My heart, that no one looked for
My room, where lights didn’t work
Dust piled and my dreams were covered up with it
Now I’m awake as I met you
They’re becoming a reality
It’s a miracle
The moment you appeared before meKejadian tempo hari itu sukses membuat hubungan antara Jinyoung dan juga Suzy menjadi lebih dekat. Yah, Park Jinyoung menjadi lebih lepas daripada sebelumnya. Seperti saat ini, dia membawa Suzy ke rumahnya. Padahal sebelum ini, dia tidak pernah mengajak siapapun untuk mengunjungi rumah milik mendiang orang tua nya itu.
Suzy duduk tepat di depan perapian. Mencoba menghangatkan diri karena cuaca di luar begitu dingin. Sementara itu, Jinyoung datang dengan dua buah cangkir berisi macchiato di tangannya.
"Ini, minumlah," Ucap pria Park itu. Menyodorkan minuman kepada Suzy, kemudian duduk di samping gadis tersebut.
"Gomawo," Balas Suzy setelah cangkir itu berada di dalam genggaman nya.
"Kau tidak pernah kedatangan tamu sebelumnya ya?" Suzy bertanya. Sembari menyesap ringan minuman yang ada di tangannya.
Jinyoung menggeleng, meletakan cangkir, "tidak setelah kedua orang tuaku meninggal. Kenapa?"
"Tidak apa-apa kok."
"Mau berkeliling?"
Suzy mengerutkan keningnya, "eh?"
"Iya ayo, tidak ada orang lain selain kita di rumah."
Pada akhirnya gadis itu menurut saja, tak kala Jinyoung meraih tangannya. Kemudian mengajaknya mengelilingi rumah yang cukup besar itu.
_____
Suzy menyipitkan matanya ketika melihat sebuah ruangan kecil yang ada di kamar Jinyoung. Gadis itu melangkah pelan, mengangkat salah satu tangannya untuk menyalakan sakelar lampu di sebelah pintu yang terbuka. Membuat ruangan kecil tersebut—semula gelap—mendapat penerangan.
Ditatap nya sekeliling. Ia mendapati berbagai macam lukisan yang tertempel di dinding. Ada juga alat-alat melukis seperti kanvas, kuas, palet dan cat air yang sudah mengering—terlihat sedikit berantakan. Ah, ruangan ini terlihat seperti galeri seni atau bisa juga ruang penyimpanan. Pikir Suzy.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara khas milik Jinyoung sukses membuat Suzy terkejut. Ia berbalik lalu memandang pria Park itu dengan senyuman canggung. Bagaimana tidak? Ini termasuk tindakan lancang tahu.
"Ah, itu. Maaf," Suzy hanya dapat mengucapkan tiga kata itu sebelum diakhiri dengan acara menundukkan kepala.
"Kenapa kau minta maaf? Memang kau berbuat kesalahan?" Jalan pikiran Jinyoung memang susah sekali ditebak.
"Maaf, aku lancang."
"Tidak apa, tenang saja. Lagipula tak ada rahasia apapun di ruangan itu."
Gadis bermarga Bae itu mendongak dengan semangat. Setelah itu tersenyum lebar. Ia berjalan mendekati Jinyoung. Menunjukan wajah dengan beribu tanda tanya.
"Kau suka melukis ya?"
"Ya, dulu."
Bae Suzy meraih tangan Jinyoung. Menarik pria itu untuk mengikuti langkahnya. Kembali ke ruangan kecil penuh lukisan tadi. Sesampainya di sana, Suzy meraih salah satu lukisan—pemandangan hutan penuh pepohonan putih karena tertutup oleh salju. Lalu menunjukkan nya pada Jinyoung.
"Kau yang melukis ini?"
Park Jinyoung mengangguk.
"Wah, kau pandai sekali melukis Jinyoungie. Tapi kenapa kau tidak ikut ekstrakurikuler melukis? Ah, kau bahkan memilih untuk tidak mengikuti ekstrakurikuler apapun. Sayang tahu," Suzy berbicara sembari mengerucut kan bibirnya.
"Aku memang suka, tapi itu dulu. Kedua orang tuaku lah yang membuatku senang sekali melukis. Tapi sekarang tidak ada lagi alasan bagiku untuk melukis kembali."
"Karena lukisan ku itu yang membuat ayah dan ibu pergi pada malam Natal. Mereka ingin memajang lukisannya di galeri seni musim dingin. Jika saja aku tidak melukis, mereka pasti tidak akan pergi kan?" Pria di hadapan Suzy itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah pertanyaan.
Suzy menghembuskan nafas pelan. Kemudian memaksakan sebuah senyuman tipis pada bibirnya.
"Mereka pergi, itu bukan kesalahan mu. Itu semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan, Jinyoungie. Kenapa kau harus menghukum dirimu sendiri dan membuang semua impianmu?"
"Kenapa? Karena mereka segalanya bagiku. Dan mereka pergi karena aku. Bukankah itu sama saja kesalahan ku?"
Sebelah tangan Suzy terangkat. Menepuk lembut pundak Jinyoung.
"Jika mereka segalanya bagimu, maka tunjukan pada mereka bahwa kau itu kuat. Kau memiliki impian dan akan menggapainya. Tunjukan pada orang tuamu di sana, bahwa putra mereka itu pantas untuk mendapatkan kebanggaan dan dihormati oleh banyak orang," Gadis itu menampilkan senyum beserta eye smile miliknya. Membuat si lawan bicara mau tak mau ikut mengulum sebuah senyuman.
"Kalau begitu, apakah menurutmu aku mampu?"
Suzy mengangguk yakin.
"Dengan semua hinaan dan kebencian itu?"
"Hinaan dan kebencian, bukankah itu yang membuatmu menjadi semakin kuat?"
Ya, itu benar.
"Terimakasih, terimakasih banyak, caramel macchiato."
Park Jinyoung menarik tubuh Suzy ke dalam pelukannya. Berhasil membuat si gadis menegang di tempat. Ini pertama kali, seorang pria asing memeluknya—dan ia membalas pelukan itu.
Caramel Macchiato, itu terdengar manis.
__________
KAMU SEDANG MEMBACA
MiRACLE [Jinyoung X Suzy]
FanfictionAt the end of the winter I met you who became my spring Oh miracle, for me, meeting you was such a miracle Ever since you came This winter's not cold as it used to be anymore Because I have you Who is looking at me ~ MiRACLE by Got7🎶🎵 Song Fictio...