Suara riuh di sekitar membuat fokusku kembali berpijak. Semua staf divisi marketing sedang sibuk membahas strategi baru tentang pemasaran produk.
Aku hanya memperhatikan dari kubikel. Orang-orang yang sedang membuat lingkaran di meja Mas Andi sibuk mengeluarkan pendapat.
Harusnya masalah ini dibahas saat meeting. Tapi rata-rata anggota dari divisi kami selalu mendiskusikannya lebih dulu. Membuat keputusan yang tepat, baru membahasnya dengan Pak Rizal.
Pandanganku teralih ke depan, deretan angka menjadi pemandangan sedari tadi. Membuat mata bosan dan ingin cepat-cepat keluar dari ruangan.
Sayang sekali, waktu usai jam kerja masih lama.
"Van, Van." Dari arah samping Dinda memanggil.
Aku menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. "Apa?"
"Pulang nanti, ke Starbuck kuy?"
"Gue gak bisa. Kapan-kapan aja ya?"
"Lo mah tiap kali gue ajak jalan pasti jawabannya itu mulu." Dinda mencebik kesal.
"Ya maaf," Dinda melengos. Wajar jika ia marah. Ini adalah penolakan kesekian kalinya setiap kali dia mengajak pergi.
Pergi hang out tidak ada di dalam daftar agenda hidupku beberapa tahun terakhir ini. Setelah orang tua ku meninggal 2 tahun silam. Aku harus bisa mengatur pengeluaran untuk bertahan hidup.
Hang out hanya akan kulakukan saat keuangan membaik dan perasaan sedang di rundung penat.
Jika sedang penat, tapi kondisi keuangan sedang tidak stabil, sebisa mungkin aku akan mencari alternatif lain untuk membuat semangat mencari nafkah kembali berkobar.
Entah dengan meneliti dengan seksama keadaan rumah, atau keadaan Devano yang harus bekerja untuk menambal kekurangan penghasilan.
Tiga jam sudah berlalu, laporan rekap data penjualan sudah selesai ku susun. Mata menjelajah setiap sudut ruangan. Beberapa orang sedang sibuk membereskan peralatan di meja, beberapa lagi sedang sibuk mengerjakan laporan di depan komputer.
Ini sudah waktunya jam pulang kerja, aku segera memasukan kotak bekal, handphone, dan dompet ke dalam tas.
Setelah duduk sekian lama, akhirnya aku bisa merenggangkan badan.
"Semuanya, gue pulang duluan ya. Dadah,"
Aku segera melangkah keluar.
Bekerja sebagai staf marketing bukan hal yang mudah. Kami diharuskan mencapai target yang sudah di tentukan setiap bulan. Menyusun strategi baru jika strategi lama tak memiliki fungsi yang menjanjikan. Kadang kala, kami harus turun langsung ke pasar, memperhatikan setiap kebutuhan masyarakat, lalu mulai menyusun strategi pendekatan.
Meski lelah lebih sering mendera, tapi gaji yang di terima saat pencapaian setiap bulan tercapai bahkan melebihi ekspektasi membuat semua lelah terbayar.
Saat kaki sudah menapaki luar gedung kantor, kulihat Cuaca sore ini mendung. Awan hitam hampir menggumpal sempurna. Warna langit sudah berubah sepenuhnya. Perkiraan ku sebentar lagi akan turun hujan.
Hari ini aku sedang tak membawa motor, karena hari ini adalah bagian Devano membawa motor. Dengan mempercepat langkah, mata mencari dimana keberadaan angkot.
Menaiki taksi, meski nyaman tak akan ku lakukan untuk kali ini. Karena kondisi keuangan sedang tidak baik. Biaya kuliah Devano pun belum sepenuhnya terpenuhi dengan benar.
Awan sudah menggumpal sempurna, saat aku sudah memasuki angkot. Berbagai macam aroma menjadi teman perjalanan.
Dengan sekali sentakan, aku menduduki kursi tepat di belakang. Air hujan mulai turun membasahi bumi. Suara air yang berjatuhan membantu menghilangkan penat.
Konon katanya, saat hujan seperti ini adalah saat-saat terbaik untuk berdoa, karena saat hujan, pintu dikabulkannya doa sedang dibuka lebar-lebar.
Aku mempercayainya. Dengan mata memandang air yang berjatuhan, mata mulai terpejam, hati mulai menyebutkan beberapa keinginan yang ingin aku raih.
*****
"Devano!"
Saat memasuki rumah, hal pertama yang ku dapati adalah keheningan. Dimana Devano? Melihat arloji di pergelangan tangan, sudah seharusnya Devano ada di dalam rumah.
Dengan tubuh yang sedikit basah, aku memasuki rumah. Biasanya, saat seusai berpergian, atau berkegiatan, saat sudah sampai dirumah, sapaan hangat Mama yang menyapa paling pertama. Menjadi wartawan dadakan yang menanyai dengan detail kegiatan apa saja yang putra-putrinya lakukan.
Setelah dua tahun berlalu, kenangan masa lalu itu masih sering menghantui saat memasuki rumah. Rasa rindu langsung menerpa. Menghantamku pada ingatan-ingatan lama.
Tapi bergalau ria dengan kerinduan, tak akan menghasilkan apa-apa. Doa adalah hal yang sangat di butuhkan untuk orang tuaku.
Menengok arloji di dinding, membuat pikiran ku tersadar.
Kemana perginya Devano? Apakah sedang ada kegiatan organisasi kampus? Bocah satu itu emang kalo lagi ada kegiatan suka gak bilang-bilang.
Aku memilih mandi dan berganti pakaian terlebih dahulu. Daripada mikirin Devano, bikin puyeng iya, manusianya nongol, juga tidak.
****
"Devano, lagi dimana kamu?" Sapaku langsung saat panggilan ku yang kesekian baru di jawab.
"Lagi dirumah temen Kak,"
Aku mendengus. Kebiasaan buruk Devano ini memang sudah mendarah daging. "Kalo mau kemana-mana bisa kan ijin dulu biar Kakak gak khawatir?"
"Iya Kak. Maaf deh,"
"Hmm," aku menghela nafas. "Pulang sekarang Dek, udah malem." Tanpa mendengar respon dari Devano aku langsung mematikan telfon.
Setalah masuk kuliah, kegiatan Devano kian bertambah. Pergaulannya kian luas. Waktu untuk quality time denganku pun, dalam seminggu jarang sekali bisa terjadi.
Kami sama-sama sibuk. Devano sibuk kuliah, berorganisasi, dan kerja. Sedang aku, sibuk mencari nafkah.
Rasa khawatir kadang menerpa, kecemasan luar biasa terkadang datang tidak terkontrol saat menyadari bahwa Devano sudah bukan anak kecil lagi. Adikku sudah beranjak dewasa. Sudah bisa menghasilkan uang dari jerih payahnya sendiri
Pergaulannya pun tak bisa lagi aku batasi seperti dulu saat SMA.
Yang bisa kulakukan untuk mengurangi kecemasan hanyalah berdoa, mencoba memberi batasan-batasan yang harus Devano patuhi tanpa merasa di kekang dan di gurui.
Suara pintu terbuka, membuat mataku teralih.
"Assalamualaikum," ujar Devano. Aku meneliti keadaannya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, semuanya basah.
"Waalaikumsallam. Kok bajunya basah? Kan ujannya udah berhenti."
"Vano keujanan dari rumah temen Kak."
Aku segera berdiri. Mengambilkan handuk kering lalu menyodorkannya pada Devano."Mandi pake air anget sana. Biar gak demam. Lain kali kalo mau pulang telat, atau mau kemana, kabarin Kakak. Biar Kakak gak khawatir."
Devano mengangguk. Aku sudah cukup puas dengan responnya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
ChickLitVania tak pernah menyangka, mimpi yang dulu ia simpan rapat-rapat, mendadak dalam sekejap berubah menjadi kenyataan yang sulit Vania percayai. Hidupnya berubah dalam sekejap. Kebahagiaan yang dulu terasa sangat sulit di gapai, sekarang terasa mudah...