"Tapi, nek," lirih Arthemis.

"Belajarlah di sana. Kami berharap padamu," ujar Neneknya memohon.

Arthemis terdiam. Dia merasa heran melihat keadaan yang menimpanya.

Kenapa neneknya memohon kepadanya?

Begitu pula ibunya. Kenapa ibunya seperti menaruh harapan kepadanya?

Kini tatapan tiga orang di hadapannya beserta kakeknya sangat mengganggu dirinya.

Sebenarnya ada apa?

Kenapa tatapan mereka seperti itu?

***

Hallo :)

Terimakasih sudah membaca :)

Semoga suka dan terhibur :)

Maaf jika ada typo :)

Jangan lupa vote dan commnetnya :)

Jangan lupa baca ceritaku sebelum ini ya yang berjudul, Queen of the Vampire dan Queen of Nature.  :)

Tbc.

Immorgent AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang