Helaan nafas menghiasi sudut kamar sedari tadi. Ini adalah hari Minggu. Dengan begitu, ini artinya, mau tak mau, aku harus datang pada acara keluarga yang rutin di lakukan setiap hari Minggu.
Mata memperhatikan penampilan dengan seksama. Tak ada yang kurang, semuanya oke, terkecuali kantung mata yang benar-benar sulit di sembunyikan bahkan oleh make up sekalipun.
"Devano!" Panggilku saat sudah berada di luar kamar.
Beberapa detik menunggu, Devano tak kunjung menjawab. "Devano!!" Panggilku lebih kencang.
Baru setelahnya, Devano keluar. Pakaiannya hari ini terlihat sederhana. Hanya celana jeans, dan kaos yang di padukan dengan jaket.
"Udah siap?" Tanyaku. Mataku meneliti penampilannya. Dari atas ke bawah ku pandangi dengan seksama.
"Udah Kak, yok berangkat." Jawabnya lesu. Aku mengerutkan kening.
"Kenapa kamu? Lagi gak enak badan? Kalo lagi gak enak badan biar Kakak aja yang berangkat sendiri."
Devano menggeleng. "Cuman kurang tidur aja Kak, Vano gadang ngerjain tugas." Aku mengangguk paham.
"Lain kali, jangan mentingin nongkrong Van, mending ngerjain tugas dulu."
"Iya Kak,"
Setelah mengunci pintu, kami segera berangkat menggunakan motor.
Rumah Budhe Ani bisa di tempuh dalam waktu satu jam dari rumahku. Dengan kecepatan sedang. Tapi karena badan Devano yang sedang kurang fit, dia membawa motor dengan pelan.
"Biar Kakak yang bawa motor deh De, kapan nyampenya kalo kamu bawa motornya kaya siput begini."
Devano menggeleng menolak. "Udah Kakak diem aja. Duduk anteng. Aku yang bawa,"
Aku menghela nafas. Devano jika sudah keras kepala, akan sangat sulit di tentang. Menurut adalah opsi terbaik. Aku Mendongkak, cuaca hari ini lumayan cerah. Langit tak begitu banyak di hiasi oleh awan.
Mata beralih memandang jalanan, di antara orang-orang yang berlalu lalang, pandanganku terkunci pada sosok polisi di pinggir jalan yang sedang menertibkan jalanan.
Ingatan melayang, potongan memori mulai berdatangan. Membuat dada sesak seketika. Dia apa kabar? Apakah cita-cita untuk menjadi polisi, sudah berhasil ia realisasikan? Apakah kekosongan hatinya dulu sudah di isi oleh seseorang?
Rasa rindu yang selalu berhasil ku redam, mulai menyeruak ke permukaan. Satu persatu kenangan tentang dia silih berganti menindih perasaan, membuat rasa rindu sulit untuk ku redam.
Ekspresi tawa, senyum, muka jail serta muka masamnya, membayang dalam kepala.
Bagaimana dia sekarang? Apakah dia sudah menikah?
Ku gelengkan kepala. Mencoba menghentikan segala pertanyaan. Kenapa setelah sekian lama tak berjumpa, rasa untuknya masih tetap sama. Tak berubah. Meski mengalihkan pikiran tentang dia lebih mudah saat mata tak bisa menjangkau rupa, tapi meski ku sangkal sedemikian rupa, rindu untuknya kian membesar. Tak kunjung berkurang.
"Kakak kenapa?"
Pertanyaan Devano membuat ingatan masa lalu berakhir. "Gak kenapa-napa." Jawabku. Mata perlahan memandang ke sekeliling.
"Udah sampe? Lah cepet amat."
Devano terkekeh. Suara tawa yang beberapa hari terakhir ini jarang ku dengar, kembali keluar. "Ngelamun mulu sih. Makanya Kak, kalo mau ngelamun mending gak usah ikut."
"Kapan Kakak ngelamun dih? Kaka tadi cuman bengong doang ya Van." Balasku sengit. Aku segera turun. Helm ku serahkan dengan kesal.
"Bengong sama ngelamun sama Kak. Kakak pas sekolah dulu, belajar bahasa Indonesianya sambil ngigo ya?"
"Enggak. Sambil silat." Saat suasana hati sedang di rundung rindu begini, ejekan Devano tak bisa ku tanggapi dengan benar seperti biasanya. Rasanya seperti, kalimat-kalimat itu tersumbat dalam kepala. Sulit untuk ke keluarkan, meski rangkaian katanya sudah ku susun dengan apik di dalam sana.
"Hilih ngambek. Uluh-uluh," Devano masih asik menggoda. Aku memutar bola mata.
"Diem Van," tanganku terangkat untuk mengetuk pintu. Sembari menunggu pintu di buka, pandangan meneliti ke sekitar.
Tempat lahan parkir rumah Budhe Ani sudah di penuhi oleh beberapa mobil dan motor gede. Kendaraan milikku dan Devano adalah kendaraan tersederhana yang ada di antara kumpulan kendaraan lainnya.
Saat pintu terbuka, pikiranku harus teralih dari sosok yang masih setia menghantui hati. Aku harus menyiapkan mental dan stok kesabaran sebanyak mungkin.
Dan pada suara pintu di buka, dan menampakkan sosok cantik yang kebetulan adalah sepupuku, semua beban pikiran tentang apapun harus ku lupakan sejenak.
"Assalamualaikum Kak Nadia," sapaku sopan. Menyalaminya dengan genggaman tangan yang agak gemetar. Setelah usai, mata melirik Devano. Tanganku menyenggol tangan Devano dengan pelan. Mengisyaratkan untuknya mengikuti apa yang kulakukan.
Meski sudah hampir puluhan kali datang ke acara keluarga, raut keras di wajah adikku tak kunjung luntur saat berpapasan dengan anggota keluarga lainnya.
"Devano!" Sentakku kesal karena Devano tak kunjung mengerti isyarat yang aku berikan.
Dengan enggan Devano mengulurkan tangan. Aku menghembuskan nafas lega.
"Waalaikumsallam. Ayo masuk. Yang lain udah kumpul semua."
Aku mengangguk. Kaki mulai mengikuti langkah kaki Kak Nadia. Dengan pelan, tanpa menimbulkan kecurigaan, aku menoleh ke arah Devano. Wajahnya kaku. Raut cengengesan saat di parkiran tadi sudah hilang tak bersisa di wajahnya. Aku menghembuskan nafas. Segera, tanganku terulur untuk menggenggam tangannya.
Saat Vano menoleh, aku memberi senyuman semangat. Mencoba meyakinkan bahwa tak ada yang perlu di takuti. Semuanya baik-baik saja.
"Assalamualaikum Budhe, Pakde, Bulik, Palik," sapaku saat sudah menginjak ruang tamu kediaman Budhe Ani. Genggaman tangan pada Devano ku lepaskan. Satu persatu yang lebih tua, kusalami dengan senyuman. Diikuti Devano di belakang.
"Waalaikumsallam,"
"Gimana kabar kalian?" Tanya Pakde Salman saat aku dan Devano sudah duduk di antara sepupu.
"Alhamdulillah baik Pakde," jawab ku dengan sopan. Devano sedari tadi hanya diam. Aku hanya mampu menghela nafas.
"Syukurlah,"
Aku mengangguk sopan menanggapi. "Pakde gimana? Sehat? Asam uratnya masih sering kambuh gak?"
Diantara para tetua, aku dan Devano hanya dekat dengan Pakde Salman. Aku hanya nyaman menjawab pertanyaan dari beliau tanpa spekulasi-spekulasi buruk.
"Masih Van. Apalagi Pakde udah tua begini, kecapean dikit aja asam urat langsung nyerang." Curhatnya di sertai kekehan.
Aku ikut tertawa. Meski umur Pakde Salman sudah kepala lima, tapi tubuhnya masih tetap bugar, hanya saja, entah karena kebiasaan muda, atau memang penyakit orang tua, asam urat menjadi penghias masa tua Pakde.
"Makanya Pakde jangan kecapean, inget umur."
Pakde mengangguk. Aku mengalihkan pandangan ke tempat duduk yang berada di sebelah Pakde. Budhe dan Bulik sedang sibuk bercerita tentang perhiasan yang baru di beli oleh Bulik Ida.
"Iya Mbak, ini beneran berlian asli lho. Aku di beliin sama Tata," Bulik Ida mengasongkan cincin dengan bangga.
"Beruntung banget kamu. Berapa karat berliannya?" Budhe Ani menimpali.
Jika di acara kumpul keluarga kebanyakan, pada saat anggota sudah berkumpul semua, yang akan di bahas adalah masalah mereka, saling curhat, saling bercanda, dan saling menawarkan bantuan.
Tapi acara kumpul keluarga di dalam keluargaku berbeda. Sudah menjadi tradisi dari jaman nenek, acara kumpul keluarga menjadi ajang pertunjukan kekayaan.
Dan aku merasa beruntung kali ini, karena perhatian para budhe dan bulik teralih pada cincin berlian baru.
Setidaknya, untuk acara kumpul keluarga kali ini, aku bisa bernafas lega tanpa memikirkan jawaban-jawaban atas pertanyaan rumit dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
Chick-LitVania tak pernah menyangka, mimpi yang dulu ia simpan rapat-rapat, mendadak dalam sekejap berubah menjadi kenyataan yang sulit Vania percayai. Hidupnya berubah dalam sekejap. Kebahagiaan yang dulu terasa sangat sulit di gapai, sekarang terasa mudah...