BAPAK PERKUCINGAN

20 0 0
                                    


Kalau kalian mencari orang yang menyandang predikat "penginjak tai kucing terbanyak" maka gue adalah orangnya.

Gue nggak pernah menyangka bahwa rumah gue akan menjadi tempat layanan kesejahteraan kucing. Rekor jumlah kucing peliharaan terbanyak dalam hidup gue mencapai 16 ekor. Jumlah yang cukup fantastis jika kita melihat kembali kondisi hidup gue yang buat makan sendiri aja susah, eh, ini malah masih harus ngehidupin 16 ekor kucing yang semuanya pengangguran.

Semua berawal pada tahun 2014. Gue memutuskan untuk mengadopsi 2 ekor kucing dengan tujuan biar rumah gue lebih berasa rame aja. Maklum, kami tinggal cuman bertiga. Di antara dua kucing yang gue adopsi, ada 1 kucing dari ras anggora asli, dan kucing satunya lagi merupakan anak haram dari seekor kucing anggora yang diperkosa kucing pasar.

Setelah beberapa minggu tinggal di rumah gue, tiba-tiba si kucing anggora minggat dari rumah karena dia sedang birahi. Sampai sekarang dia nggak balik lagi dengan meninggalkan 4 ekor anaknya yang belum ada 2 minggu di lahirkan. Gimana nggak biadab?

Gue merawat 4 ekor anak kucing yang ditinggal induknya itu dengan sangat hati-hati bersama seekor kucing betina aqil baliq yang bodoh stadium empat. Dan seiring berjalannya waktu, hingga sekarang mereka beranak pinak terus-menerus sampai kucing gue yang paling senior udah punya cucu dari cucunya.

Saat gue menulis bagian ini, kucing gue tinggal 6 ekor. Gue bersyukur ada banyak orang yang kurang kerjaan mau mengadopsi kucing-kucing gue yang akhlaknya pada bobrok. Kalau nggak, mungkin sekarang sudah ada sekitar 30 kucing yang siap mengkroyok gue kalau gue telat ngasih makan.

Poo, adalah kucing gue yang paling senior serta paling goblok di antara kucing yang lain. Meskipun begitu, Poo adalah salah satu kucing yang gue perbolehkan masuk ke rumah selain Koneng dan Iyenk. Poo, Koneng dan Iyenk adalah kucing-kucing istimewa yang mempunyai akses lebih di rumah gue karena akhlak dan kepribadian mereka yang bagus serta sopan.

Berbeda dengan Poo, Koneng dan Iyenk yang berdarah biru, ada lagi 3 kucing bandit yang menjadi peliharaan gue. Ketiga bandit ini nggak pernah gue perbolehkan masuk ke rumah dan gue biarkan mereka hidup di alam liar dengan jalan pilihannya masing-masing. Tapi, keberadaan mereka sering membuat tetangga-tetangga gue resah karena sering ada kasus kehilangan ikan, baik itu ikan goreng buat lauk maupun ikan hias di aquarium. Semua kejadian itu membuat gue selalu mendapat kritikan pedas karena dianggap salah dalam mendidik kucing-kucing gue.

*searching tempat kursus kucing yang bagus*

Ada saat dimana hari itu menjadi hari sial bagi Poo. Poo yang nggak pernah nyolong pun terpaksa nyolong ikan di warung Mbak Sun yang ada di dekat rumah gue. Memang dasar Poo yang kalau dikejar atau di ancam malah tengkurap, Poo terkena lemparan sapu di kakinya dengan keras dan akurat. Poo lantas berjalan pincang.

Tak lama setelah Poo kembali, Mbak Sun datang ke rumah gue dan meminta maaf serta menjelaskan semua yang telah terjadi. Sebetulnya memang bukan salah Mbak Sun. Kenapa Mbak Sun meminta maaf? Karena Mbak Sun juga seorang pecinta kucing dan dia merasa nggak tega dan tentu menyesal karena telah melukai kucing sepolos Poo. Tapi, alasannya bisa dimengerti. Begini ceritanya... ehem....

