Orang-orang di sekitar halte kini menatapku dengan penuh selidik. Aku ingin pergi dari sini, jika bisa aku ingin membuat lubang tepat di pijakan yang saat ia sedang aku tempati, untuk menyembunyikan tubuh serta wajah akibat berteriak tak tau tempat.
Satu lagi harapanku, semoga suara hujan deras, tak membuat sosok yang masih praduga menoleh ke arahku.
"Maaf Mas, Mbak, orang yang di sana mirip sama temen saya. Maaf sudah mengagetkan."
Orang-orang mulai tak acuh kembali. Dan aku sangat bersyukur.
Kenapa kecerobohan ku selalu kambuh jika sudah berhubungan dengan Ditya?!
Karena ini masih hujan, dan aku sangat-sangat meyakini bahwa pintu doa sedang di buka lebar-lebar, aku berharap bahwa Tuhan tidak membuat seruanku tadi terdengar oleh Ditya.
Walaupun masih praduga, tapi jantung yang kian berdetak dengan cepat, dan perasaan gugup bercampur senang ini, menjadi tanda bahwa itu adalah dia.
Semoga saja dia tidak mendengar dan masih sibuk menasehati anak SMA yang sedang dia tilang.
"Yang manggil saya tadi siapa?"
Kenapa suaranya dekat sekali? Kehaluan ini menyiksaku. Aku masih betah menunduk. Tak ingin mengangkat kepala karena aku yakin, suara ini hasil dari halusinasi.
"Itu Mbak yang lagi sibuk gerak-gerakin kaki Pak," suara Ibu-ibu terdengar menjawab.
Ini bukan halu? Mataku menyorot ke depan. Disana, seorang polisi dengan seragam yang sudah basah sempurna sedang berdiri dengan pandangan menyorot ke depan.
Astaga. Ternyata seruanku di dengar. Devano tolong Kakak!! Jemput Kakak sekarang.
"Yang ini?" Suaranya terdengar lagi menimpali.
Kepalaku menengadah, mataku memandang tepat pada wajahnya. "Hai Dit,"
Waktu terasa membeku sesaat. Melihat wajahnya dengan sedetail ini kenapa malah semakin membuatku sulit bernapas? Setelah sekian lama tidak bertemu, wajahnya kian rupawan, tubuh tingginya kian tegap dan berotot.
Tapi suara deru hujan membuat fokusku kembali teralih. Ku sunggingkan senyum tipis saat mata kami bertatapan.
Ekspresi di wajahnya seperti sedang mengira-ngira. Mungkin dia lupa. Seketika, spekulasi itu membuat dentuman patah dalam hati kian bertambah.
Astaga. Baru ketemu setelah sekian tahun, please jangan berpikir yang negatif dulu.
"Vania IPS dua?" Ujarnya setelah sekian menit mengingat.
Aku mengangguk.
"Pangling. Gue kira siapa lho,"
Aku hanya tersenyum menanggapi. Aku ingin menanggapi dengan heboh, mengajaknya mengobrol perihal apapun, mendengar lagi kisah-kisahnya dulu, tapi kenapa rasa grogi ini menyiksaku?!
Setelah menarik nafas dua kali, baru fokusku bisa sedikit ku kendalikan. "Lo juga makin gagah ya Dit. Gak nyangka gue beneran jadi polisi."
Pandangan mataku menoleh ke arah dimana tadi Ditya menilang anak SMA. Sudah tidak ada. Hanya tersisa motor besar disana. "Lo udah kelar nilang?"
Ditya mendekat. Baju seragamnya yang tersiram air hujan, malah semakin menambah kesan seksi yang membuat pikiranku pusing tujuh keliling.
Wanita di sekitarku pun berekpetasi sama sepertinya. Aku memaklumi dalam hati, walaupun sebenarnya ingin ku tutup mata-mata itu untuk berhenti memperhatikan Ditya.
"Udah." Jawabnya sembari duduk di sebelahku.
Dulu mana pernah aku mempunyai kesempatan duduk berdampingan begini. Dulu momen ini adalah daftar teratas khayalanku. Tapi karena tak kunjung terealisasi dan terlalu banyak ngayal akhirnya, imajinasi itu lelah dan memilih menghilang.
Dan sekarang, pada saat tak terduga imajinasi itu menjadi nyata. How lucky i am?
"Lo kenapa nilang anak orang pas ujan Dit? Kasian cuy,"
Ditya terlihat menghela nafas lelah. "Kalo kaga gue berentiin, berabe ntar."
"Emang kasusnya apaan?" Setidaknya meskipun bukan ini bahan obrolan yang ingin ku utarakan, aku mensyukuri nya. Lumayan jadi bisa denger suara Ditya lebih banyak. Setidaknya jika aku merindukan dia lagi, suaranya bisa aku putar seperti kaset rusak di kepalaku.
