***
Tiga hari berlalu begitu saja sejak Dea menjalani hukuman dari guru fisikanya itu. kantung matanya tampak mulai menghitam. Ia mencoba memijat wajahnya yang ia rasa mulai mengkerut.
Sialan, nyebelin banget siswa satu itu. Gue jadi menua.
Pandangan Dea yang begitu sayu menelusuri ruangan kelas. Tampak begitu sunyi. Setelah beberapa menit yang lalu bel istirahat mengaum-ngaum, spontan seluruh penghuni kelas 12 IPA 1 itu langsung lari terbirit-birit ke tempat para produsen menjual makanan.
Tatapan Dea tertuju ke sudut ruang kelas. Dua anak laki-laki duduk dipojokan sambil menatap seru layar handphone mereka masing-masing. Dea cemberut mengingat hanya dia yang mengalami hal ini padahal ada begitu banyak orang yang punya banyak waktu luang dikelasnya.
“Kemarin Bu Ratna bilang ke gue, kalo lo bisa datang tepat waktu ke sekolah selama seminggu berturut-turut, lo di bebasin dari hukuman itu, De.” seru Nadia sambil merapikan buku-bukunya yang bertaburan di atas meja.
“Beneran??” tanya Dea antusias. “Tapi, gimana caranya?”
Wajah Dea berubah sedih mengingat insomnia masih bersarang dalam dirinya meski ia tidak sedang melakukan balapan itu. Matanya tak mau mengikuti aturan jam anak sekolah. Setelah menjelang subuh, barulah matanya mulai mengatup dengan sendirinya.Kadang jika ia tak menyetel alarmnya, ia akan berangkat sekolah saat sudah waktunya pulang sekolah. Dea benar-benar membutuhkan obatnya.
“Gimana apanya?” tanya Nadia bingung. “Ya tidur jangan malem-malem, lah. Trus bangun jangan siang-siang, lah.” Ucapnya memberi ide.
Dea tertegun menatap wajah Nadia.
“Kenapa?” tanya Nadia heran.
“Oke, bakal gue usahain, deh.” Ucap Dea pasrah.
Suatu kepercumaan jika Dea panjang lebar menceritakan semuanya ke gadis itu. Lagipula Nadia tak akan mengerti.
Gadis itu akan mencekcokinya begitu tahu kalau Dea terserang insomnia karena terlalu sering membiasakan mata tidur di atas jam satu dini hari, dan itu bukan karena bergadang biasa. Nadia akan memalingkan wajahnya, menganggap Dea orang tak dikenalnya, atau benar-benar melupakan dirinya. Apapun itu, Dea tak akan mau persahabatan itu hancur untuk yang kedua kalinya.
“Eh, liat tuh, De”
Dea mengikuti arah pandangan Nadia. Di luar pintu kelas seorang cowok bertubuh sedikit kurus dan berkacamata. Arga. Membongkar-bongkar keranjang sampah di depan kelas mereka.
“Mau apa tuh anak?” tanya Dea heran.
Tak lama setelahnya, muncul cewek berambut panjang, bertubuh tinggi ideal, berkulit putih, mengenakan seragam putih abu-abu berlengan pendek –yang lumayan ketat membentuk lekuk tubuhnya, dan rok abu-abu di atas lutut sehingga menunjukkan kaki jenjangnya yang mulus.
Vivi. Cewek yang dikenal Dea sebagai penggandeng peringkat pertama dikategori ‘paling’ di antara beberapa kelas duabelas. Paling cantik, paling manis dan paling sombong di sekolah itu. Anak semata wayang kepala sekolah mereka.
Gadis itu berdiri di samping Arga, wajahnya yang putih bersih tampak begitu sedih, menatap Arga yang sedang menungging-nungging membongkari isi keranjang sampah.
Setelah melihat kehadiran cewek cantik itu, Arga menoleh. Lalu cowok itu berpindah ke keranjang sampah satunya lagi. Dia kembali mengaduk-ngaduk, mengeluarkan satu persatu isi keranjang itu. Tak lama setelahnya dia mendapatkan sebuah notes kecil dan memberikan notes itu ke Vivi.
Cewek itu spontan tersenyum senang, melompat-lompat kegirangan sambil menyambar notes itu dari tangan Arga. Lalu, memeluk Arga sambil mengucapkan terimakasih beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAIT (Tunggu, Aku akan mencintaimu)
Teen Fiction[Cerita ini akan di upload setiap hari] [Namun ada beberapa bab yang di privasi] [Saya harap kalian follow atau ikuti saya agar kalian dapat membaca seluruh cerita] °°° [Terima kasiihh] °°° Nyaman itu tidak dapat terdefinisi. Terdefinisi sebagai tem...