3. Mimpi

12 2 0
                                    

"OH MY GOD! KINAN! ASTAGA, HEI, BANGUN! KINAN! HEI! KINAN!"
Kurasakan tubuhku diguncang-guncangkan dan telinga pengang.

"Aaagh!!!"

Aku terbangun dari tidurku, sudah ada Dinda dengan wajah khawatirnya yang melihatku tidur tidak tenang dan nafas terengah-engah. Aku masih setengah sadar, celingak-celinguk melihat sekitar. Ternyata hari sudah pagi, dan kejadian tadi ternyata hanya mimpi.

"Buset dah, Kinan! Pagi-pagi gini udah ada kasus aja, napa sih lo!?"

"iya nih, mimpi aneh kayaknya, btw makasih udah bangunin, (walaupun cara bangunin nya gak santai)" ujarku sambil mengusap mataku.

"Makanya sebelum tidur berdoa dulu kek" tegurnya padaku.

"Eh, jam berapa ini?" Seketika aku teringat kalau ada sesuatu yang sempat aku lupa.

"Jam 9, kenapa emang?"

Sontak mataku terbelalak. Ugh, dasar Kirana bodoh, gimana ceritanya aku bisa lupa kalau hari ini adalah hari pertamaku bekerja, dan aku harus sampai di kantor jam 10. Gawat!

Tanpa banyak bicara aku segera pergi mandi dan bersiap-siap memulai hari pertama kerja, tak kuhiraukan Dinda yang cuma bisa melongo melihatku lari kesana-kemari dikejar waktu.

45 menit kemudian aku pun selesai dan siap berangkat (iya, cewe mandi nya lama). Oh, ya, mungkin sudah aku bilang kalau aku menumoang di rumah Dinda untuk menghemat biaya transportasi. Tapi, tetap saja aku harus naik sepeda milik Dinda agar bisa mempercepat waktu di perjalanan. Apalagi sekarang waktuku tinggal 15 menit lagi untuk bisa tepat waktu sampai ke kantor.

Aku pun mengayuh sepeda dengan cepat. Tapi entahlah aku tak tahu setan apa yang lewat, tiba tiba saja aku teringat mimpi aneh tadi. Apakah itu penegasan bahwa menemukan pria tepat akan dapat menghilangkan kekuatan anehku?

Jujur saja aku ingin cepat-cepat menghilangkan kekuatan anehku, karena itu mengganggu ku dalam bersosialisasi, mau tak mau aku harus menjaga jarak agar aku tak pusing melihat masa lalu mereka. Tapi di sisi lain, aku ingin menggunakan masa mudaku untuk bekerja, bukan berumahtangga. Dilema rasanya.

Aku terus berusaha sekuat tenaga mengingat ciri-ciri pria itu. Rapi, klinis, dan berkacamata. Hanya itu yang bisa kuingat. Andai saja kalau aku tau namanya....

Sepertinya pikiranku tentang hal itu membuatku tidak fokus ke jalanan, hingga aku tak melihat ada orang yang menyebrang dan....

BRAAKK!!!

Seketika aku sudah tersungkur dengan isi tas ku yang berceceran di jalan. Kepalaku masih terasa pening. Yang kurasakan ada dua tangan yang membantuku untuk duduk. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Mbak? Gak apa-apa mbak?" Kata orang tersebut.

'Syukurlah, ternyata orang itu baik baik saja, mungkin sepedaku oleng sebelum jatuh' batinku.

Aku pun mengangguk, walaupun meringis sedikit karena sikut dan lututku lecet.

"Mbak? Mau saya antar ke rumah sakit?" Suaranya begitu lembut, kedua tangannya menobang bahuku.

Langsung aku menghindar, sedikit menjaga jarak. Aku tak mau di saat seperti kekuatanku kambuh lagi. Tanpa menunggu lama aku mengambil kembali barang-barangku yang tercecer di jalanan, melihatku sibuk, dia langsung ikut membantu dengan sigap.

"Ini ya, mbak barang-barangnya, lain kali hati-hati ya, untung mbak nya gak kenapa-napa"
Ujarnya.

"Duh, makasih banget, ya udah bantuin. Saya buru-buru nih" kataku sambil membetulkan posisi sepeda yang tadinya jatuh.

Sebelum aku mulai mengayuh sepeda, sekilas kulihat wajah orang itu.

Entah kenapa wajahnya terlihat familiar...

Dia tersenyum padaku.

Dia pria.
Berpenampilan rapi dan berkacamata.

Astaga! Dia terlihat sama persis sengan apa yang kumimpikan semalam!















Don't Touch Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang