"Oh, wow. What do we have here?" Ruby bertanya dengan baseball bat metalnya terpangku di bahu kecilnya, melihat kearah anggota-anggota dari gang rival yang langsung memandangnya waspada.
Anggota gang tersebut langsung mengeluarkan senjatanya dari saku mereka masing-masing, membidiknya kearah Ruby secara bersamaan. Gadis itu hanya tersenyum licik sembari menempatkan telunjuknya di depan mulut dan hidungnya; menyuruh mereka diam.
Para lelaki agak sedikit terpana begitu mereka melihat gadis dengan rambut ikal itu tersenyum, tetapi mendadak berubah begitu Ruby menusukkan ujung tumpul dari baseball bat-nya kearah pria yang paling dekat dengannya, membuat pria tersebut terhuyung sambil memegang perutnya. Suara tembakkan beruntun pun tidak dapat dihentikkan.
"CAN ONE OF YOU FUCKING HELP ME?!" teriak Ruby lewat earpiece-nya di tengah-tengah tembakkan. Gadis itu merunduk sambil menembak buta siapapun yang ada di dekatnya.
"On my way." Itu Chan. Dan Ruby langsung menghela napas lega sebentar tetapi dengan cepat tercekat begitu ia merasakkan seseorang menjambaknya. Siku kecil namun kuatnya langsung menghantam wajah siapapun yang berani menarik rambutnya.
Begitu orang di belakangnya jatuh, si cantik langsung bangun dan merebut bom yang baru setengah terakit diatas meja, sekilas mendecih karena menurutnya Jisung bisa lebih terampil dan efisien dalam merakit bom seperti itu.
Tanpa takut ia salah pegang atau malah membuat bomnya aktif, ia segera berlari kearah pintu tanpa mempedulikan beberapa pria yang masih berusaha membunuhnya.
"Mau kemana, sayang?" tanya seorang dari mereka menghadang pintu. Ruby tahu siapa yang berbicara, itu adalah Juyeon Lee, adik dari seorang Sangyeon Lee yang berhasil Ruby matikan dalam sekali pukul di misi yang lalu. Jelas gadis itu tahu kalau orang di depannya ini masih tidak terima dengan kematian kakaknya.
Tetapi bukan Ruby namanya jika ia merasa terancam, gadis itu hanya tersenyum cantik namun terlihat psikotik seperti biasa, membuat pemuda di depannya tergelak. "Always with that crazy pretty smile of yours."
"Yeah, dan gue nggak butuh pep-talk lo. Minggir." tanpa lama Ruby menarik pelatuk Glock 20 andalannya dan meledakkannya di otak Juyeon yang bahkan tak berpikir sampai kesana. Pemuda itu otomatis terjatuh dengan darah merembes dari dahinya.
Ruby menendang kepala Juyeon yang sudah tak bernyawa itu sekilas, "Always with that impetuous thinking of yours."
"Rubs, we're outside." kata Chan lewat earpiece-nya. Gadis itu langsung meniupkan helai rambutnya yang menutupi wajahnya, melangkahi tubuh Juyeon sambil sempat-sempatnya menginjak punggung pemuda itu. Begitu ia sudah keluar dari ruangan, gadis itu teringat kalau masih ada beberapa anggota muda gang rival tersebut yang masih terdiam akan kemangkatan Juyeon.
Dikeluarkannya granat tangan dari sakunya, dan setelah ia melepas pemacunya, dengan tanpa dosa Ruby melemparkan granat tersebut kembali ke dalam ruangan, dan melindungi diri di balik dinding dari ledakannya.
"Yes!" serunya begitu melihat beberapa percikan darah keluar dari ruangan itu, entah kenapa melihat darah membuat adrenalinnya semakin terpacu. Ruby langsung berlari kearah jendela, memecahkan kacanya dengan pistolnya, baseball bat di punggungnya, dan bom yang masih bertengger manis di tangannya. Si cantik tanpa takut melompat kebawah dan beberapa balkon beton sebelum akhirnya mendarat di tanah.
Tetapi lagi-lagi si cantik merasakkan metal dingin yang menempel di belakang kepalanya, dan tanpa rasa ngeri ia malah tertawa.
"Not so fast, Ruby Hwang." sebuah suara berhasil membekukan gadis itu. Lewat earpiece-nya, Chan dan Seungmin sudah saling bersahutan memanggil Ruby. Kedua mata kucingnya bergerak panik, dalam pikirannya beribu-ribu pertanyaan dan kemungkinan menjawab pertanyaan bagaimana orang itu berhasil menemukannya.
"You still have the baseball bat I gave you that Christmas, that's very sweet."
"Why are you here?" tanya Ruby tidak mengindahkan satupun kata-kata yang keluar dari mulut pria itu. Ujung metal pistol yang dipegang pria tersebut masih menempel di belakang kepalanya, persis seperti yang pria itu lakukan pada adik lelakinya dulu.
Kasihan, pantas saja adiknya itu tidak ingat apa-apa gara-gara traumanya. Bahkan dengan kakak perempuannya sekalipun.
Ruby bisa merasakkan pria paruh baya di belakangnya tersenyum, senyum menawan yang berhasil diturunkan ke Ruby dan adiknya⏤namun sama-sama psikotik. "Did you find your brother yet?"
Si cantik masih mematung dan tidak memedulikan namanya yang bolak-balik diserukan lewat earpiece. Namun jari-jarinya berusaha mengaitkan kawat dan kabel bom yang masih dipegangnya, otaknya berusaha mengingat-ingat ajaran Jisung tempo hari.
Begitu dirasa sudah mantap, dengan perlahan Ruby menggerakan kepalanya untuk menoleh kearah pria yang ia harap dalam hati masih pantas dipanggil ayah. Kedua matanya bertemu dengan sepasang yang mirip dengannya, masih dengan seringai yang sama.
"You're getting prettier than the last time I saw you."
Ruby tertawa, "Yeah, you'd be surprised at how my brother grow too." dijatuhkannya bom yang ia pegang ke tanah, seakan-akan menyerah. "He looks exactly just like you."
"Put down the gun, dad." suara gadis itu dibuat sepelan mungkin, kepalanya ditundukkan, pikirannya berdebat kapan seharusnya ia menekan tombol bom yang tersembunyi di kepalan tangannya itu. Bom itu mampu membakar habis mobil-mobil bekas di sekitar mereka, dan Ruby bisa saja hancur lebur saat itu juga.
Pria tersebut tidak menjawab apa-apa, "It seems like you're not tired of aiming your gun towards my head." Ruby mengeluarkan pistolnya dari saku jaket kulitnya, dan ayahnya itu langsung mengokang pistolnya, bersiap untuk menarik pelatuknya.
Si cantik tersenyum heran, ayahnya itu pasti lupa kalau anaknya ini paling diandalkan dalam urusan menjadi cepat. Tepat setelah pria didepannya menarik pelatuknya, Ruby juga menembakkan Glock 20 yang pelurunya langsung menghunus dada ayahnya itu.
Sementara peluru dari pistol ayahnya berhasil mengenai lengan kirinya.
Ayahnya pun tergeletak tak bernyawa di depannya, sementara itu Ruby hanya terhuyung ke belakang dengan rasa sakit di lengannya yang mulai menjalar.
"RUBY WHERE THE FUCK ARE YOU?! AND WHY AM I HEARING A GUNSHOT?" teriak Chan, dan kali ini gadis itu mulai fokus mendengarkan earpiece-nya lagi. Ruby segera bangun dari posisinya, tidak berniat melihat kearah mayat ayahnya untuk yang terakhir kali. Si cantik melepaskan jaket kulitnya dan membuangnya kasar untuk menutupi wajah menawan milik ayahnya itu, lalu berlari.
Chan yang melihat Ruby berlari dari kejauhan langsung memajukan mobilnya kearah gadis itu. Ruby membuka pintu mobil kasar dan langsung menutupnya keras, menyadari Hyunjin yang duduk di sebelah Chan.
"Lo ketembak?!" Hyunjin histeris. Dan Ruby hanya mendesis, dan menekan tombol pengaktifan bom yang masih ada di tangannya, membuat ledakan besar langsung terdengar tidak jauh dari posisi mereka.
Setelah ledakan tersebut, Chan langsung menginjak gasnya lagi, membawa mereka semua kabur dari situ sambil menyumpah serapahi orang yang menembak Ruby; walaupun ia tahu betul siapapun orang tersebut pasti sudah musnah. Sementara Ruby mencondongkan tubuhnya kearah Hyunjin, membisikan sesuatu ke telinganya.
"Don't worry, he's dead now..."
Ruby tersenyum penuh rasa menang, "...brother."
Dan Hyunjin yang terkejut dengan potongan-potongan memori yang tiba-tiba menyeruak ke dalam otaknya, kemudian mengembangkan senyumnya, sama psikotiknya seperti gadis yang duduk di kursi belakang.
Ruby Hwang.
🌚🌚🌚🌚
Hi! You guys might realize that there's always one member who become the main focus in every chapter, and congratulations for reaching the end of them! So I was kinda inspired from Harley Quinn's personality that's why I tried to apply it in Ruby's traits (crazy but intelligent DUH THE COMBINATION) Also yeah if you paid close enough in Hyunjin & Ruby's advanced profile, there are some similarities, which makes them siblings 👀
Anyways, I should really get my lazy ass off and get this book some gangster-violence-shooting-pew pew a little storyline again before its finally done!
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOLIGANS.
Fanfictionwe don't deal with outsiders very well. © 2019 charliesletter