"Lavana, kamu pasti bisa!"
"Nak, kamu pasti bisa, Ibu yakin!"
"Anak Ibu kan udah besar sekarang."
Sedari tadi tak henti-hentinya Lina memberi semangat pada anak perempuannya. Anak yang berbeda, namun sangat istimewa. Ia tidak autis, apalagi memiliki gangguan kejiwaan. Gadis itu hanya memiliki trauma pada kekerasan. Semua ini berawal saat ayahnya kerap kali memukul ibunya. Saat dimana keluarganya hancur.
"Hai adek, seneng kan udah balik ke Jakarta lagi?" tanya Jerry seceria mungkin. Meski kalau jujur, Jerry sangat sesak melihat adiknya seperti saat ini.
Lavana mengerlingkan badannya, ia menatap kedua orang yang usianya lebih tua darinya. Mata Lavana memerhatikan setiap sudut wajah dua orang itu dengan intens. Ia terus mengamati, hingga kepalanya miring-miring dan matanya menyipit.
Jerry tersenyum simpul, "Kakak ganteng, ya?" Lavana langsung membalas dengan anggukan cepat.
Hari ini, Lavana akan bersekolah di SMA umum. Sebelumnya, ia disekolahkan di sekolah khusus. Meski fisiknya terlihat baik-baik saja, tapi mentalnya sedikit terganggu. Namun perlu digaris bawahi, ia tidak gila, ia masih waras. Hanya saja butuh terapi khusus.
"Kakak kuliah?"
"Iya, kakak kuliah."
"Gak boleh, pokoknya Kakak harus dirumah sama adek!"
Jerry menggeleng, "Nggak sayang, adek harus sekolah di sekolah baru, ya."
"Lavana gak suka Kak, mereka jahat"
"Nggak. Mereka baik."
Lina hanya bisa menatap anaknya dengan tangis. Ia merasa ini salahnya karena sudah membiarkan mantan suaminya yang tidak tahu diri itu memukulinya didepan anak-anak. Meski kejadian itu sudah berlalu 10 tahun yang lalu tapi masih membekas begitu saja di hati.
"Lav," panggil Lina sembari menghapus sisa air matanya.
"Lavana pakai baju ini dulu. Ini namanya seragam putih abu-abu," lanjutnya.
Lavana mengamati seragam itu lalu 5 detik kemudian ia meraihnya.
"Harus banget, ya?"
Lina mengangguk.
"Bajunya jelek, pendek," Lavana melihat tubuhnya yang sudah ia kenakan seragam putih abu-abu.
"Gak dek, emang begini. Cantik banget kamu"
Gadis berambut panjang diikat itu hanya bisa diam. Sesekali melihat baju seragamnya. Ia masih merasa aneh dengan ini. Dalam hatinya juga ia sedang memikirkan bagaimana jika nanti teman-temannya jahat? Di tambah dia tidak biasa bergaul.
"Nih, bukunya udah Kakak siapin di tas. Nanti kalau ada apa-apa telpon aja, ya! Hp-mu ada di dalam tas," kata Jerry.
Lavana meraih ranselnya yang berwarna hitam. Ia gendong dipundaknya.
"Udah jam setengah 7 nih, yuk berangkat!"
Lina, Lavana dan Jerry bergegas menaiki mobil Alphard yang terparkir manis di garasi rumah. Lavana sempat berdiam di depan pintu, badannya terasa kaku, kakinya terasa sulit untuk melangkah. Dia tidak sakit, hanya jiwanya menolak kenyataan ini, kenyataan bahwa ia harus sekolah di tempat umum. Terakhir ia bersekolah di sekolah umum, dirinya di caci dan di maki.
Akankah terulang kembali?
"Lavana!" teriak Jerry dari dalam mobil. Gadis itu mengangkat dagunya, tanda bertanya, "Ayo!" kata Jerry, lagi.
Lavana berjalan ke arah mobil yang didalamnya ada Kakak beserta Ibunya. Dua orang yang ia miliki saat ini, dua orang yang sangat Lavana sayangi dan menyayangi Lavana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Universal
Ficção Adolescente"Jangan menyimpulkan bahwa aku bisu" - Lavana. Trauma di masa lalu membuat gadis belia itu sulit untuk berinteraksi. Jarang berbicara, hanya menggunakan bahasa tubuh, persis orang gagu. Menyiratkan semua perasaannya melalui tulisan, tanpa tahu bagai...