Lembaran Hidup 1

42 13 0
                                    


Kota diterangi gemerlap lampu-lampu bangunan megah ciptaan manusia. Daratan yang dipenuhi gedung-gedung menjulang. Segala hal yang penuh kemewahan dan moderenisasi sudah dilahirkan di dunia sejak ratusan abad lalu. Semuanya diciptakan melalui pikiran manusia. Hal itulah yang merupakan kemampuan manusia. kemampuan yang melahirkan uang, kemewahan, kekayaan, popularitas. Lalu, adakah kemampuan yang dapat melahirhan kasih?

Di dunia modern, kasih diibaratkan seperti barang langka, manusia lupa akan kasih. Manusia sering menghindari kasih karena kasih, manusia terlihat lemah dan rapuh. Kasih disimbolkan sebagai kelemahan yang menghasilkan kehancuran, sedangkan kekuatan yang melahirkan kemenangan dan kejayaan. Adakah yang masih berpikir bahwa kasih dapat melahirkan kemenangan? Kemenangan karena kasih bukanlah kemenangan sementara, melainkan kemenangan sejati tanpa akhir. Namun bukan berarti tidak ada manusia yang diwadahi kasih di dunia ini. Banyak dari mereka yang menunjukan kasih secara terbuka, maupun yang kasihnya secara tertutup. Namun mereka yang memberikan kasihnya secara terbuka belum tentu dipenuhi kasih, mereka hanya ingin popularitas, junjungan, sanjungan, dan pujian dari banyak orang. Tapi bukan berarti mereka yang selalu menularkan kasih secara terbuka adalah manusia yang sombong. Tidak! Karena manusia bebas menyalurkan kasih melalui cara apapun. Itulah yang ada dalam pandanganku. Aku, Fernando Fatima Cauntar, pria lajang yang merindukan sukacita. Uang ialah sumber sukacita manusia. Uang selalu didewakan, uang dan kehormatan ialah gelar yang setara. Hal apapun di era moderenisasi dilandasi dengan uang. Lantas, darimanakah uang tersebut berasal? Tuhan? Yang Mahakuasa tak pernah menciptakan uang. Otak manusialah yang melahirkan ide terciptanya uang. Karena uang, manusia menjadi serakah, karena uang, manusia lupa akan nilai-nilai hidup yang sesungguhnya, nilai hidup yang diajarkan Tuhan. Dan Karena uang pula, manusia lupa untuk berbagi, mereka melupakan 'kasih'. Mereka yang memandang uang sebagai hasil jerih payah namun tidak mendewakan uang dan suka berbagi, mereka ialah manusia yang terhormat. Terhormat disini bukanlah gelar yang tinggi namun penghargaan atas kasih mereka yang mau berbagi, tanpa mau memandang uang sebagai pembatas hubungan.

Aku sangat terinspirasi oleh hidup Fransiskus dari Assisi, seorang Santo yang lahir dari keluarga kaya raya dan terpandang, namun akhirnya merendahkan diri dengan menjadi pengemis dan menyerahkan seluruh hidupnya bergabung serta melayani kaum papa yang terpinggirkan dan penyandang kusta. Aku tidak mau menyebut mereka yang berkekurangan dengan istilah 'miskin'. Karena aku sendiri begitu miskin. Miskin akan iman. Aku merindukan pencerahan. Mereka yang penuh akan kekayaan adakah mereka juga kaya akan iman? Sesungguhnya mereka yang kaya harta adalah mereka yang sangat 'miskin'. Miskin akan iman. Manusia kaya dan bersosialitas hidup tinggi ialah mereka yang hidup mengandalkan dunia. Bagi mereka, hal-hal duniawi sangat diperlukan. Uang, kemewahan, status, popularitas, kemenangan, kejayaan, barang bagus ciptaan tangan manusia yang selalu diandalkan, itulah hal duniawi yang selalu dinilai konkret di mata manusia modern. Lalu apa yang dibutuhkan kaum miskin? Makan, hidup yang layak dan damai, selalu tercukupi walaupun masih kekurangan, tinggal dalam kalangan yang damai dan cinta kasih itulah kaum miskin. Karena "kaum miskin hidup tidak mengandalkan dunia". Selain karena penampilan mereka yang menjijikkan ataupun kotor bahkan wajah mereka yang selalu mengiba, mereka juga dianggap sampah masyarakat karena dianggap merusak pemandangan kota. Mereka adalah kaum papa yang rela mengais barang rongsokan di tengah teriknya panas matahari, tanpa peduli puluhan kilometer jarak yang harus mereka tempuh.

Tak hanya itu saja, kaum papa yang lain ialah mereka yang dengan penampilannya compang-camping, tak jarang pula sering mangkal di protocol-protokol jalan raya. Ada yang nyata tidak berdaya karena tuntutan jaman, hingga menghempaskan mereka ke jalanan. Dan ada pula mereka yang bertopeng dengan memainkan peran sebaik-baiknya untuk menarik simpati anggota masyarakat yang lain. Demi tujuan yang sama, yakni sepeser rupiah yang di ulurkan oleh para simpatisan di jalanan.
Dan keadaan ini semakin diperburuk dengan ikut turunnya anak-anak maupun remaja di usia sekolah kejalanan demi tujuan yang sama, sesuap nasi. Hal ini, tak lain untuk dapat terus hidup di tengah kejamnya jaman. Padahal di kala usia yang sedini itu, adalah waktu mereka merasakan nikamatnya bangku sekolah ataupun merasakan kegembiraan tertawa bercengkrama bersama rekan sebayanya.

Aku, Fernando Fatima Cauntar merindukan kebebasan sejati yang penuh akan kasih dan rasa rendah diri. Aku selalu mengiba ketika melihat banyak orang yang berprinsip bahwa hal "merendahkan diri" adalah tindakan bodoh dan memalukan. Semakin kita merendah diri dan merendah hati di kefanaan dunia ini, semakin mulia kita di mata Tuhan. Lalu, aku selalu bertanya "siapakah aku ini?", kemudian ada suara lain yang menjawab, "tanyailah pada hatimu sendiri".

Cukup sudah renungan ku untuk malam ini. Saat ini aku duduk di atas bukit tinggi, jauh dari perkotaan. Dari sinilah aku mamandang gemerlap kota yang riang. Namun, hari esok masihkah aku dapat duduk dan merenung di tempat yang ku duduki sekarang ini?

Atas keserakahan manusia, tempat malang ini mungkin tidak lagi menyediakan tanah kosong bagi para penikmat alam dan renungan layaknya diriku. Lalu kuamati Picolo, dia bodoh karena berharap bisa menangkap kunang-kunang dengan mulutnya. Ataukah dia ingin menyapa si kunang-kunang dan mengajaknya bermain? Entahlah.

Picolo, anjing bangsa Weimaraner yang kutemukan di tempat ini. Awal pertemuan kami, Dia dengan senang hati datang padaku yang tengah merenung dalam keheningan malam. Sebelumnya aku amat terkesan dengannya, mungkin bisa dikatakan aku lah yang kini menggantikan tempatnya merenung dikeheningan malam. Tempat yang kududuki sekarang inilah tempatnya terbiasa merenung. Kadang aku berpikir jika kami memiliki kesamaan.

"Hei teman, cukup sudah acara bermainmu. Kau tidak ingin tidur kelaparan malam ini bukan? Aku belum membuat sup untuk makan malam kita, teman" dia anjing yang pintar. dia menghampiriku, lalu menunduk. Dia anjing yang istimewa. Dia tidak suka menjilati tanganku, namun dia selalu membungkuk atau tertidur agar aku mengelus bulu tipisnya.

"Anjing pintar" lalu, bersama Picolo kami berdua menapaki jalan setapak yang mengarah ke rumahku di tengah hutan.

"Anjing pintar" lalu, bersama Picolo kami berdua menapaki jalan setapak yang mengarah ke rumahku di tengah hutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mater CarissimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang