L i m a

4 0 0
                                    

Empat puluh menit menjadi waktu tempuh yang benar-benar aku nikmati.

Aku tak tau dengan benar tugas Ditya sebagai polisi shift kerjanya sampai jam berapa. Mendengar bahwa hari ini dia hanya bekerja menggantikan temannya yang sedang sibuk, membuatku menerka-nerka.

Pengen nanya. Tapi malu. Duh.

"Makasih Dit." Aku menyerahkan helm. "Mau mampir dulu?"

"Enggak." Ditya menggeleng sembari tersenyum. Senyumnya manis. Tak berubah sejak dulu. Boleh ku kantongin gak sih.

"Baju Lo basah. Mending ganti baju dulu. Kayaknya baju Devano juga muat di badan elo." Aku mencoba menawarkan.

Ditya tetap pada pendiriannya. Standar motor yang tadi sudah di turunkan, kembali di naikan. Stater motornya pun kembali di hidupkan.

Aku ingin menyuarakan isi otakku, aku ingin menahannya lebih lama, aku ingin mendengar suaranya lebih lagi banyak hari ini, aku ingin memandangnya dengan teliti sekali lagi.

Tapi yang terjadi, mulutku terkunci, hanya mata yang menjadi alat untuk merespon setiap gerakan yang dia lakukan.

"Gue balik dulu ya. Udah malem juga. Dadah,"

Aku mengangguk. "Makasih ya Dit udah repot-repot nganterin." Senyum manis menjadi penghias, walaupun hatiku sedang sibuk meratap dan berharap.

"Sip. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsallam," motor Ditya langsung pergi meninggalkan pekarangan rumahku.

Tanganku terangkat untuk melambai. Setelah siluetnya hilang di telan tikungan, aku melangkah memasuki rumah.

Suasana rumah sangat gelap. Itu artinya Devano belum pulang. Hah, sepertinya, jika Devano sudah pulang, wejangan panjang harus di keluarkan.

Bayangan Mama kembali menari-nari di pelupuk mata saat mata bertabrakan dengan sofa yang ada diruang tamu.

Mama apa kabar disana? Papa juga apa kabar? Apakah kalian baik-baik saja? Apakah Tuhan menempatkan Mama Papa ditempat terbaik disisi-Nya seperti permintaan Vania?

Vania kangen sama kalian. Kapan Mama sama Papa mampir di mimpi Vania?

Untuk yang kesekian kali, rasa rindu ini kembali datang ke permukaan. Aku menghela nafas.

Euphoria kebahagiaan dengan Ditya tadi, hanya tersisa sedikit sekali. Memang benar ya, jika sedang merasa bahagia, jangan terlalu berlebihan dalam mengekspresikan, kesedihan datang kadang tak dapat di duga.

****

"Din, Caca Taehyung, udah ngepost produk kita belom?" Aku bertanya. Aku dan Dinda sedang mengecek tentang endorse produk kami, yang kemarin kami tawarkan pada beberapa selebgram dan youtubers. Mata sedari tadi sibuk mantengin laptop, mengecek hasil.

"Belom. Udah gue WA tadi, katanya nanti sore."

Aku mengangguk. "Yang belom Tinggal dia doang kan?"

"Iya."

"Habis mereka post, konsumen kita meningkat gak sih?"

Dinda berhenti mengetik. Ponselnya dia sodorkan kepadaku. "Meningkat. Jauh dari ekspetasi malah. Nih liat,"

Aku menerima ponselnya. "Wuih bener. Enggak sia-sia dong kerja keras kita."

Aku cukup senang dengan hasilnya. Itu berarti harapan Pak Rizal terpenuhi. Dan sebagai bonus tambahan, tidak akan ada bentakan rapat besok saat strategi kali ini di bahas. Alhamdulillah kupingku bisa selamat.

"Iya dong." Dinda menimpali tak kalah senangnya. "Btw, sore ngemall yuk?"

Aku bingung menjawab. Uang tabunganku sudah habis, uang bulanan yang memang ku sisihkan setiap gajian pun jumlahnya semakin menipis. "Duit gue gak mencukupi Din."

"Jadi di tolak lagi nih ajakan gue?" Dengan terpaksa aku mengangguk.

Aku juga sedang suntuk. Jika kondisi keuangan sedang stabil, tanpa pikir panjang, pasti sudah ku setujui usulan Dinda tanpa banyak alasan.

"Maaf."

"Duit hasil gajian Lo kemana sih? Heran gue. Bonus tiap bulan, perasaan ngalir terus kan? Duitnya kemana?"

Duitnya kemana?  uangnya sebagian ku sisihkan untuk membayar hutang Ayah yang masih tersisa banyak pada reintenir.

Gara-gara usaha yang Ayah bangun bersama sahabatnya, di tipu orang, aku harus membayar semua hutang Ayah yang dipinjam dari rentenir, untuk tambahan modalnya.

Untung saja, para rentenirnya, agak sedikit longgar dengan membiarkan kami mencicil setiap bulan.

Dinda tak pernah tau. Karena meskipun kami akrab, urusan keluarga, aku tak pernah menceritakan apapun kepadanya.

Aku juga bingung ingin menjawab apa. "Gue tabung,"  hanya alibi itu yang bisa ku sampaikan.

"Tabungannya, nolnya udah banyak dong ya?"

Aku meringis. Boro-boro banyak Din, tabunganku di rekening hanya cukup untuk biaya kuliah Devano.

"Kaga juga," aku segera melirik arloji. Topik pembicaraan kali ini, membuatku tak nyaman. "Udah jam makan siang. Balik ke kubikel yuk."

"Eh iya. Mau makan siang dimana?"

"Di ruangan. Gue bawa bekel soalnya."

Sudah berapa ratus ajakan yang aku tolak dari Dinda?

*****

Tak terasa, sudah seminggu berlalu sejak pertemuan pertama kali dengan Ditya tempo lalu.

Sosoknya kembali sulit ku temui. Bahkan saat aku sengaja beberapa kali menunggu angkot di halte yang menjadi tempat pertemuan dengan Ditya, tubuhnya tak pernah tertangkap oleh retina mataku.

Anehnya, rasa rindu yang dulu mampu aku redam dengan baik, setelah pertemuan tempo lalu, tak bisa ku kendalikan dengan mudah kali ini.

Dan rasanya, saat rindu menerpa, sesaknya melebihi saat mengetahui bahwa uang jajan untuk Devano terpakai untuk membayar hutang Ayah.

Ku alihkan pandangan ke luar jendela kamar. Hari ini hari Minggu, aku seharusnya segera bersiap-siap untuk menghadiri acara keluarga. Bukannya malah semakin meratapi rindu yang semakin menyiksa.

Untuk acara kali ini, aku berharap entah Budhe atau Bulik, tak akan menganggu atau bahkan mengusikku dengan sindiran-sindiran mereka.

Emosiku sedang tidak stabil dan itu akan menyulitkan ku untuk bertindak sesuai dengan tata Krama yang berlaku.

Dan hasilnya pasti akan lebih buruk dari yang sudah-sudah.

Untuk acara keluarga kali ini, aku hanya menggunakan busana seadanya. Hanya sweater dan celana jeans.

Setelah memoleskan bedak bayi dan memakai lip balm, aku melangkah keluar kamar.

Ku panggil Devano dengan suara kencang, kemudian kami berangkat menuju rumah Bulik Ida, tempat dimana acara keluarga kali ini di adakan.

Andai tidak akan menimbulkan spekulasi buruk, menghadiri acara keluarga seperti ini, akan menjadi pilihan terakhir yang akan ku lakukan di akhir pekan.

"Dek, nanti pas udah nyampe di rumah Bulik, pasang muka yang ramah ya?"

Motor melaju dengan pelan. Devano sepertinya sengaja mengulur waktu lebih lama di jalan.

"Tergantung Kak. Kalo mereka gak mancing-mancing Devano pasti bakalan diem."

Aku menghela nafas. Kebencian Devano terhadap keluarga besar lebih dalam dari yang aku kira.

Hanya kepada Pakde Salman dia bisa bersikap sedikit ramah.

"Iya. Kamu usahain jangan kepancing emosi, bisa?" Pintaku dengan memelas.

Menjaga emosi adalah komponen paling penting. Aku hanya berharap Devano mau melunakan hatinya untuk kali ini.

"Vano usahain."

Jawaban itu sudah cukup untukku.

Unexpected Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang