BAB 2

359 56 1
                                    

Sudah terhitung tiga hari dan sampai sekarang aku maupun Jongin tidak sekalipun bertemu. Bahkan berkirim pesan pun tidak kami lakukan. Sejujurnya aku merindukannya hanya saja egoku memilih untuk tetap diam dan berusaha keras agar dia mau mengerti—meskipun aku sendiri tidak tahu apakah dia sadar dengan perubahanku ini atau tidak—tetapi aku ingin dia tahu bahwa aku baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang keadaanku.

Lucunya, kami berkerja di kantor yang sama akan tetapi kita tidak pernah saling berpapasan satu sama lain meskipun itu pada jam makan siang. Kita memang berada di departemen yang berbeda tapi tetap saja, rasanya aneh tidak bisa menemukan Jongin sekali saja dalam kurun waktu yang lama.

Ketika aku pulang bekerja, hal pertama yang aku lakukan adalah membuka ponselku. Aku berharap bahwa Jongin setidaknya mengirimku satu pesan, meskipun hanya sekedar menanyakan kabar saja. Akan tetapi setelah melihat ponselku yang kosong, sebaliknya aku mulai merasa kesal. Kenapa harus dia yang marah? Aku yang lebih pantas marah saat ini. Tidak tahukah bahwa ucapannya beberapa hari yang lalu telah menyinggung perasaanku?

Aku menghempaskan tubuhku untuk berbaring di sofa. Menerawang langit-langit apartemenku dengan pikiran mengembara. Berapa lama kami harus berada pada situasi yang buruk ini? Aku hanya ingin menyingkirkan prasangka burukku jika memang Jongin tidak berniat untuk menemuiku lagi. Jika dia memang marah aku lebih menginginkan dia untuk mengatakannya dibandingkan dengan mendiamkanku seperti ini. Keadaan seperti inilah yang membuatku semakin kesal entah kepada Jongin atau kepada diriku sendiri.

Aku beranjak dan berjalan menuju dapurku. Aku membuka setiap rak almari untuk menyiapkan sebuah makan malam kecil tetapi yang kutemukan hanya ruang kosong. Aku mendesah, bahkan aku lupa untuk berbelanja di minggu ini. Jongin benar-benar telah memeras seluruh pikiranku. Aku melirik jam tanganku, masih ada waktu setidaknya sebelum aku benar-benar kelaparan.

Aku merapatkan jaketku kembali untuk menghadapi suhu dingin kota Seoul malam ini. Aku meraba setiap kantung jaketku, memastikan bahwa aku tidak meninggalkan dompetku seperti beberapa hari kemarin. Sebuah kecerobohan yang hampir saja membuatku tidak dapat membayar sekotak makan siang saat aku di kantor. Aku mencengkram dompet yang ada di balik sakuku kuat-kuat lantas berjalan menuju pintu untuk keluar.

Hal pertama yang aku temukan saat aku membuka pintu adalah Kim Jongin. Aku seperti patung hanya dengan menyaksikan dirinya yang kini benar-benar di hadapanku. Setelah sekian lama, tiga hari tanpa tahu apa pria ini baik-baik saja atau tidak. Aku memerhatikan pakaiannya yang masih mengenakan setelan kantor. Ia masih mengenakan tas punggungnya dengan wajah yang tertunduk dengan lesu. Aku ragu untuk bicara, apakah Jongin sadar dengan keberadaanku saat ini akan tetapi aku lebih memilih membuang pemikiran itu jauh-jauh lantas mulai berbicara.

"Apa yang kau lakukan?"

Aku menemukan Jongin yang tiba-tiba terkesiap. Benar, ternyata Jongin memang tidak menyadari keberadaanku. Bahkan aku merutuki ucapanku sendiri yang malah bertanya begitu sangat dingin kepadanya. Ekpresi wajahnya begitu sangat lesu dan hal pertama yang aku rasakan adalah bentuk kekhawatiran.

"Berapa lama kau berada disini?" tanyaku kini dengan nada yang lebih ramah.

"Sebenarnya, sejak kau pulang," Jongin menggigit bibirnya dan entah kenapa aku melihat sikapnya saat ini lebih seperti orang yang kebingungan. "Aku mengikutimu."

"Kenapa tidak langsung masuk?"

"Kupikir, kau masih marah dengan ucapanku beberapa hari yang lalu."

Alchehaimeo | 알츠하이머Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang