09

3.2K 642 59
                                    

Pemesanan buku (digital/ebook atau cetak) bisa dilakukan melalui pengisian form, tertera pada link   yang ada di bio


Galih memang mendapatkan beasiswa, seperti yang dikatakannya pada Ardan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Galih memang mendapatkan beasiswa, seperti yang dikatakannya pada Ardan. Beasiswa yang dimaksud ialah beasiswa untuk melanjutkan studi di sekolah sepakbola ternama milik negara, yang pendaftarannya dibantu oleh instansi tempat dirinya belajar saat ini, sehingga setelah wisuda nanti Galih akan tinggal di asrama atlet. Ardan tentu saja kaget dan bangga, mengingat kegemaran adiknya itu pada bidang sepakbola yang sangat tinggi sejak dahulu. 

Maka sebagai perayaan atas keberhasilan Galih, Ardan membawa adiknya itu ke salah satu resto fine dining untuk menyantap brunch bersama. Resto yang dimaksud adalah resto yang tidak jauh dari kantor Ardan, terletak pada pusat bisnis kota dan tempat kegemaran Stasiun Balapan – sebutan untuk lingkaran pertemanan Ardan, Galih, Ginan, dan teman-temannya – berkumpul. 

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Ardan terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Di hadapannya, Galih sedang sibuk memainkan game di ponselnya. "Lih, mas mau nanya..." 

Galih mengangguk cepat tanpa mengalihkan pandangan dari layar, namun Ardan masih betah berdiam diri. "Sok wae atuhlah," Ujarnya kemudian. 

Selama beberapa detik, Ardan mengusap dagunya dengan alis yang bertautan. Lelaki itu masih betah bersandar di punggung sofa tempatnya duduk sambil merangkai kata yang tepat di dalam pikirannya. "Kalo ada yang ngerusakin toto, kamu bakal ngapain?" 

Refleks Galih menghentikan permainannya, dan menatap Ardan dengan ekspresi tidak terimanya. Beberapa kali Ardan harus mengatakan bahwa pertanyaannya hanya sebatas pengandaian, sampai akhirnya ekspresi Galih menjadi lebih santai seperti biasanya. "Aku datengin rumahnya trus aku ajak baku hantam," Jawab Galih setelah mencari jawaban yang paling mending. "Lagian ga bakal aku biarin orang ngerusak toto. Enak aja itu kesayangan aku!" 

Ardan tertawa, lalu mengangguk cepat. Sebenarnya, tanpa diberitahu oleh Galih juga Ardan paham bagaimana sayangnya pemuda itu pada motor Vespa VBB berwarna telur asin yang ia beli di tanah kelahirannya itu. Toto, begitu nama yang diberikan oleh Galih, adalah separuh jiwa si pemuda. "Iya iya, mas tau."

Galih mencebik, lalu mematikan layar ponselnya. Ia sudah tidak ingin memainkan gamenya lagi, udah ga mood. "Kenapa emangnya, mas? Mas gamau ngeprank aku dengan ngerusakin toto kan?" Selidiknya dengan mata yang menyipit. 

"Ya, enggaklah. Males banget mas bikin kamu ngamuk, repot bujuknya." Ucapan Ardan membuat Galih tertawa puas, namun kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Ardan membuat pupilnya membesar. "Tapi mas abis ngerusakin barang orang, yang kayaknya sama berharganya kayak toto buat kamu." 

Berbeda dengan eskpektasi Ardan, daripada berteriak kaget Galih menatapnya dalam diam, membuat keduanya saling bertatapan dalam hening. Baru setelah Ardan melambaikan tangannya di depan wajah Galih, si pemuda berdeham. "Mas gila? Udah mau mati muda?" 

[1] cliché (jjh.lm)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang