- 2 -

328 45 4
                                    


You were standing in front of me by accident
It was like a ray of light for me
Nobody would come see
The dark sky of mine
You became a little star
And lighted it up brightly


Park Jinyoung, menatap kosong papan tulis hitam di hadapannya. Ah, tidak. Dia sedang melamun. Tidak sedang menatap apapun. Kelas baru saja usai sepuluh menit yang lalu. Ruangan ini sudah kosong. Hanya tinggal pria berseragam SHS itu yang ada di dalamnya.

Tidak seperti siswa lain yang memilih untuk bergegas meninggalkan ruang kelas setelah jam pelajaran usai. Jinyoung justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk termenung. Duduk di mejanya—yang terletak di dekat jendela—sembari bersandar di dinding. Kadang melamun, namun kadang juga menatap kosong ke luar jendela. Kegiatan tak bermanfaat itu sudah menjadi kebiasaan baginya.

Pria dengan marga Park itu bahkan jarang sekali terlihat mengobrol dengan orang-orang di sekitarnya. Bahkan bisa dibilang, ia sama sekali tidak punya teman sejak dulu—kecuali mendiang ayah dan ibunya.

Sebenarnya, Jinyoung masih memiliki seorang kakek. Dia orang yang hangat. Sangat menyayagi Jinyoung. Tetapi semenjak kematian kedua orang tuanya, perilaku kakek berubah. Pria tua itu mulai bersikap dingin padanya. Dia selalu menyalahkan Jinyoung atas kematian anak—ayahnya—dan menantu tersayangnya. Yah, tidak dapat dipungkiri bahwa panggilan yang dilakukan Jinyoung malam itu, merupakan salah satu penyebab kecelakaan besar orang tuanya.

Kondisi jalanan yang licin, ditambah dengan panggilan dari Jinyoung yang membuat fokus ayahnya—sedang mengemudi—teralih. Hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi. Melayang lah nyawa kedua orang tuanya.

Kakek membencinya sejak hari itu, ia menganggap Jinyoung sebagai pembawa kesialan—terlalu berlebihan, mengingat Jinyoung saat itu hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Pria tua yang awalnya tinggal bersama dengannya di rumah orang tua Jinyoung, memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Jinyoung ditinggalkan bersama sang paman—putra angkat kakeknya—yang bahkan tidak pernah berada di rumah. Ia selalu sibuk bekerja, membiarkan Jinyoung berada dalam asuhan pembantu rumah tangga.

Dan beginilah hasilnya. Ia membangun tembok yang begitu tinggi. Membatasi hubungan sosialnya dengan orang-orang. Menutup dirinya dari lingkungan. Hingga pada suatu ketika, rumor nya sebagai anak pembawa sial terkuak. Entah siapa yang menyebarkan masa lalu menyedihkan miliknya itu. Cerita yang awalnya hanya cerita sederhana tentang kecelakaan orang tuanya, berubah menjadi cerita kompleks yang telah dibumbui oleh berbagai fitnah dan kebohongan. Seakan memperburuk keadaannya. Ia semakin dijauhi. Oleh siapapun. Ya, sampai cerita lama itu. Ketika sang ibu hampir saja meregang nyawa saat melahirkan nya. Itu bahkan menjadi bahan hinaan.

Dibully, dicibir, ia sudah terbiasa akan hal itu. Pada saat pertama-tama kali mengalami nya, Jinyoung selalu menangis. Tapi sekarang, air matanya seakan telah mengering sendiri.

Kehidupan menyedihkan itu, sudah biasa ia alami.

_____

"Park Jinyoung! Kenapa kau hanya menuliskan namamu sendiri huh?!" Seorang siswa pria menarik kasar kerah kemeja Jinyoung.

Jinyoung melirik sekilas pria dengan name tag Ahn Heejin itu, kemudian berucap singkat, "karena hanya aku yang mengerjakan nya."

"Sialan! Pantas saja kau dijuluki pembawa sial!" Heejin membanting tubuh Jinyoung. Membuat pria Park itu menubruk lantai keras di bawahnya. Ia meringis ketika merasakan Heejin memukulinya secara bertubi-tubi. Membuat beberapa orang siswa mengelilingi mereka. Ini sudah sore, para guru pasti sudah tidak ada di sekolah. Hanya tinggal beberapa orang siswa yang masih ada di sana.

"Hei kalian, kapan-kapan jangan mau membentuk kelompok dengan si tengik ini, dia tidak akan mencantumkan nama kalian sebagai kelompok dan hanya ingin mendapatkan nilai untuk dirinya sendiri! Dasar anak pembawa sial!" Nah, itu buktinya. Cerita yang awalnya sederhana, sudah tercampur dengan kebohongan. Bukan Jinyoung tak ingin menulis nama Heejin. Tetapi pria itu bahkan sama sekali tidak ikut menyumbangkan tenaganya untuk menyelesaikan tugas.

Sedetik setelahnya, seruan keras terdengar di koridor itu. Beberapa anak bahkan bersedia merepotkan dirinya sendiri untuk mengambil air dari toilet lalu menyiramkan benda cair itu kepada Jinyoung. Hei, tolong ingatkan pada mereka bahwa ini adalah bulan Februari. Artinya, masih musim dingin!

Park Jinyoung menggigil. Merasakan benda cair bersuhu rendah itu merembes melalui celah-celah pakaiannya. Tak guna juga dia melawan. Dilihat dari jumlah, mereka menang telak. Jadi, pria Park itu hanya bisa menunduk. Hingga mereka semua pergi. Ia merasa sangat kedinginan. Bahkan seperti tidak mampu berdiri lagi. Kembali ia menundukkan kepalanya. Merasakan matanya mulai memanas. Malam pada kehidupan nya kian menggelap. Badai petir seakan datang tiba-tiba.

Ketika air itu mulai bergerak, mengalir melewati pipinya. Ia melihat sebuah tangan kecil terulur. Mau tak mau membuatnya mendongak. Menatap siapa pemilik tangan kecil itu.

Seorang gadis cantik dengan surai hitam legam panjangnya tersenyum. Terasa begitu meneduhkan untuknya. Ini pertama kali, ia mendapat kan senyum lembut seperti itu setelah sekian lama—terakhir kali melihat senyum wanita itu senyum ibunya.

"Kau baik-baik saja?" Gadis itu berucap lirih.

"Ini, genggam tanganku," Lanjutnya.

Entah kenapa, kehidupannya yang semula bagai malam penuh badai petir mendadak digantikan oleh terbitnya sebuah bintang paling terang di langit, menyinari langit malam. Ya, ini aneh. Tapi, bisakah ia menganggapnya sebuah keajaiban yang Tuhan berikan?

__________

MiRACLE [Jinyoung X Suzy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang