Setelah satu jam berpacu di jalanan dengan kecepatan yang amat pelan, akhirnya, aku dan Devano sudah sampai di rumah Bulik Ida.
Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tapi karena Devano mengendarai motor seperti siput, waktu jadi terbuang percuma.
"Lain kali yang bawa motor Kakak aja. Kamu mingkem di belakang,"
"Ya udah. Paling Devano kaga ikut." Ancamnya sembari menyeringai. Seringai yang aku benci, karena ekspresinya benar-benar mirip seperti psikopat.
"Jangan suka senyum gitu. Serem kamu. Berasa lagi nonton film pembunuhan."
Aku menggandeng tangannya. Raut mukanya sedari tadi tertekuk, nampak sekali jika dia enggan hadir.
Jika dipikir-pikir, siapa yang mau datang ke acara keluarga yang isinya hanya pamer harta? Orang normal sepertiku yang tak mempunyai uang banyak, akan sangat enggan, jika bukan karena terpaksa.
Sudah berapa kali aku menggerutu hari ini? Aku menghela nafas. Pintu rumah Bulik Ida terbuka lebar, itu artinya aku tak perlu mengetuk pintu. Aku bernafas lega.
Tangan yang sedang ku gandeng, meronta minta dilepaskan. Aku menoleh sembari menaikan alis.
"Devano bukan anak umur lima tahun Kak. Malu dih. Lepas," aku menyeringai. Menekan ego Devano sepertinya asik juga. Bukannya menuruti keinginannya, aku malah semakin mengeratkan genggaman tangan, dan menyeretnya masuk dengan langkah lebar-lebar. Beruntung hari ini aku menggunakan celana jeans.
Respon Devano hanya merengut masam. Aku terkekeh senang.
Suara tawa yang terdengar kencang menjadi pemandangan pertama saat aku dan Devano sampai di ruang tengah. Budhe dan Bulik seperti biasa membuat kelompok di sofa pojok. Dan para Pakde dan Paklik sedang asik bercengkrama dengan para sepupu dan keponakan.
Pakde Salman sedang di kelilingi oleh para cucu keluarga ini. Terlihat sangat bahagia sekali. Hingga aku sampai berpikir bahwa kehadiran ku disini tak akan pernah bisa mengukir kebahagiaan secerah itu. Aku bagai orang asing, jarang dianggap, dan bahkan sosokku tak bisa sepenting mereka.
"Assalamualaikum," salamku berbarengan dengan Devano.
"Waalaikumsallam. Kok telat? Sengaja ya?" Tembak Budhe Ani tetap sasaran.
Aku meringis. Mata tak sengaja melirik Devano, dan raut wajah yang sudah sepenuhnya berubah, membuatku gelagapan.
"Tadi Vania telat bangun Budhe." Lebih baik cari aman. Aku menuntun Devano agar bersalaman dengan para tetua. "Maaf telat Budhe." Tangan Budhe Ani menggenggam tanganku keras sekali. Aku meringis pelan.
"Makanya contoh Mbak-mbak mu, udah pinter, rajin, gak pernah tuh mereka bangun telat."
Wajar mereka tak pernah bangun telat. Mereka kerja di tempat usaha orang tua masing-masing yang bisa pulang dan menumpahkan pekerjaan pada karyawan lain Budhe!
Aku ingin menjawab begitu. Tapi terpancing emosi malah semakin membuat posisiku sulit.
"Iya Budhe," setelah tangan Budhe Ani lepas, aku segera menyalami tangan Pakde dan Paklik dengan cepat. Tangan yang tadi digenggam oleh Budhe Ani masih terasa sangat sakit. Warna merah pun hanya pudar sedikit.
Aku memilih mendiamkannya. Bahaya kalo Devano tau. Emosinya bisa terpancing tanpa pernah pandang bulu.
Devano sudah pergi ke belakang seusai menyalami semua tetua. Beralasan ada tugas kampus, adikku yang sebleng itu langsung ngacir meninggalkan aku disini sendiri.
"Vania gimana hutang orang tua kamu?" Bulik Siti bertanya. Raut wajahnya tersenyum lembut tapi kata-kata yang ditanyakan barusan menjadi tanda bahwa sebentar lagi aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sarkas dan perbandingan diri dengan yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
ChickLitVania tak pernah menyangka, mimpi yang dulu ia simpan rapat-rapat, mendadak dalam sekejap berubah menjadi kenyataan yang sulit Vania percayai. Hidupnya berubah dalam sekejap. Kebahagiaan yang dulu terasa sangat sulit di gapai, sekarang terasa mudah...