Hari Senin sudah tiba. Itu artinya, aktifitas padat akan kembali di mulai.
Setelah menutup pintu kamar, kakiku segera melangkah ke dapur. Ini masih jam setengah enam, dan aku beruntung jam segini sudah bisa berpakaian rapih.
Jalanan yang macet saat pagi hari, membuat aku kadang terlambat datang ke kantor. Akibatnya, Pak Rizal akan marah-marah dan mengeluarkan jurus jitu andalan yang hampir digunakan oleh seluruh bos, 'kamu mau saya pecat?'
Yang membuatku kontan menggeleng kencang menolak saran itu.
Cari kerja di zaman sekarang susah, dan kalau di pecat, belum tentu dalam waktu sebulan aku akan mendapatkan pekerjaan baru.
Jadi, meski kuping sering menjadi penampung bentakan-bentakan jahat, yang kadang sering kali membuatku ingin menceburkan Pak Rizal ke sumur, aku harus bertahan.
Demi masa depan dan kelangsungan hidup.
Setelah meletakan nasi goreng di meja makan, mata memindai sekeliling.
Dimana Devano? Biasanya dia sudah bangun jam segini. "Vano!"
"Apa Kak?" Sahutnya dari kamar.
"Sarapan. Buruan keluar."
"Iya Kak, bentar. Masih pake baju."
Devano baru selesai mandi ternyata. Aku memilih menunggu sembari menuangkan nasi goreng ke dalam piring.
"Morning Kak," Devano datang dengan badan yang sudah wangi, rambut yang sudah tertata rapi, dan baju yang sudah klimis di setrika, sembari mencium pipiku yang sebelah kiri.
"Pagi. Tumben pake cium pipi segala. Mimpi apaan kamu semalem?" Ujarku. Tanganku terulur memberikan piring yang sudah di isi oleh nasi goreng.
"Kalo kaga di cium marah, giliran di cium suka suudzon. Kakak emang bener-bener cewek ya,"
Aku mendelik. "Kakak emang cewek!"
Mencium pipi saat pagi hari adalah kebiasaan kami yang sudah di terapkan Ibu dan Ayah sedari kecil. Dan pada saat sudah dewasa kebiasaan itu berubah. Devano sudah tidak lagi mau mencium pipiku, atau Ibu dan Ayah karena dia menganggap rutinitas itu sudah tak pantas lagi di lakukan oleh seorang remaja.
Aku sering mengomel jika Devano sudah mengeluarkan alasan yang macam-macam. Katanya, dia merasa malu jika teman-temannya mengetahui hal itu. Mau dikemanakan mukanya.
"Lah udah berubah? Kemarin malam perasaan masih jadi banci kan Kak?" Ejeknya dengan mata mengedip minta di tabok menggunakan sendal.
"Males Kakak ribut sama kamu. Masih pagi. Kakak gak mau mood Kakak ancur," aku menjawab acuh.
"Uluh marah. Dasar ambekan," sepertinya mood Devano sedang bagus. Terbukti dari ejekan yang dia lontarkan lagi, padahal aku sudah bilang bahwa aku tak ingin menanggapi.
"Diem Vano! Makan aja yang bener,"
Setelah kuberikan pelototan maha dahsyat baru bibir Devano mau mingkem.
"Kak," aku menoleh.
"Apa?"
"Kalo motornya hari ini Vano bawa, boleh?"
"Emang kamu ada keperluan apa?" Segera ku tegak habis air putih yang tersisa saat suapan terakhir sudah masuk sempurna.
"Vano mau hang out sama temen-temen." Jawabnya pelan.
Aku menghela nafas. Diantara teman-temannya yang lain, Devanolah yang paling jarang ikut nongkrong. Dari sekian banyak cerita tentang kegiatannya, aku tau, Devano bukannya tidak ingin ikut. Dia ingin. Tapi kondisi kami yang tak seperti keluarga kebanyakan, yang membuatnya selalu berpikir ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected
ChickLitVania tak pernah menyangka, mimpi yang dulu ia simpan rapat-rapat, mendadak dalam sekejap berubah menjadi kenyataan yang sulit Vania percayai. Hidupnya berubah dalam sekejap. Kebahagiaan yang dulu terasa sangat sulit di gapai, sekarang terasa mudah...