Waktu itu gue sekeluarga sedang ada keperluan ke Rembang. Kucing-kucing di rumah belum di kasih makan, sampai pada akhirnya Poo yang notabene nggak punya bakat nyolong pun terpaksa melakukan hal yang dilarang agama itu. Poo menargetkan dapur Mbak Sun sebagai tempatnya beraksi. Sayang, nasib Poo yang na'as. Poo tertangkap basah sedang mencicipi sayur nangka yang baru di angkat dari kompor belum ada setengah jam (entah kenapa lidah Poo nggak melocot).

Mbak Sun yang mendapati Poo sedang berwisata kuliner di dapurnya pun marah sambil melemparkan sapu ke arah Poo sehingga mengenai kaki depannya. Alhasil Poo kini berjalan dengan salah satu kaki depannya pincang.

Sekarang gue tinggal di Jogja, berpisah dengan keluarga dan kucing-kucing gue. tapi, di daerah dekat kontrakan gue ini merupakan pusat peradaban kucing. Populasi kucing di daerah sini hampir sepertiga dari jumlah rumah yang ada. Artinya, ada 3 kepala keluarga yang tiap hari harus berurusan dengan 1 ekor kucing yang siap menggondol lauk makannya. Kalau nggak percaya, lo datang aja di Desa Klitren Lor yang dekat-dekat RS Bethesda situ, lebih tepatnya di sebelah timur kampus UKDW.

Ukhwah sesama kucing disini pun terjalin cukup erat. Jarang gue melihat ada kucing berantem disini. Kucing-kucing hidup makmur dan berkesinambungan. Kadang gue mendapati mereka tengah leyeh-leyeh di tengah jalanan gang. Kalau lagi kangen sama kucing-kucing gue dan gue nggak punya cukup waktu libur buat pulang kampung, biasanya gue main atau ngobrol sama mereka.

"Eh, cing... lo kenal sama yang namanya Poo, nggak?"

"Meong."

"Ya, udah, nggak apa-apa, makasih."

Tapi keberadaan banyak kucing di lingkungan tempat tinggal gue ternyata tak membuat semua orang senang. Bahkan sebagian besar banyak yang membenci keras. Contohnya saja Pak Pur yang setiap hari harus menimbun tai-tai kucing yang bertebaran di depan rumahnya dengan pasir. Dia cerita waktu gue bertemu dengannya di sebuah warung dekat kontrakan gue.

"Gimana? betah di kontrakan baru, Mas?" tanya Pak Pur.

"Betah, Pak. Apalagi disini banyak kucing," jawab gue.

"Tapi saya gusar, Mas"

"Guru besar maksudnya?"

"Ndak, saya jengkel aja tiap hari harus nimbun kotoran kucing di depan rumah saya."

Perkataan Pak Pur lantas nggak membuat gue mendadak membenci kucing dan tiba-tiba nendangin kucing-kucing yang lagi asyik tiduran. Sampai suatu saat gue baru pulang dari kampus dengan berjalan kaki karena motor gue accu-nya lagi tekor.

Jalan dimana gue biasa lewat sedang ditutup karena ada pesta nikahan. Hal itu kemudian membuat gue harus mengambil jalan alternatif lewat sebuah gang kecil yang dihiasi jemuran-jemuran warga. Dan pada saat gue hampir berhasil keluar dari gang busuk itu, tiba-tiba ada seorang ibu-ibu paruh baya meneriaki gue, "Awas, ada tai kucing!!!"

Gue lantas kaget dan melihat ke bawah lalu berbalik badan. Ada empat tai kucing yang tengah berjemur di bawah sinar matahari, dan dua diantaranya sukses gue injak dengan kaki gue kanan dan kiri.

"Yaelah, udah keinjek baru bilang itu orang," batin gue.

Sejak detik itu, gue membenci semua kucing yang hidup di lingkungan kontrakan gue.

BAKABO! Bangga Karena BodohWhere stories live. Discover now