"Bawa motor kenceng pas lagi ujan, mana pada enggak pake helm." Ditya berdecak kesal. Selagi dia sibuk menjelaskan, aku malah sibuk membuka ponsel, membuka ikon aplikasi perekam suara, untuk merekam suara yang keluar dari bibir Ditya. Anggaplah aku gila, tapi menahan rindu tanpa kenangan yang bisa aku jadikan obat, terasa sulit adanya.
"Kan kalo nyawanya ilang, kasian orang tuanya. Mereka punya harapan tinggi sama anaknya," aku mengangguk setuju.
"Ya emang, tapi mereka masih remaja, rasa penasarannya masih tinggi, logika kadang kalah kan sama rasa ingin tahu yang besar,"
Akupun dulu begitu, meski tidak separah mereka, aku berusaha memakluminya, meskipun tadi tanpa sengaja, gerutuan keluar begitu saja saat melihat mereka di tilang.
"Ini bukan yang pertama kali buat mereka masalahnya. Temen-temen gue udah sering nilang mereka."
Aku hanya ingin mengalihkan topik pembicaraan tentang penilangan ini. Ada hal yang sedari tadi menganggu pikiranku. Apakah Ditya sudah memiliki seseorang yang ia jadikan sebagai definisi rumah? Di sosial media Ditya, aku tak pernah menemukan foto dia dengan seorang wanita terkecuali Ibunya. Dan itu kadang menyulitkan ku. Aku sibuk menerka-nerka, dan sialnya terkaanku selalu sesuai dengan hayalan yang ku bangun, meski ku yakin kenyataannya tidak begitu.
"Doain aja Dit."
Ditya terlihat mengangguk menyetujui. Lalu perlahan matanya mulai meneliti penampilanku. Jantungku yang belum sepenuhnya tenang kembali menggila.
Astaga. "Kenapa?" Suaraku keluar berupa cicitan pelan.
"Lo kerja kantoran ya?" Ku kira penampilanku ada yang salah. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega.
"Kaga di sebut kantoran juga, kerjaan gue banyaknya di lapangan soalnya."
Tentu saja yang kumaksud bukan lapangan bola.
"Kerja jadi apaan emang?"
"Jadi kang seles. Biasa nawarin barang," jawabku sembari terkekeh. Bagian marketing memang tak ada bedanya dengan sales. Perbedaannya hanya pada gaji, dan pikiran yang semerawut untuk memikirkan strategi dan cara agar target tiap bulan tercapai.
"Yakali. Tampang Lo kaga ada potongan kayak sales Van,"Aku terkekeh. Ternyata Ditya tidak tertipu. "Di bagian marketing gue. Ya kan gak ada bedanya sama sales."
"Lah emang?" Ditya terlihat mengerutkan kening bingung.
"Kerjaan kita ya sama, masarin barang. Bedanya di gaji sama beban kerjaannya doang."
Ditya manggut-manggut. Ekspresinya sangat lucu. Tanganku gatal sekali ingin menangkup ekspresinya di kedua tangan yang tertempel tepat di wajahnya.
Suara hujan perlahan menurun, kini tersisa rintik-rintik kecil yang menghiasi. Orang yang tadi masih betah diam di halte pun perlahan sudah mulai menyusut.
Hari sudah menjelang Maghrib. Dan Ditya, masih asik duduk sembari bercerita sedari tadi. Bajunya basah padahal. Apa dia tidak merasa kedinginan?
Sayang sekali aku tidak membawa jaket. Jadi aku tak bisa beraksi seperti super Hero dadakan, layaknya adegan drama Korea.
"Dit ujannya udah reda." Aku menyela pembicaraan setelah Ditya menghela nafas.
"Eh iya. Kuy pulang." Dia segera berdiri. Aku ingin menahannya lebih lama di sini. Sekalian sembari menunggu angkutan umum datang. Tapi itu bisa di realisasikan nanti. Tubuhku sudah menggigil dan badan Ditya juga pasti tidak beda jauh denganku. "Lo pulang sama siapa?"
Aku sedari tadi sendiri disini. Apa dia tidak sadar ya? "Sendiri. Gue mau nunggu angkot."
"Jam segini mah angkot jarang." Ditya menoleh ke arahku. "Gue anterin pulang. Lo tunggu di sini. Gue ngambil motor dulu."
Aku hanya mampu melongo. Sudah berapa halu yang sudah terealisasi kan hari ini? Ini bukan mimpi?
Aku yakin tidurku malam ini akan nyenyak sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
ChickLitVania tak pernah menyangka, mimpi yang dulu ia simpan rapat-rapat, mendadak dalam sekejap berubah menjadi kenyataan yang sulit Vania percayai. Hidupnya berubah dalam sekejap. Kebahagiaan yang dulu terasa sangat sulit di gapai, sekarang terasa mudah...