Chapter 3 - I'm Jealous

703K 5K 5
                                    

Waktu menunjukkan tepat pukul enam pagi. Waktu yang pas bagi anak-anak manis berangkat ke sekolah, di antar oleh ayah atau ibunya, atau mungkin keduanya. Suara burung dan sejuknya udara pagi yang tadi sempat menemani, perlahan mulai pergi. Mulai tergantikan oleh bisingnya suara kendaraan dan omelan ibu-ibu yang mencoba membangunkan anak-anak dan suaminya dari alam mimpi mereka.

Irene, yang masih dipenuhi sejuta tanda tanya di kepalanya, sampai sudah selesai memakan roti selai kacangnya. Sementara Vino, masih tak urung angkat bicara. Vino Uparengga memang begitu. Terkadang suka sekali membuat orang penasaran. Suka sekali melontarkan perkataan atau pertanyaan yang mampu membuat orang lain bertanya-tanya.

Dengan sabar, Irene menunggu sendirian sembari duduk di atas sofa empuk yang warnanya sudah memudar itu. Selain menunggu untuk mengobrol dengan Vino, Irene juga sedang menunggu giliran untuk mandi. Padahal  biasanya Vino dan Irene mandi bersama. Apalagi setelah percintaan panas yang baru saja dilalui keduanya. Tapi pagi ini, entah mengapa Irene sedang tidak mood untuk mandi bersama dengan laki-laki yang begitu dicintainya itu.

Tak lama setelahnya, suara shower yang dimatikan terdengar. Itu tandanya Vino sudah selesai mandi. Meskipun seorang laki-laki, tapi Vino mandi lama sekali. Paling sebentar biasanya memakan waktu sampai dua puluh menit. Entah apa yang Vino lakukan di kamar mandi. Mungkin berkhayal atau mandi sembari bernyanyi. Entahlah, hanya Vino dan Tuhan yang tahu.

Setelahnya, Vino keluar dari dalam kamar mandinya dengan tubuh polos dan rambut yang terlihat masih basah. Hanya sebuah handuk putih yang menggantung indah di bagian pinggangnya, menutupi bagian kejantanannya yang terlihat sedikit menonjol. Kedua mata indah Irene seketika tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya. Demi Tuhan, pemandangan indah mana lagi yang akan kau lewatkan begitu saja? Bahkan sangkin terlalu sibuk memandangi Vino, yang mulai beranjak memakai baju gantinya, Irene sampai lupa kalau dirinya juga harus mandi.

Vino menyeringai nakal. "Kamu mau ngeliatin aku saja apa mau mandi juga?" tanya Vino yang sadar kalau daritadi dirinya jadi bahan tontonan Irene.

Irene langsung tersipu malu, "Aku mau mandi .." Irene menghela napas sejenak, "Tapi kamu cerita dulu ke aku apa maksud kamu pembicaraan kamu tadi pagi."

"Kamu penasaran?" goda Vino sembari menaikkan satu alisnya.

Irene tidak merespon. Mungkin sudah kesal dengan kelakuan kekasih hatinya yang terkadang suka sekali 'menantang' dan menggodanya ini. "Aku tidak suka jadi beban pikiran orang lain," jawab Irene dingin.

Setelah selesai mengenakan semua pakaiannya dan menyisir asal rambut tebalnya yang terlihat masih lembab itu, Vino beralih duduk di sofa empuk tepat di samping Irene. Setelahnya, Vino hanya terdiam, menatapi dinding apartemennya yang warnanya mulai pudar. Vino sendiri bingung harus mulai pembicaraannya darimana. 

Irene menangkupkan wajah Vino dengan satu tangannya. "Kamu kenapa, Vino?" tanya Irene dengan raut wajahnya yang mulai dipenuhi rasa kekhawatiran.

Vino menghela napas sejenak, lalu menatap Irene tajam, "Aku tidak suka kalau kamu dekat dengan Rio."

Deg. Irene langsung tertegun kaget begitu mendengar apa yang baru saja keluar dari bibir kekasih hatinya ini. Vino memang tipe cowok yang  tegas, lugas, to the point. Tipe orang yang tidak terlalu suka basa-basi.

Irene mengerutkan dahi mulusnya, "Lagi? Soal itu lagi?"

"Aku tidak punya hak untuk menentang ayah kamu. Dia mau kamu menikah sama Rio, Irene .." lirih Vino.

Dahi mulus Irene tambah mengkerut, "Tapi yang akan menikah itu kan aku, bukan ayah aku."

Vino menatap Irene serius, "Aku yakin kamu pasti tidak akan bisa menolak. Kamu tahu kan apa resikonya kalau kamu nolak pernikahan itu?"

Gairah Cinta [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang